Friday, 4 April 2014

Ba'da Isya

"Boleh ku antar sendiri buku ini ke rumahmu?". katanya ketika tahu aku berniat meminjam buku miliknya lewat salah satu teman . "Tidak perlu. Untuk apa? Aku sedang sibuk, tidak bisa menerima tamu. Kau ingin di jamu oleh ibuku?", Jawabku ketus. "Tak apa, dengan amat senang hati, jika kau mengizinkan". ku tatapi layar handphone yang baru saja berbunyi, ku teliti lagi setiap katanya. Ah.. sudah saatnya kah?

Bagiku, malam minggu adalah sama seperti malam-malam biasa, tak ada jalan-jalan atau bersenang-senang diluaran. hanya dirumah dan dikamar saja, melakukan apapun yang ku suka, asal tak merugikan siapa-siapa dan ada manfaatnya. Tapi, suatu malam diakhir pekan kala itu tidak seperti malam akhir pekan biasanya. Sabtu malam di akhir bulan. Aku yang sedang sibuk bermesra dengan laporan rekapitulasi tutup buku untuk keperluan pekerjaanku dikagetkan dengan sms dari seorang yang tak asing. 

Seseorang yang aku sering kalang kabut dibuatnya. Seseorang yang sedari dulu hingga kini jika namanya ku sebut selalu menyakitkan rasanya. Seseorang dimasalalu yang setelah lelah dari perjalanannya, kini.. Aku yang dia anggap "rumah", kembali didatanginya. Dia.. Pulang. 

Kepulangannya tidak hanya dengan tangan kosong, dia membawa oleh-oleh berupa sekarung keberanian yang luar biasa, dan berkeranjang janji yang dilisankan dengan manis, membuat sebuah hati luluh meringis. Berawal dari modus mengantar buku, hingga berakhir dengan membawa pergi ambisiku.

"Ba'da Isya", balasku setelah cukup lama. -usai konsultasi dengan murobbi tentang kebimbanganku ini- tapi dia tetap menanti.
"Iyah :)". jawabnya cepat.

Akhir bulan, Sabtu malam, musim mangga, dua cangkir kopi. Kegugupanku, dan keberaniannya.

First time..
ketika yang selama ini kuanggap tabu, terpampang jelas dihadapanku.

Ini tentang keberanian seorang pemuda mendatangi istana seorang wanita dengan bermodal tekad berlapis baja walau dengan nervous yang luar biasa, hanya demi ingin mengatakan, "perkenalkan pak, nama saya.." kepada seorang laki-laki paruh baya disebuah ruang tamu yang sederhana.

wanita itu adalah aku, dan moment ba'da isya kala itu amat sangat tabu untuk ku.

Aku, si wanita kaku.

Karena sebelumnya, tak pernah ada laki-laki yang datangi rumahku hanya demi untuk memperkenalkan diri, bahkan walau hanya teman sendiri.
Karena aku ingin moment demikian hanya terjadi satu kali.
sekali dan tak terjadi lagi, untuk pertama sekaligus yang terakhir kali.
demikianlah yang ku sebut Ambisi. 

Memperkenalkan seseorang yang ku anggap tepat, dimoment yang tepat, dan untuk tujuan yang sudah tepat.

Maka.. ketika ada seorang adam yang mengatakan inginnya dengan begitu lantang kepadaku, moment yang selama ini kuanggap tabu, kala itu menjadi spesial untuku.

Ibu memintaku menyuguhkan suguhan seadanya, aku mengupas buah mangga yang kebetulan memang sedang musimnya, dan membuatkan kopi untuk tamu dan si "empunya rumah", dua orang laki-laki yang baru saja berkenalan dan mencoba saling akrab. Setelah memberi suguhan aku memilih pamit untuk melanjutkan pekerjaan yang tertunda. ku pikir suguhan yang ku siapkan memang aneh rasanya, mungkin bisa mulas-mulas si pemuda dibuatnya. tapi, tahukah? itu adalah suguhan termanis yang pernah kusuguhkan pada tamu bapak. bukan karena rasanya, tapi karena "siapa" tamunya.

Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya, dua orang laki-laki yang berpengaruh untukku duduk bersamaan, berdialog saling berkenalan. Dialog mereka memang biasa, standard saja. Nama anda siapa, tinggal dimana, anak siapa, sudah bekerja? tapi, kemudian sampailah pada satu dialog yang sederhana namun mengena, ketika mereka berdialog tentang satu wanita yang sama, wanita yang kala itu lebih memilih mencuri dengar percakapan mereka dari dalam kamarnya. Aku. Wanita tokoh utama percakapan mereka.

Tanganku terus melanjutkan laporan akhir bulan didalam kamar, tapi indera pendengaranku tak lepas dari dialog mereka. aku memilih tak mendampinginya, bukan bermaksud tak hargai keberaniannya, tapi tahukah? sebenarnya, aku tak sanggup jika harus menangkap muka gugup yang disembunyikan dibalik kesungguhannya. Dan, bukankah dia katakan bahwa ingi bertemu dengan orangtuaku? Maka, ku biarkan dia bersama dengan kesungguhannya.

Aku enggan, tapi moment ba'da isya itu berkesan.
karena ambisiku terbawa pergi ketika dia mulai pamit undur diri. 
Aku tak yakin padanya, tapi aku bahagia mengingatnya.
Karena laki-laki pertama yang membuatku terluka, ternyata menjadi yang pertama pula ku kenalkan pada bapak.

"Terimakasih :)", ku kirim pesan singkat setelah kepulangannya.

"Terimakasih atas kesungguhanmu", kataku dalam hati. 

Takdirku memang belum ada yang tahu, tapi ambisiku sudah jelas dia bawa pergi berlalu.
Aku masih ragu, tapi kesungguhannya meluluhkanku.
Apakah dia yang pertama akan menjadi yang terakhir juga?

Oh.. ambisiku. belum jelas nasibmu.

created by: @ninitatabon