Aku hanya wanita biasa,
bukan srikandi yang kuat fisiknya,
bukan pula diktator yang keras hatinya.
Aku hanya wanita biasa,
yang mudah luluh perasaannya,
tapi tak suka dinilai lemah begitu saja.
Aku hanya wanita biasa,
Maka..
aku butuh dilindungi, bukan berarti aku harus dijeruji.
aku butuh dinasihati, bukan berarti aku harus dihakimi.
aku butuh digenggam, bukan berarti aku harus dicengkram.
aku butuh didengar, bukan berarti harus dipaksa bicara.
aku butuh ditemani, bukan berarti aku dianggap selalu sendiri.
aku butuh diarahkan, bukan berarti aku tersesat.
Dan, karena dienku hanya separuh, maka aku butuh kamu untuk membuatnya utuh.
created by: @ninitatabon
" Tentang hidup, tentang hati, dan tentang apapun yang dapat di ungkap dengan aksara. Ketika saya merasa tidak memiliki telinga yang dapat mendengar, saya yakin bahwa ada mata yang dapat memperhatikan dengan baik"
Friday, 27 June 2014
Sunday, 8 June 2014
Untuk Kuatmu
Dalam dingin malam ini, ada sebuah hati yang benar-benar tertunduk larut tenggelam dalam hening, hati yang kelelahan setelah melewati perdebatan, perdebatan demi menemukan sebuah kesepakatan, sebuah keputusan tentang akan kemana dua buah hati akan diarahkan. Perdebatan yang selalu terjadi tepat dipersimpangan jalan.
Perdebatan itu sungguh bukan yang pertama kalinya dilakukan. Adu argumen, saling menyiapkan kalimat-kalimat pamungkas bagai amunisi yang jika ditembakan berharap tepat mengenai sasaran, debat kusir yang berlangsung alot karena kedua kubu mempertahankan pemikirannya masing-masing. Berdua saja, dua orang yang sama, memperdebatkan hal yang sama , tapi masih saja rumit untuk bisa diselesaikannya.
"Bisa kan kita selesaikan semua bukan hanya dengan diam?". dia mengawali pembicaraan.
Yang diajaknya bicara hanya diam mengacuhkan.
"Hey.. ", dia menegur. Yang ditegur tetap bergeming.
"Keras kepala! kenapa kamu terus diamkan aku?", nada bicaranya mulai meninggi karena sudah merasa terlalu lama didiamkan.
"Aku hanya ikuti yang biasa kamu lakukan, mendiamkanku ketika ada yang ingin ku diskusikan", yang sedari tadi diam mulai bersuara.
"Ayo kita selesaikan, aku tak lagi diam, aku ingin kita bicara", katanya. Tapi, yang diajaknya bicara kembali diam.
"aku tahu akar masalahnya, kamupun juga. tapi, kenapa aku masih juga kamu diamkan?", dia berbicara mencoba tenang.
"Karena kita sudah sama-sama tahu". yang diberi pertanyaan hanya menjawab datar.
"Akan sampai kapan kita begini?", dia terlihat kesal.
"Menjadi sekedar teman bicara saja kita selalu susah payah melakukannya, apalagi menjadi teman hidup", Aku si tokoh yang dari awal malas berdialog itu meluncurkan kalimat tembakan pertama.
"Kamu yang belum menyanggupinya! Aku tidak!". dia mulai kesal. Aku hanya diam saja, dan terus diam.
"Akan sampai kapan kamu memperlakukanku seperti ini? akan sampai kapan kita terus ada dalam keadaan ini? kenapa kamu masih saja begini?", dia mencoba setenang mungkin menuturkan kalimatnya.
"Karena tidak ada lagi yang aku tahu apa yang harus aku ucap", aku menatap lurus kedepan, tak peduli pada dia yang ada disampingku.
"Lalu, akan begini sajakah? bagaimana ini akan selesai jika kamu enggan ku ajak untuk membereskannya?. nadanya keheranan.
"Memang semua soal kita tidak pernah beres, bukan?", aku kembali menembakkan kalimat yang kuharap tepat mengenai hatinya.
Aku teringat semua hal tentang aku dan dia yang memang tidak pernah selesai walau coba untuk diselesaikan seteliti mungkin, walau setenang apapun kami menyelesaikannya tapi tetap saja tidak selesai, menggantung tak terputuskan.
"Kenapa sulit sekali untukmu menghargai sedikit saja usahaku? sekecil apa aku dimatamu hingga kamu tak bisa melihat aku?", dia mulai mengarah pada pokok permasalahan.
"Seperti yang kamu katakan, bahwa caraku memperlakukanmu terlalu basi. Dan memang semua yang sudah basi tidak baik untuk dinikmati", aku mencoba mengingatkannya. Mengingatkan apa yang dia pikirkan sebelum semua ini menjadi se-berantakan ini.
Basi, Kadaluarsa, Tak Layak lagi. Begitulah dia menilai caraku mendiamkannya, memperlakukannya, dan menilainya. Karena kami adalah dua orang yang pernah menjalin kasih, dua orang yang sempat bersama lalu kemudian terpisah karena salah satu dari kami mencintai orang lain. dia pergi dan aku ditinggalinya sendiri. Hingga kemudian kami menjadi Basi. Tapi, kini dia kembali, berusaha untuk memperbaiki apa yang sudah dihancurkannya sendiri, dia kembali dengan berniat mengobati sakit yang sudah dia buat padaku. Dan menurutku itu Basi.
"Kamu memang tak pernah bisa menghargai perasaanku", katanya ketus.
"Kamupun tak pernah bisa menghargai rasa sakitku", jawabku.
"Kamu tak bisa menghargai usahaku", dia mengembalikan.
"Kamupun tak bisa menghargai pemahamanku", kataku tegas.
"Pemahaman yang mana lagi yang harus aku pahami? belum cukupkah yang selama ini aku lakukan? Sekecil apa aku dimatamu hingga tak bisa kamu pandang? Tak jugakah kamu lihat bagaimana perjuanganku yang harus berdarah-darah demi mendapatkan lagi rasa percayamu?", dia terus menuturkan yang ada dihatinya, mengeluarkan satu persatu yang ada dipikirannya, menceritakan jejak-jejak perjuangannya, dia seperti awan gelap mendung yang tak lagi mampu menahan beratnya air hujan hingga akhirnya air itu menjebol pertahanannya dan deras menyentuh tanah, dia membawaku melihat rasa sakitnya.
"Semua yang terpaksa memang tidak pernah menghasilkan sesuatu yang bagus", aku yang kaget mendengar apa yang baru saja dijelaskannya hanya mampu katakan itu.
"Masih juga kamu anggap semua yang aku lakukan sejauh ini adalah terpaksa? Terserah! Kamu memang tidak pernah salah, lagipula apalah untungnya untukmu perjuanganku ini". dia tidak bisa menutupi raut marahnya.
"Maaf, kita tidak satu pemikiran", hanya itu yang bisa kujawab.
"Memang dari dulu, toh? Jadi, sekarang kamu ingin menyerah untuk mencoba percaya padaku lagi?"
"Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?", aku men-skak mat.
dia menunduk, mencoba meredam kekesalannya, menyembunyikan kesakitannya atas kalimat yang ku katakan.
"Aku memang tidak pantas mendapatkan wanita sesempurna kamu", katanya lirih.
"Aku hanya tidak ingin kamu menghabiskan waktu disini, untuk wanita yang sudah terlanjur beku karenamu, aku tak ingin menghambat jalan bahagiamu ", aku mencoba sedikit menenangkan walau sebenarnya pasti tetap menyakitkan.
"Perjuanganku memang tak ada apa-apanya, masih banyak yang bisa melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang kulakukan, begitukan maksudmu?", tersirat kelelahan pada sorot matanya.
"Semua yang dipaksakan tidak akan berkahir dengan baik, jika tetap kamu lanjutkan perjuanganmu aku khawatir semua tidak akan lebih baik dari saat ini. Sungguh, benar apa yang kamu katakan bahwa kita memang terlanjur basi. Didaur ulang dengan cara sehebat apapun, makanan basi tetaplah makanan basi, sesuatu yang tetap tidak bisa lagi dinikmati. Kita memang sudah tidak lagi punya arti. Kamu harus berhenti". Aku berkata tanpa menoleh padanya sama sekali.
"Kamu benar-benar hebat, kamu mencoba menjatuhkanku", ada senyum kecut dibibirnya.
"Aku sudah berjuang sejauh ini, aku sudah pertaruhkan semuanya, jalan kita hampir selesai kita lewati, tapi apa yang kamu lakukan?", dia mencoba meyakinkanku.
"hampir itu untuk kamu, bukan untukku, bukan untuk hatiku", aku mengucapkannya dengan memberi penekanan pada kata "hampir", karena menurutku, bagaimanapun ini tetap rumit.
"Jadi, apa yang aku lakukan sejauh ini sia-sia? tak berguna?", terdengar kecewa sekali nada bicaranya.
"Aku tidak pernah ragu pada fisikmu, entah itu perjuanganmu, keberanianmu, kesungguhanmu. Tidak.. aku sama sekali tidak ragu. Tapi, hatimu? aku terlalu takut untuk bernaung didalamnya, aku takut berlindung pada hati yang pernah menghancurkanku", kini aku yang menunduk.
Ada hening yang panjang antara kami, aku terdiam, dia tak ucap satu patah katapun. Aku dan dia membatin pada perasaan kami masing-masing, kami berada pada sebuah persimpangan, aku sudah jelas memilih arahku sendiri, aku sudah memintanya untuk menuju persimpangan lain, tapi dia tetap menahanku berdiri dipersimpangan ini.
"Aku sudah sejauh ini memperjuangkanmu", dia memecah keheningan.
"Aku tidak ingin berhenti, kamu boleh menghentikan langkahku, tapi tidak untuk saat ini, tidak untuk saat aku masih ingin memperjuangkanmu". dia terdiam sesaat.
"Kamu boleh menolakku. Tapi, nanti.. didepan keluargaku", aku tercekat mendengar kalimatnya, sungguh itu kalimat amunisi paling ampuh tepat mengenai sasaran perasaanku. Aku mati kutu.
"Apa sesungguhnya yang kamu pertahankan? bukankah tidak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari wanita sepertiku?", aku menatap lekat matanya.
"Banyak. Sungguh banyak yang kuharapkan darimu. Karena setelah ibuku, hanya kamu yang memahami bagaimana aku. Karena pada kamu aku menemukan potongan-potongan untuk menyempurnakan hidupku, dan hanya kamu yang mampu menjadikanku utuh. Jika aku main-main maka aku tidak akan bertahan sekuat ini". dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan begitu yakin.
"Tapi kamu tak harus begitu, ", aku kembali menunduk.
"Harus, Aku harus tetap begini. Demi sakitmu yang harus kuobati, demi kepercayaanmu yang harus kubangun lagi, dan demi Agamaku yang harus kusempurnakan ini". jawabnya tegas. aku tak menyangka.
"Kenapa kamu masih terus bertahan walau sudah coba aku jatuhkan?", aku menatapnya penuh yakin bahwa aku sudah benar-benar mencoba menjatuhkannya, sudah berusaha menghentikan perjuangannya.
"Karena wanita sepertimu pantas untuk aku perjuangkan", jawabnya tegas. aku terdiam menunduk luluh, entah keras kepala atau egois kah orang yang berdebat denganku ini, tapi aku memang tak seharusnya ragu pada kekuatan bertahannya.
"Jadi, sudah sejauh ini tolong jangan halangi jalanku untuk tetap maju. Dan aku harap apa yang aku perjuangkan tidaklah sia-sia". Ucapnya mengakhiri perdebatan kita. Lisanku kelu untuk menimpali apa yang diucapkannya.
Akhirnya aku sadar, bahwa aku tak punya hak untuk menghentikan perjuangannya, bahwa dia tidak menuntut apapun dariku selain aku harus menunggu, dan akupun tahu bahwa aku dan dia bukan manusia yang mampu melihat masa depan, maka tugasku hanyalah harus merapihkan segala yang masih berantakan dihatiku tanpa harus mengganggu perjuangannya dan sisanya harus ku kembalikan pada Yang di Atas Sana, yang sedari tadi memperhatikan bagaimana kami berdialog. Yang Maha Memutuskan lagi Maha Berkehendak. Semoga Allah berkenan memberi petunjuk padaku hingga akhirnya aku memberi jawaban terbaik atas perjuangannya.
"Dan, pahamilah.. jika semua yang kamu lakukan demi Ridho Allah sungguh tidak akan ada yang sia-sia, sekalipun takdirmu bukan aku..", lirihku dalam hati, menunduk dalam hening malam ini.
"Apa saja yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla maka akan sia-sia" (Rabi'i bin Khutsaim Ats Tsauri rahimahullah)
Terimakasih untuk Kuatmu yang walau sudah berusaha aku hancurkan tapi kamu memilih untuk tetap bertahan. Semoga Allah Ridho.
Created by: @ninitatabon
Perdebatan itu sungguh bukan yang pertama kalinya dilakukan. Adu argumen, saling menyiapkan kalimat-kalimat pamungkas bagai amunisi yang jika ditembakan berharap tepat mengenai sasaran, debat kusir yang berlangsung alot karena kedua kubu mempertahankan pemikirannya masing-masing. Berdua saja, dua orang yang sama, memperdebatkan hal yang sama , tapi masih saja rumit untuk bisa diselesaikannya.
"Bisa kan kita selesaikan semua bukan hanya dengan diam?". dia mengawali pembicaraan.
Yang diajaknya bicara hanya diam mengacuhkan.
"Hey.. ", dia menegur. Yang ditegur tetap bergeming.
"Keras kepala! kenapa kamu terus diamkan aku?", nada bicaranya mulai meninggi karena sudah merasa terlalu lama didiamkan.
"Aku hanya ikuti yang biasa kamu lakukan, mendiamkanku ketika ada yang ingin ku diskusikan", yang sedari tadi diam mulai bersuara.
"Ayo kita selesaikan, aku tak lagi diam, aku ingin kita bicara", katanya. Tapi, yang diajaknya bicara kembali diam.
"aku tahu akar masalahnya, kamupun juga. tapi, kenapa aku masih juga kamu diamkan?", dia berbicara mencoba tenang.
"Karena kita sudah sama-sama tahu". yang diberi pertanyaan hanya menjawab datar.
"Akan sampai kapan kita begini?", dia terlihat kesal.
"Menjadi sekedar teman bicara saja kita selalu susah payah melakukannya, apalagi menjadi teman hidup", Aku si tokoh yang dari awal malas berdialog itu meluncurkan kalimat tembakan pertama.
"Kamu yang belum menyanggupinya! Aku tidak!". dia mulai kesal. Aku hanya diam saja, dan terus diam.
"Akan sampai kapan kamu memperlakukanku seperti ini? akan sampai kapan kita terus ada dalam keadaan ini? kenapa kamu masih saja begini?", dia mencoba setenang mungkin menuturkan kalimatnya.
"Karena tidak ada lagi yang aku tahu apa yang harus aku ucap", aku menatap lurus kedepan, tak peduli pada dia yang ada disampingku.
"Lalu, akan begini sajakah? bagaimana ini akan selesai jika kamu enggan ku ajak untuk membereskannya?. nadanya keheranan.
"Memang semua soal kita tidak pernah beres, bukan?", aku kembali menembakkan kalimat yang kuharap tepat mengenai hatinya.
Aku teringat semua hal tentang aku dan dia yang memang tidak pernah selesai walau coba untuk diselesaikan seteliti mungkin, walau setenang apapun kami menyelesaikannya tapi tetap saja tidak selesai, menggantung tak terputuskan.
"Kenapa sulit sekali untukmu menghargai sedikit saja usahaku? sekecil apa aku dimatamu hingga kamu tak bisa melihat aku?", dia mulai mengarah pada pokok permasalahan.
"Seperti yang kamu katakan, bahwa caraku memperlakukanmu terlalu basi. Dan memang semua yang sudah basi tidak baik untuk dinikmati", aku mencoba mengingatkannya. Mengingatkan apa yang dia pikirkan sebelum semua ini menjadi se-berantakan ini.
Basi, Kadaluarsa, Tak Layak lagi. Begitulah dia menilai caraku mendiamkannya, memperlakukannya, dan menilainya. Karena kami adalah dua orang yang pernah menjalin kasih, dua orang yang sempat bersama lalu kemudian terpisah karena salah satu dari kami mencintai orang lain. dia pergi dan aku ditinggalinya sendiri. Hingga kemudian kami menjadi Basi. Tapi, kini dia kembali, berusaha untuk memperbaiki apa yang sudah dihancurkannya sendiri, dia kembali dengan berniat mengobati sakit yang sudah dia buat padaku. Dan menurutku itu Basi.
"Kamu memang tak pernah bisa menghargai perasaanku", katanya ketus.
"Kamupun tak pernah bisa menghargai rasa sakitku", jawabku.
"Kamu tak bisa menghargai usahaku", dia mengembalikan.
"Kamupun tak bisa menghargai pemahamanku", kataku tegas.
"Pemahaman yang mana lagi yang harus aku pahami? belum cukupkah yang selama ini aku lakukan? Sekecil apa aku dimatamu hingga tak bisa kamu pandang? Tak jugakah kamu lihat bagaimana perjuanganku yang harus berdarah-darah demi mendapatkan lagi rasa percayamu?", dia terus menuturkan yang ada dihatinya, mengeluarkan satu persatu yang ada dipikirannya, menceritakan jejak-jejak perjuangannya, dia seperti awan gelap mendung yang tak lagi mampu menahan beratnya air hujan hingga akhirnya air itu menjebol pertahanannya dan deras menyentuh tanah, dia membawaku melihat rasa sakitnya.
"Semua yang terpaksa memang tidak pernah menghasilkan sesuatu yang bagus", aku yang kaget mendengar apa yang baru saja dijelaskannya hanya mampu katakan itu.
"Masih juga kamu anggap semua yang aku lakukan sejauh ini adalah terpaksa? Terserah! Kamu memang tidak pernah salah, lagipula apalah untungnya untukmu perjuanganku ini". dia tidak bisa menutupi raut marahnya.
"Maaf, kita tidak satu pemikiran", hanya itu yang bisa kujawab.
"Memang dari dulu, toh? Jadi, sekarang kamu ingin menyerah untuk mencoba percaya padaku lagi?"
"Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?", aku men-skak mat.
dia menunduk, mencoba meredam kekesalannya, menyembunyikan kesakitannya atas kalimat yang ku katakan.
"Aku memang tidak pantas mendapatkan wanita sesempurna kamu", katanya lirih.
"Aku hanya tidak ingin kamu menghabiskan waktu disini, untuk wanita yang sudah terlanjur beku karenamu, aku tak ingin menghambat jalan bahagiamu ", aku mencoba sedikit menenangkan walau sebenarnya pasti tetap menyakitkan.
"Perjuanganku memang tak ada apa-apanya, masih banyak yang bisa melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang kulakukan, begitukan maksudmu?", tersirat kelelahan pada sorot matanya.
"Semua yang dipaksakan tidak akan berkahir dengan baik, jika tetap kamu lanjutkan perjuanganmu aku khawatir semua tidak akan lebih baik dari saat ini. Sungguh, benar apa yang kamu katakan bahwa kita memang terlanjur basi. Didaur ulang dengan cara sehebat apapun, makanan basi tetaplah makanan basi, sesuatu yang tetap tidak bisa lagi dinikmati. Kita memang sudah tidak lagi punya arti. Kamu harus berhenti". Aku berkata tanpa menoleh padanya sama sekali.
"Kamu benar-benar hebat, kamu mencoba menjatuhkanku", ada senyum kecut dibibirnya.
"Aku sudah berjuang sejauh ini, aku sudah pertaruhkan semuanya, jalan kita hampir selesai kita lewati, tapi apa yang kamu lakukan?", dia mencoba meyakinkanku.
"hampir itu untuk kamu, bukan untukku, bukan untuk hatiku", aku mengucapkannya dengan memberi penekanan pada kata "hampir", karena menurutku, bagaimanapun ini tetap rumit.
"Jadi, apa yang aku lakukan sejauh ini sia-sia? tak berguna?", terdengar kecewa sekali nada bicaranya.
"Aku tidak pernah ragu pada fisikmu, entah itu perjuanganmu, keberanianmu, kesungguhanmu. Tidak.. aku sama sekali tidak ragu. Tapi, hatimu? aku terlalu takut untuk bernaung didalamnya, aku takut berlindung pada hati yang pernah menghancurkanku", kini aku yang menunduk.
Ada hening yang panjang antara kami, aku terdiam, dia tak ucap satu patah katapun. Aku dan dia membatin pada perasaan kami masing-masing, kami berada pada sebuah persimpangan, aku sudah jelas memilih arahku sendiri, aku sudah memintanya untuk menuju persimpangan lain, tapi dia tetap menahanku berdiri dipersimpangan ini.
"Aku sudah sejauh ini memperjuangkanmu", dia memecah keheningan.
"Aku tidak ingin berhenti, kamu boleh menghentikan langkahku, tapi tidak untuk saat ini, tidak untuk saat aku masih ingin memperjuangkanmu". dia terdiam sesaat.
"Kamu boleh menolakku. Tapi, nanti.. didepan keluargaku", aku tercekat mendengar kalimatnya, sungguh itu kalimat amunisi paling ampuh tepat mengenai sasaran perasaanku. Aku mati kutu.
"Apa sesungguhnya yang kamu pertahankan? bukankah tidak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari wanita sepertiku?", aku menatap lekat matanya.
"Banyak. Sungguh banyak yang kuharapkan darimu. Karena setelah ibuku, hanya kamu yang memahami bagaimana aku. Karena pada kamu aku menemukan potongan-potongan untuk menyempurnakan hidupku, dan hanya kamu yang mampu menjadikanku utuh. Jika aku main-main maka aku tidak akan bertahan sekuat ini". dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan begitu yakin.
"Tapi kamu tak harus begitu, ", aku kembali menunduk.
"Harus, Aku harus tetap begini. Demi sakitmu yang harus kuobati, demi kepercayaanmu yang harus kubangun lagi, dan demi Agamaku yang harus kusempurnakan ini". jawabnya tegas. aku tak menyangka.
"Kenapa kamu masih terus bertahan walau sudah coba aku jatuhkan?", aku menatapnya penuh yakin bahwa aku sudah benar-benar mencoba menjatuhkannya, sudah berusaha menghentikan perjuangannya.
"Karena wanita sepertimu pantas untuk aku perjuangkan", jawabnya tegas. aku terdiam menunduk luluh, entah keras kepala atau egois kah orang yang berdebat denganku ini, tapi aku memang tak seharusnya ragu pada kekuatan bertahannya.
"Jadi, sudah sejauh ini tolong jangan halangi jalanku untuk tetap maju. Dan aku harap apa yang aku perjuangkan tidaklah sia-sia". Ucapnya mengakhiri perdebatan kita. Lisanku kelu untuk menimpali apa yang diucapkannya.
Akhirnya aku sadar, bahwa aku tak punya hak untuk menghentikan perjuangannya, bahwa dia tidak menuntut apapun dariku selain aku harus menunggu, dan akupun tahu bahwa aku dan dia bukan manusia yang mampu melihat masa depan, maka tugasku hanyalah harus merapihkan segala yang masih berantakan dihatiku tanpa harus mengganggu perjuangannya dan sisanya harus ku kembalikan pada Yang di Atas Sana, yang sedari tadi memperhatikan bagaimana kami berdialog. Yang Maha Memutuskan lagi Maha Berkehendak. Semoga Allah berkenan memberi petunjuk padaku hingga akhirnya aku memberi jawaban terbaik atas perjuangannya.
"Dan, pahamilah.. jika semua yang kamu lakukan demi Ridho Allah sungguh tidak akan ada yang sia-sia, sekalipun takdirmu bukan aku..", lirihku dalam hati, menunduk dalam hening malam ini.
"Apa saja yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla maka akan sia-sia" (Rabi'i bin Khutsaim Ats Tsauri rahimahullah)
Terimakasih untuk Kuatmu yang walau sudah berusaha aku hancurkan tapi kamu memilih untuk tetap bertahan. Semoga Allah Ridho.
Created by: @ninitatabon
Saturday, 7 June 2014
Mengenal Universitas yang Fiksi namun Nyata
Pernah mendengar tentang sebuah perguruan tinggi fiksi namun nyata yang didalamnya menyediakan program studi dengan ilmu yang lebih kongkrit dari unviersitas ternama manapun? Universitas ini mempelajari ilmu yang lebih realistis dan mengukur kualitas mahasiswanya bukan dari keberhasilan perSKSnya atau nilai-nilai yang dilambangkan dengan huruf yang apabila mendapat A maka si mahasiswa disebut pintar dan jika mendapat C berarti si mahasiswa memalukan. Tidak.. Bukan..
Ini tentang Universitas Kehidupan. Sebut saja UNIPAN.
Kalian belum tahu? Mari saya perkenalkan.
Yaa katakan saja saya sedang promosi, tanpa brosur, tanpa jas almamater, dan tanpa rekan-rekan mahasiswa lainnya yang mendampingi. Saya mahasiswa UNIPAN semester 4, saya mengambil banyak jurusan, menerima banyak ilmu, yang inti dari tiap SKS yang saya ambil adalah sama, yaitu "Perjuangan". Bukan.. Bukan.. Ini bukan soal perjuangan seperti pada pelajaran sejarah yang membahas tentang bagaimana bangsa ini memperjuangkan kemerdekaan setelah 350 tahun dijajah. Yang saya pelajari adalah tentang perjuangan hidup. Sebelumnya, saya belum mampu mempromosikan banyak hal, karena saya masih semester 4, baru 2 tahun memasuki Universitas ini, belum khatam betul sistem didalamnya, saya hanya ingin sedikit memperkenalkan tentang UNIPAN pada kalian yang sedang bingung memilih Universitas untuk melanjutkan pendidikan setelah masa "Putih Abu-Abu" kalian usai.
Selain mengambil banyak jurusan sayapun memiliki banyak dosen, dan tahukah? Dosen saya bukan hanya bersosok manusia, tapi juga alam, lingkungan, bahkan kadang hanya hembusan angin saja. Kalian mulai bingung? Tak usah lah berfikir terlalu dalam, hanya butuh sedikit pemahaman saja untuk memahami promosi ini.
UNIPAN bukan universitas berstatus negeri ataupun swasta, tapi berstatus fiksi namun nyata seperti yang sudah saya tulis diawal, dan kalian tidak perlu membayar sepeserpun untuk masuk UNIPAN, tapi kalian bahkan dibayar!! Sekali lagi saya jelaskan, kalian kuliah dan DI-BA-YAR!! How great is'nt it?! Tapi tunggu dulu.. Kalian tidak dibayar dengan pundi-pundi nominal yang penuh mengisi rekening, kalian dibayar dengan KEKUATAN.
Tapi, kabar buruknya bayaran itu hanya untuk mereka yang bertahan di UNIPAN, untuk yang tidak mampu bertahan merekapun sebenarnya dibayar, tapi dengan PENYESALAN. Mengerikan bukan?
Dan hey.. Jangan sedih untuk kalian yang memutuskan untuk bekerja, UNIPAN menyediakan kelas karyawan loh. Dan bahkan biasanya bagi mahasiswa yang menyambi bekerja, ilmu dari UNIPAN sangat berguna dan "mengena". Hebatnya perkuliahan bagi kelas karyawan tidak dilakukan saat weekend seperti Universitas kebanyakan, tapi di UNIPAN untuk program kelas karyawan perkuliahan bisa dilakukan bahkan saat si mahasiswa sedang melakukan aktivitas bekerjanya!! Menarikan?
Jika di Universitas lain title "Mahasiswa Abadi" adalah memalukan, maka di UNIPAN kalian justru harus bangga, karena di UNIPAN tidak ada batas waktu untuk lulus, bahkan lebih baik kita tidak pernah lulus tapi mampu menerapkan ilmu yang didapat secepatnya walau masih berstatus mahasiswa, iya.. Kalian bisa merasakan manisnya mengaplikasikan ilmu yang didapat di UNIPAN tanpa harus menunggu lulus tapi dengan catatan kalian tidak mudah putus asa. Kembali pada title "mahasiswa abadi" benar adanya bahwa kita tidak akan pernah lulus dari UNIPAN, yang ada kita hanya terus menaiki tingkat, dari mulai Diploma, Sarjana, pasca Sarjana, pendidikan profesi, program Magister, aaaah intinya kita tidak akan pernah lulus walau sudah bertitle "Master", karena sehebat-hebatnya master pasti butuh ilmu, dan hanya UNIPAN yang menyediakan ilmu sekomplit-komplitnya.
Kunci untuk tetap bertahan di Universitas ini bukan uang semesteran, tapi keyakinan kuat untuk belajar, dan mau menerima segala "mata kuliah" walau sepahit apapun, dan dengan "dosen" se-killer apapun.
Berminat? Jangan risau untuk kalian yang berdomisili didesa yang jauh dari pusat kota, karena hebatnya UNIPAN berdiri, dibangun, dan tersebar di SELURUH INDONESIA bahkan di pelosok desa sekalipun!!!
Sesungguhnya walau tanpa saya promosikan, walau tanpa kalian mendaftar masuk, walau kalian tidak melirik atau meladeni promosi ini, dan bahkan walau kalian sudah memilih universitas lain sekalipun kalian akan tetap masuk dan menjadi mahasiswa UNIPAN.
Jadi, selamat datang MABA UNIPAN 2014 :)
Untuk yang baru memulai, untuk yang masih terus berjuang. Untuk kalian dan untuk saya yang masih terus berusaha mewujudkan semua impian. Mari berlomba mendapatkan, menyimpan, dan mengaplikasikan ilmu dari Universitas Kehidupan!! ^^v
*hanya fiktif belaka, jika ada Universitas yang sebutannya sama, mohon dimaafkan, dan jika memang benar ada dimohon untuk pembaca jangan dianggap sama UNIPAN yang dimaksud dengan UNIPAN yang saya promosikan ini. Namanya juga fiktif.
Oh, satu lagi, tanpa saya promosikan UNIPAN sebenarnya selalu diminati oleh seabreg mahasiswa baru setiap tahunnya. Trims.
Created by: @ninitatabon
Subscribe to:
Posts (Atom)