Bagi sebagian orang yang telah lelah berkutat pada aktivitasnya sepanjang hari, malam selalu menjadi waktu yang paling mereka tunggu, sebab punggung akan merebah pada nyamannya tempat tidur, langit-langit kamar akan menghipnotis mereka untuk terpejam, desah angin halus membisik senandung yang membuat kelopak mata sungguh berat untuk ditahan, meminta diri mereka untuk terlelap demi melepas segala beban yang mereka pikul hari ini, memasrahkan diri untuk terbuai dalam mimpi, terasa nikmat sekali bagi mereka yang sudah dengan amat rela menukar keringat mereka demi sesuap nasi dan kebahagiaan orang-orang yang mereka cintai.
Namun padaku, malam terlihat ketus, ia memaksa diri mengingat banyak kenangan. Malam membuat hening menjadi lebih asing dari biasanya, membuat suara detik jam yang menempel pada dinding menjadi amat memuakkan kedengarannya.
Orang bilang, waktu akan berbaik hati mengobati hati yang patah dan terluka, namun nyatanya bagi hati yang terlanjur patah, malam adalah waktu paling memuakkan, pada diri yang patah hati, saat ingin segera terlelap, malam membuat tubuh merespon sebaliknya. Malam selalu tidak berbaik hati kepada mereka yang baru saja patah hati, dinding kamar menjadi terlihat lebih suram dari biasanya, langit-langit kamar menjelma menjadi layar tempat pikiran memproyeksi banyak kenangan, lampu ditengah ruangan memendarkan cahaya ke setiap sudut ruang membuat mata yang digelayuti mendung kesenduan dan raut yang amat berusaha menutupi gurat kecewa menjadi terlihat amat jelas, suara detik jam yang menempel pada dinding pun menjadi nyanyian yang begitu menusuk keheningan.
Ceritaku masih sama, topiknya masih itu-itu saja, tentang waktu dan kamu, yang padahal aku sering berbisik dalam hati, berucap bahwa kelak bersamamu aku yakin aku tidak akan membutuhkan siapa siapa lagi, namun justru kini aku membutuhkan banyak orang, siapapun, untuk membantuku sedikit saja lupa, sedikit saja tak perlu muluk-muluk, membantuku lupa bahwa kamu pernah ada, bahwa kita pernah saling menaruh harap.
Ah, malam.. seketus apapun ia padaku, kamu harus tahu bahwa kepadanya aku menitip salam untukmu, dalam heningnya, aku bercerita tentang kamu, kepadanya aku berkata, bahwa namamu pernah menjadi diksi yang paling indah untuk ku tulis, sebelum kini menjadi kata paling memuakkan untuk ku dengar.
Aku harap malam segera berakhir, sebab ada daun-daun hijau yang ingin segera kusapa, ada kicau burung yang ingin segera ku dengar. Aku harap malam segera berakhir, sebab ada asa baru yang ingin segera kujemput, ada segar wangi kelopak bunga yang ingin segera kuhirup.
Dan aku harap malam cepat usai, sebab aku ingin segera melepasmu dari menjengahkannya malamku, aku ingin melepasmu seperti bunga yang merelakan embun pagi mengering dikelopaknya saat mentari mulai menyapa, tak lagi terlihat, meresap dalam senyap. Aku harap kamu menguap bersama banyak harap.
Indramayu, tengah malam, dilatar suarai derik jangkrik.
Nita Bonita Rahman