Daun terakhir di dahan pohon November telah gugur, ia jatuh bersamaan dengan ketika senja menyemburatkan jingga pertamanya sepuluh hari yang lalu. November telah usai, banyak sudah kisah yang tertulis di 30 hari kemarin, Desember telah tiba, dan purnama terakhir di tahun ini akan segera menyapa.
Sesungguhnya sejak pernah merasa patah, urusan tanggal dan waktu bagi saya hanya tentang segala rutinitas yang harus tuntas sejak pagi bermula hingga malam saya memejam mata.
Sejak mengerti rasa kecewa, kalender yang terduduk manis di meja kerja, hanya saya sentuh saat menulis agenda atau keperluan titi mangsa.
Namun sejak Desember tiba, setiap melihat arloji di pergelangan tangan, saya selalu merasa gundah, setiap suara detak detik terdengar, saya gelisah.
Sejak Desember tiba, saya selalu dirundung dilema, perihal jawaban segala upaya selama tujuh purnama, yang entah segalanya akan meredup saat purnama kedelapan menyapa, atau justru semakin terang sinarnya hingga sekian dasa warsa.
Sejak Desember tiba, saya terus mengulang-ngulang tanya, mengapa kiranya waktu begitu cepat bergulir, sedang segala tanya perihal kepastian begitu gaduh dalam pikir, dan rasa yakin juga ragu begitu senang menyapa sejak orang asing yang membuat saya lebih akrab dengan purnama itu hadir.
Juga sesungguhnya sejak dahulu, saya bukan orang yang senang membuat wishlist, menyusun resolusi harapan tahun baru, atau membayang perihal apa yang akan terjadi di hari esok. Namun, sejak Desember tiba, saya tetiba menjelma seorang perempuan yang hobby mengira-ngira, menyusun rencana, dan senang memandangi jam di dinding rumah. Kiranya apa yang akan saya terima saat purnama ke delapan datang menyapa?
Sejak pintu perkenalan itu saya buka, kala pertama kita saling bertukar salam dan sapa, banyak nian tanya yang tak terucap meski sehela, tak pula tertulis meski sehuruf. Kini mereka mendesak keluar melalui celah-celah kata "Bagaimana" dan "Kenapa".
Bagaimana...
Bagaimana jika ternyata orang asing itu salah rumah, atau nantinya ia merasa salah menerka, kemudian kita berdua saling merasa sia-sia, atau... Bagaimana jika bukan hanya pintu rumah saya yang satu-satunya dia ketuk? Bagaimana?
Pun, kenapa...
Kenapa pintu rumah saya yang diketuknya, sedang banyak daun pintu yang ukirannya lebih indah, barangkali berkiblat design traadisional vintage atau western misalnya. Juga, kenapa saya berpijak begitu yakin pada hal yang amat rapuh bahkan hanya disentuh.
Kini disetiap malam sejak Desember tiba, saya sengaja mencoba terlelap lebih sore dari biasanya demi membatas tegur sapa, meski yaa, akhirnya saya tak kunjung lelap juga. Pun sejak Desember tiba, saya terus berulang-ulang menyusun niat dan rencana, mencoba bersiap untuk segala yang mungkin terjadi kala bersua pada Desember pekan ketiga.
Dan disetiap pagi sejak Desember tiba, sebenarnya semua berjalan normal dan biasa, namun entah kenapa saya selalu lebih ingin tersenyum di depan kaca, berusaha lebih bahagia saat menyapa embun pagi di dedaunan pada sisi jalan saat berangkat kerja, hingga selalu ingin merasa lebih gembira setiap melihat indah senja diantara hijau sawah yang saya lewati dengan mengayuh sepedah menuju rumah, saya melebihkan semuanya hanya demi satu usaha, adalah agar tidak merasa begitu patah jika akhirnya, barangkali tentang kita ternyata tidak akan pernah ada.
Dan disetiap malam tersisa sepertiga, tidak hanya sejak Desember tiba, saya selalu meminta, agar Tuhan membuat saya ikhlas menerima kepastian apapun yang akan saya terima, bahkan meski seluruh harap yang pernah saya perbaiki susah payah harus kembali patah.
Haurgeulis. Hari ke-10 Desember.