Sunday, 22 January 2017

Ja(t)uh

Hari ini adalah hari ke dua puluh dua setelah euforia tahun baru 2017 meletup. Sementara banyak orang perlahan-lahan mulai merealisasi resolusi, saya masih asik men-skroll history chat kita sejak berpekan-pekan lalu, keluar-masuk aplikasi perpesanan demi membuka ulang dialog-dialog kita yang padahal tidak akan berubah meski berkali-kali dibaca.

Sebenarnya saat menulis ini, malam sudah terlalu larut untuk saya yang besok sebelum pukul 7 pagi harus sudah berada ditempat kerja, tapi malam ini, rindu membuat ulah, dia memaksa saya terus terjaga, meminta saya mengurai gelisah lewat aksara.

Sudah saya jelaskan di paragraf pertama bahwa saat ini saya sedang mengenang percakapan-percakapan kita, bukan hanya membaca, tapi hingga mendetail koma dan titiknya. Dari itu harusnya kamu mengerti segala yang kamu tulis bagi saya sepenting apa.

Berulang-ulang saya mencoba memejam mata, tapi berulang kali juga saya men-unlock ponsel yang padahal baru beberapa detik lalu saya lock. Ah, saya tetiba merasa seperti bocah yang penasaran pada satu benda didalam kotak kaca, padahal sudah paham betul isinya, tapi masih juga dibuka tutupnya. Sudah hapal betul segala maksudnya, masih juga pesan-pesan dari kamu berulang saya baca.

Saya harus mengaku, saya menyukai segala yang kamu tulis meski hanya kata "iya" dengan titik dibelakangnya, maka pastilah juga kamu paham apa yang saya rasa saat mata saya sampai pada sebaris pesan yang kamu kirim selepas pamit pulang pada Ibu dan Bapak saya dipertemuan pertama kita.

Mengingat lagi segala yang sudah terjadi sejak malam perkenalan kita kala itu hingga hari ini, membuat darah saya berdesir lembut, jantung saya berdegup gugup, sebab tidak sekalipun pernah saya membayang tentang kita menjadi seserius ini.

Mohon maafkan saya sebab pada awal mula perkenalan kita, saya sempat menyangka kamu seperti lelaki kebanyakan, datang hanya sekedar menebar modus dan harapan, namun semua terpatahkan saat kamu duduk satu sofa dengan Bapak di rumah sederhana saya di tengah desa.

Maaf karena saya sempat suudzon, saya pikir hanya akan ada satu salam diantara kita, ialah hanya saat pertama kamu memperkenalkan diri dan meminta izin berbincang dengan saya, namun lagi-lagi dugaan saya salah, nyatanya salam kedua sudah kamu ucap setelah pintu rumah saya kamu ketuk.

Saya bukan tipe orang yang senang berekspektasi tinggi pada sebuah perkenalan dengan orang yang benar-benar asing, selama bertujuan baik, mari kita saling bertukar tanya. Namun malam itu berbeda, saat seorang teman tiba-tiba meminta izin, katanya, bolehkah dia memberikan nomor ponsel saya pada temannya? Saat saya tanya untuk apa? Dia kata ingin kenal saja. Namun saat itu, saya yang tidak mudah percaya pada orang asing ini tiba-tiba saja mempersilahkan.

Atas nama Tuhan pemilik segala kasih dan sayang di muka bumi, kita mengawali perkenalan ini dengan begitu hati-hati, saya berusaha menjadi tuan rumah yang baik, dan kamu terlihat menjadi tamu yang sopan.

Begitulah, Tuhan menjadi alasan atas segala keputusan yang saya pilih, mempersilahkan kamu masuk dan memperkenalkan diri, hingga hari ini. Semoga Tuhan selalu meridhoi.

Yang saya percaya hingga detik ini, tidak ada satupun kebetulan di muka bumi, semua sudah Allah atur sedemikian rupa, begitu juga dengan perkenalan kita, siapa yang sangka ternyata kita lahir di bulan yang sama dan berjarak hanya tiga hari saja? Siapa pula yang menyangka jika ditanggal dan bulan yang sama dengan hari ini di tahun lalu kita bahkan tidak saling tahu namun kini menjadi saling mau?

Saya tidak bisa mengatakan bahwa saya sudah mengenal kamu dengan baik, tapi saya bisa memastikan ada bagian dalam diri saya yang sudah terlanjur kamu tarik. Entah pada purnama ke berapa hati saya mulai jatuh, yang jelas, hingga detik ini, bagi saya semua soal kita sudah amat jauh.

Tuan, sejak kita masih sama-sama kaku membalas tanya, hingga kini kita tak malu bicara tentang masa lalu, saya tidak pernah meminta apapun selain meminta kita jangan lupa menempatkan Tuhan diantara kita, kan? Malam ini izinkan saya meminta satu hal lagi, satu saja tak perlu banyak-banyak, dan semoga tidak begitu pelik untuk kamu berikan.

Sebelumnya saya berterimakasih sebab kamu sudah memberikan saya satu kepastian, namun kini saya meminta, tolong jangan biarkan saya menanti tanpa tahu hingga kapan, jangan pula terlalu lama membiarkan saya menggantung harapan, sebab pikir saya semakin hari semakin gaduh, sejak saya mulai jatuh, hingga kini ternyata jatuh saya begitu jauh.


Haurgeulis, 22 Januari 2017.