Salam,
Kepada Tuan, di tempat.
Selamat pukul berapapun di tempatmu saat kamu membaca ini, Tuan. Apa kabar? Saya harap kamu sehat, dan tidak kurang suatu apa, sebab ada bagian dari diri saya yang akan terluka jika saya tahu kamu sedang kenapa-napa, sedang saya disini tidak bisa berbuat apa-apa.
Tuan, kamu sedang apa? Saya harap, apapun yang sedang kamu lakukan bukan hal yang dapat menjauhkanmu dari Tuhan, sebab bagaimana mungkin Dia mau setuju pada doa-doa tentang kita jika diantara kita berdua ada yang dinilai tidak bekerja sama dengan baik untuk mendekati-Nya.
Tuan, saya harap surat ini tidak merepotkan waktumu, tidak juga mengganggu kegiatanmu, apalagi memberantakan perasaanmu, sebab saya tahu, disana ada yang sedang kamu usahakan dengan gigih, demi masa depan kita yang tersusun rapih.
Tuan, dengan datangnya surat ini, saya ingin mengabarkan bahwa disini saya sedang dirundung bingung, dan terserang bimbang, saya dilema menentukan mana yang paling saya rindu, senyummu atau teduh tatapmu, sebab keduanya begitu senang berkelebat dalam pikiran, bahkan meski mata sudah saya pejamkan.
Tuan, serangan bingung dan bimbang ini semakin membuat saya gamang, terlebih jika hujan datang, tentang kamu semakin membuat pikiran saya gaduh, hingga harus berkali-kali saya mengaduh.
Tuan, diharap kamu disana suka rela mendoakan saya, sebab dokter mendiagnosa bahwa serangan wabah bimbang dan rindu ini akan semakin menjadi jika kamu luput mendoakan saya meski sehari.
Demikian adanya kabar saya disini, Tuan. Semoga kamu tidak keberatan membacanya, sebab saya begitu sungguh-sungguh menuliskannya.
Sebelum semakin tak karuan perasaan ini, baiknya surat ini saya sudahi.
Salam, saya yang merindumu.
Haurgeulis, Siang hari.