Seorang teman bilang, katanya enak menjadi saya, resah sedikit tinggal tulis, gundah secuil tinggal buat cerita. Sayangnya dia belum benar-benar tahu, bahwa saya adalah tipe orang yang pemilih, dalam hal apapun, termasuk soal menulis, saya akui saya senang menulis banyak hal, tapi sayangnya tidak semua hal bisa saya tulis. Tentang kamu, misalnya.
Banyak kata yang saya coba susun menjadi kalimat yang manis untuk bercerita soal kamu, tapi rasanya saya selalu gagal, bahkan sebelum saya memulainya, saya akan menghapusnya. Sebab semua hal tentang kamu sudah saya putuskan untuk saya diamkan di salah satu ruang dalam hati, tidak saya biarkan seorangpun tahu perihal kamu, sebelum terucap janji itu, janji yang jika kamu ucap, Arasy Tuhan akan bergetar, dan saat doa kamu lantunkan, ribuan malaikat akan turut mengaminkan. Sakral.
Untuk saya, kamu dan segala cemas adalah satu paket, dan mendiamkan seperti tidak ada apa-apa adalah pilihan terbaik. Tapi kini saya harus mengaku bahwa saya salah mengira, saya pikir sunyi adalah tempat terbaik untuk menyimpan gundah, saya sangka hening adalah cara terbaik untuk menyamarkan resah, saya kira soal kamu memang hanya harus saya pendam dalam-dalam, namun ternyata saya luput menghitung perihal rindu, saya lupa jika rindu senang mengganggu, bahkan sekalipun saya tengah begadang dikejar deadline, atau saat saya tengah ditegur pimpinan dalam sebuah pertemuan, rindu benar-benar amat mengganggu, dia selalu mampu membuat segala sesuatu menjadi amat sendu.
Barangkali bagi sebagian mereka yang belum paham mengapa saya memilih menyimpan soal kamu rapat-rapat adalah terlalu berlebihan, ceritakan sajalah, jangan menyiksa diri, katanya, atau ekstrimnya lagi ada yang beranggapan cara saya menanggapi keberadaan kamu sudah kuno. Kita berkenalan, saling jatuh hati, merindu, menanti, lalu apa lagi jika bukan saling berbalas perhatian dan simpati setiap hari? Di mata mereka harusnya begitu. Tapi tidak di mata Tuhan Yang Maha Tahu.
Baiklah, orang boleh bebas memberi pendapat, bahkan meski saya tidak memintanya. Tapi saya juga berhak memilih, bahkan meski pilihan itu menyiksa diri saya sendiri. Tapi perlu juga kamu ketahui, saya menulis ini bukan untuk mendebat pendapat siapapun, saya hanya ingin sedikit menenangkan segala gaduh yang selama ini hanya saya yang tahu.
Jika disana kamu berpikir saya disini baik-baik saja, dengan sangat terpaksa saya harus katakan bahwa kamu salah besar. Apa yang kamu tahu setiap pagi tentang saya? Dengan kita yang berjarak sekian puluh kilometer jauhnya, barangkali kamu hanya tahu saya disini setiap pagi sebelum pukul tujuh sudah berada di tempat kerja setelah 5 menit sebelumnya mengayuh sepedah dengan baik-baik saja, melintasi sawah, menikmati cuaca pagi yang cerah, dan ramah menyapa tetangga yang tengah berjalan-jalan pagi mencari sarapan, seperti yang pernah saya ceritakan. Tapi kamu tidak tahu, sesungguhnya sejak pagi dimulai, saya selalu melihat kalender, memperhatikan jam dinding, menghitung berapa lama lagi perjumpaan kita, juga tidak pernah luput memeriksa ponsel barangkali ada pesan darimu yang semalam tak sempat saya baca sebab saya sudah terlelap kelelahan, jika tidak ada, kamu juga harus tahu betapa sering saya berniat menghubungi kamu lebih dulu, bertanya bagaimana tidurmu malam tadi, adakah perihal saya bertandang dalam mimpi? Tapi tidak saya lakukan meski sekali, sebab ada komitmen yang kita berdua yakini, aturan Tuhan tidak bisa kita langgar, bahkan saat bayang senyummu tiba-tiba hadir di kepala, saya harus segera beristighfar.
Siang harinya, saat jam makan siang tiba, barangkali kamu juga berpikir saya disini baik-baik saja, telah usai ibadah, mencari angin di luar ruangan, atau makan siang dengan teman, dan kegiatan-kegiatan lain yang lumrah dilakukan siapapun saat jam makan siang. Tapi, tahukah? Sebagian yang kamu pikirkan mungkin memang benar saya lakukan, tapi apa kamu juga tahu bagaimana seringnya saya mengecek ponsel? Ponsel saya biarkan stand by di saku, sebab tak ingin terlalu lama menjawab jika barangkali tiba-tiba ada pesan dari kamu yang ingin bercerita bagaimana beratnya pekerjaan kamu hari itu atau sekedar basa basi berbincang perihal cuaca siang di tempatmu, jika tidak ada pesan dari kamu, tidak terhitung juga berapa kali saya berniat untuk mendahului menghubungi kamu, sekedar bertanya sudah makan siangkah kamu? Tapi urung saya lakukan, pertanyaan itu saya biarkan menggantung dalam pikiran. Siang itu kita lewati dengan tak saling bertegur sapa ataupun candaan. Jadilah segala aturan yang tidak ingin kita langgar, juga segala tanya tentang keadaan kamu, menjadi gaduh di dalam kepala, berebut mana yang harus saya pikirkan lebih dulu.
Pun saat jam pulang kerja tiba, entah apa yang kamu pikir tentang saya disana, barangkali kamu pikir saya sedang merapihkan meja, bersiap mengayuh sepeda dan pulang ke rumah, sayangnya, ternyata disini, saya masih duduk didepan layar komputer, terus bekerja, dengan pikiran yang bercabang kemana-mana, sebab sesiang tadi habis kena tegur pimpinan karena tugas yang diberi kepada saya tidak beres dan berkendala, tapi sore itu, saat pikiran saya sudah kacau karena pekerjaan yang tak kunjung usai, juga badan yang sudah amat kelelahan, saya menyempatkan memeriksa ponsel, lagi-lagi, barangkali ada pesan darimu disana, tapi jika memang tidak ada rasanya ingin sekali saya menulis pesan kepada kamu, mengadu perihal hari itu yang tidak berjalan dengan baik, atau sekedar memberi tahu bahwa hari sudah sore, saya sudah lelah, tapi masih belum bisa pulang. Tapi lagi-lagi pesan apapun tidak saya kirim. Komitmen-komitmen baik kita, mengurungkan segalanya.
Malam hari, setelah merapihkan diri dan menyelasaikan aktivitas lainnya, saya bergegas masuk kamar, bersiap tidur, kemudian akan begitu riang saat mendengar dering notifikasi ponsel, barangkali itu darimu, maka saya harus buru-buru membuka dan membalasnya, namun akhirnya saya menjadi malu sendiri menatap layar ponsel saat menyadari pesan itu hanya dari operator kartu selular atau promo dari salah satu toko online. Mungkin disana kamu berpikir saya disini baik-baik saja, tengah bersantai dengan keluarga atau sedang melepas lelah setelah seharian bekerja, tapi kamu tidak tahu, hari itu saya tidur dengan gelisah bahkan terkadang curiga, sebab seharian penuh kita sempurna tidak saling bertegur sapa, sedang aku ingin tahu, saat itu kamu sedang apa dan bersama siapa? Sudah pulang atau masih bekerja? berapa liter air putih yang kamu habiskan hari ini? Dan banyak pertanyaan lain yang bising di dalam pikir, belum lagi ketika mengingat saat makan malam tadi Ibu bertanya perihal kabar kamu, saya menjawab kamu baik-baik saja, sedangkan sesungguhnya saya sendiri tidak tahu satu hari itu bagaimana keadaan kamu disana.
Aduh, terbayangkah oleh kamu bagaimana berisiknya isi kepala saya?
Tapi saya kembali salah mengira, saya pikir semua tentang kita menjadi gaduh dan berisik di pikiran hanya saat kita tak ada kontak sama sekali, saya kira ini hanya perihal rindu, sayangnya mungkin lebih dari itu. Kita tidak setiap hari tidak berkabar, barangkali hanya satu-dua hari dalam seminggu, tapi ternyata saat tengah bercakap dengan kamupun pikiran saya tetap gaduh.
Kita senang membahasa banyak hal, se-tidak penting apapun, saya jamin itu, sebab apa yang kita bahas tak menjadi soal selama disana kamu meladeni dan saya terus membalas, tapi satu yang pasti, kita masih punya batas, komitmen-komitmen kita menjadi pagar dan penyaring setiap topik, agar tak terlalu bebas, agar tak menjadi ambigu. Kadang saya merasa ini lucu, kita sama-sama tahu, kita sama-sama mau, kita sama-sama merasakan, tapi kita sama-sama bersembunyi dari perasaan dan pikiran-pikiran yang belum seharusnya ada dan diucapkan. Dan ini yang saya sebut gaduh. Ketika dua orang saling tahu, tapi lebih memilih diam membisu, sedang pikirnya berteriak-teriak tak tentu.
Seperti pada suatu malam pada salah satu percakapan kita, dengan sangat mendadak kamu bilang saat itu juga kamu harus segera pulang ke kota asalmu karena orangtuamu sakit, kamu berangkat dan saya hanya bisa mengucap "Hati-hati di jalan, salam untuk Ibu dan Bapak", itu saja. Sedang dalam pikir dan benak saya segala resah berkecamuk, malam itu cuaca sedang tidak jelas, hujan bisa tiba-tiba saja menderas, kamu mengendarai motor, dan kamu baru pulang kerja --overtime, ingin sekali rasanya saya katakan bahwa saya menghawatirkan keadaan kamu, menahan agar esok pagi saja kamu pulang, kalimat "Saya hawatir, saya tidak mau kamu kenapa-napa" hanya bisa saya ketik-hapus pada layar, tidak pernah terkirim. Saya belum boleh katakan itu. Kita sudah berkomitmen. Tuhan akan marah pada kita. Maka biar saya tunggu hingga kamu sampai rumah, dan berharap sebuah pesan dari kamu muncul di ponsel saya, berisi kalimat "saya sudah sampai, dan saya baik-baik saja", meski hingga larut malam.
Demikian.
Siapapun yang tahu perihal kita, saya yakin dia akan tertawa, atau mungkin menatap sinis, di jaman yang secanggih ini, siapa pula yang masih memakai konsep jatuh cinta dengan cara yang lugu? Kita memasuki era dimana perasaan atau pikiran apapun bebas di ungkapkan, bukan lagi massanya jatuh hati dengan pipi merah tersipu, atau saling ragu hanya sekedar bertanya kabar, apalagi alasannya "takut mengganggu", apalah yang mengganggu jika di jaman ini, benda bernama gadget rasanya tidak pernah bisa jauh dari genggaman?
Dan jika kamu bertanya pada saya perihal jaman, saya setuju jika kini semua serba canggih, peradaban harus berubah, tapi perihal perasaan? Sejak perasaan-perasaan absurd itu mulai dikenal manusia, menjadi tema yang sering dipakai para penulis roman, hingga kini barangkali kita bisa melihat perasaan orang hanya dari status facebooknya tadi pagi, bagi saya, hal-hal sakral perihal perasaan-perasaan itu tetaplah sama. Mebuat jantung berdegup tidak seperti biasanya, membuat kata-kata manis yang sudah sekian lama disusun hilang begitu saja, membuat raut yang susah payah terlihat tenang, tetap tampak malu dan gugupnya.
Begitu pula soal kita, saya tidak ingin jatuh cinta dengan biasa saja, saya tidak ingin perihal kita menjadi sama seperti cerita orang kebanyakan, saya ingin merasakan perasaan ini dengan lugu, seperti belum pernah merasakan sebelumnya. Saya ingin jatuh hati dengan sederhana, namun mengena. Biar segala gaduh tetap menjadi gaduh, tidak akan saya rubah meski saya amat mau, tapi saya ingin menanti dengan kisah yang manis, tidak akan saya rusak alurnya meski segaris.
Setelah semua gundah coba saya urai, saya harap kamu tahu, soal kita dipikiran saya segaduh apa, belum lagi terhitung perihal seseorang yang saya hormati --yang sedikit banyak sudah kamu tahu, atau soal orang-orang yang tiba-tiba saja datang, semua begitu menyesakkan ruang-ruang di kepala, membuat segalanya semakin gaduh dan saya harus mendiamkannya dengan susah payah.
Saya sungguh ingin meminta maaf untuk semua kata yang tidak tertulis meski sehuruf, segala tanya yang tidak juga terucap meski sehela, jika sudah membuat kamu salah menduga. Saya harap kamu sekarang paham, saya hanya tidak ingin membuat Tuhan marah pada kita.
Maka biar segala gaduh di kepala dan hati saya tetap sunyi di telinga penduduk bumi, tapi semoga menjadi perbincangan di atas langit.
Indramayu, 27 Maret menjelang 28 Maret 2017.
*NBR.