Saya akui saya telah melanggar komitmen yang saya buat, saat awal tahun saya bertekad bahwa selama tahun 2017 ini saya akan melakukan "one month one post" di blog, apapun itu contentnya, puisi, kalimat-kalimat absurd, quote-quote dari novel yang saya baca atau caption-caption bagus di IG, apapun, yang penting minimal selama satu bulan ada yang saya posting di blog saya ini. Tapi di bulan Agustus kemarin, saya gagal karena alasan yang saya juga bingung kenapa. Jika alasan sibuk oleh rutinitas kerja, rasanya tidak, karena sejak awal bulan Agustus saya memutuskan untuk resign.
Beberapa bulan ini gairah menulis saya amburadul, setiap saya ingin sekali menulis, kemudian membuka note, saya selalu bingung akan menulis apa, jika memutuskan untuk tidak menulis, dalam pikiran saya meledak banyak kata-kata. Saya dibuat bingung oleh diri saya sendiri.
Jika di selidiki apa sebab kekacauan yang ada pada diri saya beberapa bulan ini, barangkali terlalu nervous adalah jawabannya? Bisa jadi.
Pada bulan Agustus lalu, di satu hari sebelum tanggal yang sama dengan saat saya memosting tulisan ini, ada keputusan besar yang saya buat. Menikah. 27 Agustus 2017.
Benar, kalian tidak salah baca sama sekali. Genap 1 bulan sudah saya menyandang status baru, sekarang saya adalah seorang istri dari seorang laki-laki yang beberapa bulan terakhir menjadi tokoh utama dari setiap bimbang yang saya tuang dalam diksi yang saya pilih, dia adalah alasan dari setiap sendu yang saya utarakan malu-malu di setiap bait puisi yang saya tulis.
Sebelum sampai pada hari ini, pernah saya tulis tentang hening yang menyesakkan, sepi yang begitu mengganggu, suara detik jarum jam yang memuakkan, kalender duduk di meja kerja yang saya perhatikan hingga bosan. Kesemua itu adalah tersebab satu alasan, ialah perihal keputusan besar dalam hidup untuk menetap pada satu hati, jatuh cinta pada orang yang sama dalam waktu yang lama, keputusan menggenapkan separuh agama.
Satu bulan sudah, duhai, setelah kalimat ijab qabul itu lancar dia ucap, segala rindu yang dahulu terbelenggu seakan menjelma kupu-kupu yang bertebaran di dalam perut setiap detik, setiap hari!
Perihal resignnya saya dari tempat kerja, adalah karena beberapa hari sebelum hari H pernikahan kami, banyak sekali yang harus saya urus, dan rasanya akan sangat tidak sopan jika saya terlalu sering meminta izin untuk meninggalkan pekerjaan, maka resign adalah pilihan terbaik.
Dulu, saat saya mulai sadar bahwa kelak suatu hari saya akan menikah, meski belum tahu bersama siapa, saya senang merencanakan banyak hal, maka coba kalian tebak bagaimana rasanya saat segala yang sudah kalian rencanakan sejak lama itu akan segera terealisasi! Senang? Tentu! Tapi ternyata, semua tidak sebahagia yang saya pikir, ada sedih yang lebih dominan mengganggu perasaan, entah kenapa semakin dekat dengan hari H, justru saya merasa semakin sedih, bahkan pada H-1 saya menangis sendu sesendu-sendunya.
Sedikit cerita, saya dan suami tidak pacaran sebelumnya, kami di kenalkan oleh salah seorang teman yang kebetulan saya kenal baik, dia adalah teman seangkatan jaman SMK dulu, saya tahu bagaimana si teman itu, menurut saya dia bukan tipe teman yang banyak tingkah, dia tergolong teman yang "lurus", itulah sebab kenapa saat dia mengatakan ada seorang temannya yang ingin mengenal saya, saya yakin dia orang baik-baik karena dibawa oleh orang yang juga baik-baik, insyaallah. Itu husnudzon saya yang pertama kali pada dia yang kini menjadi suami saya. Perkenalan kami cukup lama sejak bulan April tahun 2016, dan baru bisa nadzor (bertemu dan bertamu) pada bulan Desember 2016 karena jarak (kami berbeda kota) dan pekerjaannya yang belum ada waktu senggang untuk libur, diantara April hingga Desember itu saya benar-benar bergulat dengan banyak perasaan, utamanya perihal harapan-harapan yang belum semestinya ada, karena saya tidak ingin munafik bahwa saya hanya perempuan biasa, meski sejak awal saya selalu meyakinkan diri untuk tidak berharap pada selain Allah, kadang iman saya yang mudah goyah ini sering membuat sendu suasana, maka bukan hal yang mudah buat saya meyakinkan diri selama April hingga Desember itu.
Singkat cerita setelah meyakinkan diri dan meminta kejelasan maksud dari perkenalan yang dilakukan selama beberapa bulan itu, akhirnya Allah meridhoi kami nadzor, dia datang kerumah bersama teman saya, bertemu saya untuk pertama kali dan juga orangtua saya.
Beberapa hari setelah nadzor dia menanyakan kelanjutan proses perkenalan kami, dia cocok, saya meminta izin kepada orangtua saya untuk melanjutkan proses perkenalan, dan kami terus melanjutkan hingga bulan Februari dia kembali datang ke rumah, seorang diri, demi menyampaikan maksud melamar saya kepada bapak. Jika di izinkan, dia akan kembali bersama keluarganya. Dan yaa seperti yang kalian tahu, Alhamdulillah bapak saya mengizinkan, namun karena kesibukan kerja yang begitu padat, acara khitbah/lamaran resmi baru bisa di adakan pada bulan Mei 2017. Bulan demi bulan berlalu, tibalah pada acara lamaran, hari itu tanggal 20 Mei 2017, sejak hari dimulai, jantung saya berdegup tidak karuan, ada nervous yang susah sekali saya kendalikan, hari itu saya memutuskan untuk tetap masuk kerja, teman-teman kerja belum ada yang tahu perihal rencana saya akan di lamar hari itu, sebab hawatir karena semua belum pasti, maka sejak awal kami berkenalan, saya merahasiakannya dari banyak teman, jadilah segala ketegangan saya sembunyikan rapat-rapat.
Setelah menunggu begitu lama kedatangan dia dan keluarganya dari Bandung menuju Indramayu yang cukup memakan waktu, akhirnya detik itu tiba, seorang ibu paruh baya melingkarkan cincin di jari manis kiri saya, saya tertunduk malu-malu di hadapan sanak saudara, hari itu saya di ikat dengan komitmen hingga akad.
Setelah cincin terpasang, penetuan tanggal walimah di rembukkan, setelah melalui banyak pertimbangan, diputuskanlah tanggal 27 Agustus 2017 sebagai hari dimana ikrar suci itu di ucapkan. Walimah.
Sampailah pada hari itu, Ahad, 27 Agustus 2017, satu detik setelah ijab qabul selesai diucap, banyak hal dalam hidup kami yang tidak sama seperti hari kemarin lagi.
Tidak ada lagi rindu yang harus dipendam, tidak ada lagi sendu yang akan tiba-tiba datang, tidak ada lagi detik jam yang akan terasa menyesakkan, sebab semua penantian telah berakhir.
Dan satu detik setelah janji suci itu terucap, ada yang baru saja kami mulai, ada surga yang berpindah tempat, ada sentuh kali pertama, ada debar yang tak terdefinisi, ada linang haru para tetamu, ada cinta yang baru saja jatuh.
Terhitung hanya empat kali kami bertemu, dan ke empat-empatnya tidak pernah ada yang lebih dari 3 jam, pun tidak ada yang tanpa didampingi orangtua saya, maka rasanya wajar jika satu malam sebelum walimah di gelar, saya diserang gugup yang terlalu, banyak sekali hal yang memenuhi isi kepala, sebab esok harinya adalah pertemuan kami yang ke lima, sekaligus pertemuan kami untuk saling menetap lama.
Dan setelah hubungan kami resmi di akui oleh negara dan agama, ada banyak tugas baru yang saya emban, ialah: segala yang ada pada diri saya harus selalu menyenangkan pandangannya, menentramkam hatinya, dan harus selalu mampu membuat dia menjatuhi cintanya.
Selain perihal kewajiban-kewajiban saya, jauhnya jarak saya dengan orangtua kelak setelah menikah, karena saya harus mendampingi suami kemanapun dia, ternyata amat mengganggu pikiran saya, menjadi manusia yang selama 22 tahun selalu di atas tanah Indramayu, belum pernah merantau, merasa tentram hidup berdekatan dengan orang tua dan keluarga, hafal mati jalanan yang harus dilewati hingga ke gang-gang sempit, kemudian tiba-tiba saja ada pemuda asing yang mengajak pergi, mengajak hidup bersama di kota yang belum pernah di kunjungi sebelumnya, jauh dari orang tua dan sanak saudara, meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan selama 22 tahun untuk hidup bersama "orang asing" di tempat yang asing seumur hidup, meninggalkan hal-hal menyenangkan di kampung halaman untuk ikut kemanapun suami pergi, mengabdi padanya hingga nafas tidak lagi berhembus, melayaninya hingga degup jantung tak lagi terasa, di sampingnya seumur hidup. Apa kalian bisa bayangkan apa yang saya rasakan di malam sebelun walimah di gelar? Demikianlah.
Tapi, teman, saya menulis ini bukan sebab saya tidak bahagia, ah, andai saya tahu kalimat paling indah untuk mendefinisi perasaan saya, akan saya tulis sejak awal saya menulis postingan ini. Saya menuang perasaan saya di sini hanya demi memelihara kenangan sebelum kami saling menggenapkan, mengilas balik segala rasa yang tidak banyak saya jelaskan pada orang lain.
Saya bahagia, seperti yang saya bilang di awal, setelah kami halal untuk saling mencintai, rasanya seperti ada kupu-kupu yang berterbangan di dalam perut setiap detik, setiap hari. Tapi saya paham betul, dalam pernikahan tidak hanya hal-hal indah yang akan kami temui. Setelah satu bulan bersama, saya mulai akrab dengan suara dengkur tidurnya, dengan wajah kusut kita yang saling bertemu setiap bangun dari lelap, dengan banyak hal-hal baru yang absurd sekaligus menyenangkan yang saya temui setelah menikah (nanti saya bahas di postingan selanjutnya saja ya. Barangkali kepanjangan hehe)
Kini sebulan sudah saya menggenapkan iman, jika boleh memilih, saya ingin hidup bersama orangtua di tanah kelahiran selamanya, tidak meninggalkan teman-teman, dan tidak perlu repot-repot menyesuaikan diri di tempat baru, tapi saya juga sadar bahwa umur akan semakin habis, saya tidak selamanya menjadi anak kecil, ada Dien yang harus di genapkan, ada ridho Allah yang harus saya raih tidak dengan seorang diri. Maka saya menikah, menyempurnakan separuh agama yang barangkali separuhnya lagi masih sangat compang-camping, mengorbankan banyak hal dan perasaan demi nencari ridho Allah, menemukan ketentraman yang tidak bisa saya dapat dengan cara selain menikah.
Begitulah teman-teman, semoga dapat dimaklum kenapa saya "bolos" nulis bulan kemarin, kini saya harap kalian berkenan mendoakan saya dan suami agar mampu membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, dan penuh rahmah dari Allah, doakan kami terus istiqomah di jalan yang Allah mau, dan menjadi pasangan yang Allah suka. Sebab Dia adalah alasan atas segala keputusan yang kami ambil. Saya harap teman-teman berkenan mendoakan.
Begitulah, sekali lagi mohon dimaklum. Salam baper.
Karawang, 28 September 2017. Hari ke 32 pernikahan.