Dalam dingin malam ini, ada sebuah hati yang benar-benar tertunduk larut tenggelam dalam hening, hati yang kelelahan setelah melewati perdebatan, perdebatan demi menemukan sebuah kesepakatan, sebuah keputusan tentang akan kemana dua buah hati akan diarahkan. Perdebatan yang selalu terjadi tepat dipersimpangan jalan.
Perdebatan itu sungguh bukan yang pertama kalinya dilakukan. Adu argumen, saling menyiapkan kalimat-kalimat pamungkas bagai amunisi yang jika ditembakan berharap tepat mengenai sasaran, debat kusir yang berlangsung alot karena kedua kubu mempertahankan pemikirannya masing-masing. Berdua saja, dua orang yang sama, memperdebatkan hal yang sama , tapi masih saja rumit untuk bisa diselesaikannya.
"Bisa kan kita selesaikan semua bukan hanya dengan diam?". dia mengawali pembicaraan.
Yang diajaknya bicara hanya diam mengacuhkan.
"Hey.. ", dia menegur. Yang ditegur tetap bergeming.
"Keras kepala! kenapa kamu terus diamkan aku?", nada bicaranya mulai meninggi karena sudah merasa terlalu lama didiamkan.
"Aku hanya ikuti yang biasa kamu lakukan, mendiamkanku ketika ada yang ingin ku diskusikan", yang sedari tadi diam mulai bersuara.
"Ayo kita selesaikan, aku tak lagi diam, aku ingin kita bicara", katanya. Tapi, yang diajaknya bicara kembali diam.
"aku tahu akar masalahnya, kamupun juga. tapi, kenapa aku masih juga kamu diamkan?", dia berbicara mencoba tenang.
"Karena kita sudah sama-sama tahu". yang diberi pertanyaan hanya menjawab datar.
"Akan sampai kapan kita begini?", dia terlihat kesal.
"Menjadi sekedar teman bicara saja kita selalu susah payah melakukannya, apalagi menjadi teman hidup", Aku si tokoh yang dari awal malas berdialog itu meluncurkan kalimat tembakan pertama.
"Kamu yang belum menyanggupinya! Aku tidak!". dia mulai kesal. Aku hanya diam saja, dan terus diam.
"Akan sampai kapan kamu memperlakukanku seperti ini? akan sampai kapan kita terus ada dalam keadaan ini? kenapa kamu masih saja begini?", dia mencoba setenang mungkin menuturkan kalimatnya.
"Karena tidak ada lagi yang aku tahu apa yang harus aku ucap", aku menatap lurus kedepan, tak peduli pada dia yang ada disampingku.
"Lalu, akan begini sajakah? bagaimana ini akan selesai jika kamu enggan ku ajak untuk membereskannya?. nadanya keheranan.
"Memang semua soal kita tidak pernah beres, bukan?", aku kembali menembakkan kalimat yang kuharap tepat mengenai hatinya.
Aku teringat semua hal tentang aku dan dia yang memang tidak pernah selesai walau coba untuk diselesaikan seteliti mungkin, walau setenang apapun kami menyelesaikannya tapi tetap saja tidak selesai, menggantung tak terputuskan.
"Kenapa sulit sekali untukmu menghargai sedikit saja usahaku? sekecil apa aku dimatamu hingga kamu tak bisa melihat aku?", dia mulai mengarah pada pokok permasalahan.
"Seperti yang kamu katakan, bahwa caraku memperlakukanmu terlalu basi. Dan memang semua yang sudah basi tidak baik untuk dinikmati", aku mencoba mengingatkannya. Mengingatkan apa yang dia pikirkan sebelum semua ini menjadi se-berantakan ini.
Basi, Kadaluarsa, Tak Layak lagi. Begitulah dia menilai caraku mendiamkannya, memperlakukannya, dan menilainya. Karena kami adalah dua orang yang pernah menjalin kasih, dua orang yang sempat bersama lalu kemudian terpisah karena salah satu dari kami mencintai orang lain. dia pergi dan aku ditinggalinya sendiri. Hingga kemudian kami menjadi Basi. Tapi, kini dia kembali, berusaha untuk memperbaiki apa yang sudah dihancurkannya sendiri, dia kembali dengan berniat mengobati sakit yang sudah dia buat padaku. Dan menurutku itu Basi.
"Kamu memang tak pernah bisa menghargai perasaanku", katanya ketus.
"Kamupun tak pernah bisa menghargai rasa sakitku", jawabku.
"Kamu tak bisa menghargai usahaku", dia mengembalikan.
"Kamupun tak bisa menghargai pemahamanku", kataku tegas.
"Pemahaman yang mana lagi yang harus aku pahami? belum cukupkah yang selama ini aku lakukan? Sekecil apa aku dimatamu hingga tak bisa kamu pandang? Tak jugakah kamu lihat bagaimana perjuanganku yang harus berdarah-darah demi mendapatkan lagi rasa percayamu?", dia terus menuturkan yang ada dihatinya, mengeluarkan satu persatu yang ada dipikirannya, menceritakan jejak-jejak perjuangannya, dia seperti awan gelap mendung yang tak lagi mampu menahan beratnya air hujan hingga akhirnya air itu menjebol pertahanannya dan deras menyentuh tanah, dia membawaku melihat rasa sakitnya.
"Semua yang terpaksa memang tidak pernah menghasilkan sesuatu yang bagus", aku yang kaget mendengar apa yang baru saja dijelaskannya hanya mampu katakan itu.
"Masih juga kamu anggap semua yang aku lakukan sejauh ini adalah terpaksa? Terserah! Kamu memang tidak pernah salah, lagipula apalah untungnya untukmu perjuanganku ini". dia tidak bisa menutupi raut marahnya.
"Maaf, kita tidak satu pemikiran", hanya itu yang bisa kujawab.
"Memang dari dulu, toh? Jadi, sekarang kamu ingin menyerah untuk mencoba percaya padaku lagi?"
"Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?", aku men-skak mat.
dia menunduk, mencoba meredam kekesalannya, menyembunyikan kesakitannya atas kalimat yang ku katakan.
"Aku memang tidak pantas mendapatkan wanita sesempurna kamu", katanya lirih.
"Aku hanya tidak ingin kamu menghabiskan waktu disini, untuk wanita yang sudah terlanjur beku karenamu, aku tak ingin menghambat jalan bahagiamu ", aku mencoba sedikit menenangkan walau sebenarnya pasti tetap menyakitkan.
"Perjuanganku memang tak ada apa-apanya, masih banyak yang bisa melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang kulakukan, begitukan maksudmu?", tersirat kelelahan pada sorot matanya.
"Semua yang dipaksakan tidak akan berkahir dengan baik, jika tetap kamu lanjutkan perjuanganmu aku khawatir semua tidak akan lebih baik dari saat ini. Sungguh, benar apa yang kamu katakan bahwa kita memang terlanjur basi. Didaur ulang dengan cara sehebat apapun, makanan basi tetaplah makanan basi, sesuatu yang tetap tidak bisa lagi dinikmati. Kita memang sudah tidak lagi punya arti. Kamu harus berhenti". Aku berkata tanpa menoleh padanya sama sekali.
"Kamu benar-benar hebat, kamu mencoba menjatuhkanku", ada senyum kecut dibibirnya.
"Aku sudah berjuang sejauh ini, aku sudah pertaruhkan semuanya, jalan kita hampir selesai kita lewati, tapi apa yang kamu lakukan?", dia mencoba meyakinkanku.
"hampir itu untuk kamu, bukan untukku, bukan untuk hatiku", aku mengucapkannya dengan memberi penekanan pada kata "hampir", karena menurutku, bagaimanapun ini tetap rumit.
"Jadi, apa yang aku lakukan sejauh ini sia-sia? tak berguna?", terdengar kecewa sekali nada bicaranya.
"Aku tidak pernah ragu pada fisikmu, entah itu perjuanganmu, keberanianmu, kesungguhanmu. Tidak.. aku sama sekali tidak ragu. Tapi, hatimu? aku terlalu takut untuk bernaung didalamnya, aku takut berlindung pada hati yang pernah menghancurkanku", kini aku yang menunduk.
Ada hening yang panjang antara kami, aku terdiam, dia tak ucap satu patah katapun. Aku dan dia membatin pada perasaan kami masing-masing, kami berada pada sebuah persimpangan, aku sudah jelas memilih arahku sendiri, aku sudah memintanya untuk menuju persimpangan lain, tapi dia tetap menahanku berdiri dipersimpangan ini.
"Aku sudah sejauh ini memperjuangkanmu", dia memecah keheningan.
"Aku tidak ingin berhenti, kamu boleh menghentikan langkahku, tapi tidak untuk saat ini, tidak untuk saat aku masih ingin memperjuangkanmu". dia terdiam sesaat.
"Kamu boleh menolakku. Tapi, nanti.. didepan keluargaku", aku tercekat mendengar kalimatnya, sungguh itu kalimat amunisi paling ampuh tepat mengenai sasaran perasaanku. Aku mati kutu.
"Apa sesungguhnya yang kamu pertahankan? bukankah tidak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari wanita sepertiku?", aku menatap lekat matanya.
"Banyak. Sungguh banyak yang kuharapkan darimu. Karena setelah ibuku, hanya kamu yang memahami bagaimana aku. Karena pada kamu aku menemukan potongan-potongan untuk menyempurnakan hidupku, dan hanya kamu yang mampu menjadikanku utuh. Jika aku main-main maka aku tidak akan bertahan sekuat ini". dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan begitu yakin.
"Tapi kamu tak harus begitu, ", aku kembali menunduk.
"Harus, Aku harus tetap begini. Demi sakitmu yang harus kuobati, demi kepercayaanmu yang harus kubangun lagi, dan demi Agamaku yang harus kusempurnakan ini". jawabnya tegas. aku tak menyangka.
"Kenapa kamu masih terus bertahan walau sudah coba aku jatuhkan?", aku menatapnya penuh yakin bahwa aku sudah benar-benar mencoba menjatuhkannya, sudah berusaha menghentikan perjuangannya.
"Karena wanita sepertimu pantas untuk aku perjuangkan", jawabnya tegas. aku terdiam menunduk luluh, entah keras kepala atau egois kah orang yang berdebat denganku ini, tapi aku memang tak seharusnya ragu pada kekuatan bertahannya.
"Jadi, sudah sejauh ini tolong jangan halangi jalanku untuk tetap maju. Dan aku harap apa yang aku perjuangkan tidaklah sia-sia". Ucapnya mengakhiri perdebatan kita. Lisanku kelu untuk menimpali apa yang diucapkannya.
Akhirnya aku sadar, bahwa aku tak punya hak untuk menghentikan perjuangannya, bahwa dia tidak menuntut apapun dariku selain aku harus menunggu, dan akupun tahu bahwa aku dan dia bukan manusia yang mampu melihat masa depan, maka tugasku hanyalah harus merapihkan segala yang masih berantakan dihatiku tanpa harus mengganggu perjuangannya dan sisanya harus ku kembalikan pada Yang di Atas Sana, yang sedari tadi memperhatikan bagaimana kami berdialog. Yang Maha Memutuskan lagi Maha Berkehendak. Semoga Allah berkenan memberi petunjuk padaku hingga akhirnya aku memberi jawaban terbaik atas perjuangannya.
"Dan, pahamilah.. jika semua yang kamu lakukan demi Ridho Allah sungguh tidak akan ada yang sia-sia, sekalipun takdirmu bukan aku..", lirihku dalam hati, menunduk dalam hening malam ini.
"Apa saja yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla maka akan sia-sia" (Rabi'i bin Khutsaim Ats Tsauri rahimahullah)
Terimakasih untuk Kuatmu yang walau sudah berusaha aku hancurkan tapi kamu memilih untuk tetap bertahan. Semoga Allah Ridho.
Created by: @ninitatabon
2 comments:
waaaaa, ceritanya keren :")
13 baris ke bawah ngena banget :)
Makasih udah baca ^^v
Lilis juga keren, rajin ngepost, lucu-lucu lagi postingannya. anak SMA banget, yang fiksinya juga bagus ^^
Post a Comment