Friday, 19 June 2015

Terimakasih, Nurul..

Sementara banyak orang mengeluh tentang getirnya hidup, saya lebih memilih untuk mendefinisi manisnya kebahagiaan. Definisi bahagia didunia ini adalah relatif, bahagia menurut yang satu belum tentu sama dengan yang lain, tapi masing-masing kita berhak miliki dan menyampaikan pendapat tentang kebahagiaan yang kita pahami, dan disini saya ingin bercerita pada kalian tentang kebahagiaan yang saya miliki.

Dari sekian banyak definisi bahagia yang saya tahu, hanya ada beberapa yang saya paham betul bagaimana rasanya, sebab saya benar-benar mengalaminya, seperti saat ini, mereka bilang bahagia adalah ketika kita berinteraksi, bersahabat, atau bersama dan di bersamai dengan seseorang yang selalu mendekatkan kita pada kebaikan, dan ditambah lagi jika bersamanya kita tidak takut untuk menjadi diri kita sendiri. Dari hal itu sungguh saya merasa bahwa saya adalah orang paling bahagia, karena saya menemukan dua kebahagiaan itu sekaligus dalam diri satu orang saja. Nurul Hidayah. Kalian mengenalnya? Jika tidak, izinkan saya memperkenalkan dia melalui tulisan ini.

Berbilang 2 tahun sudah Allah mendekatkan saya dengannya, gadis berparas jawa, bertatap sendu, berpendirian teguh. Kalian pernah punya teman yang jika bepergian tidak peduli warna pakaiannya serasi atau tidak tapi tetap percaya diri memakainya? saya punya, dan saya harap akan masih terus punya. Dia adalah gadis yang membantu saya keluar dari suasana menjengahkan, ketika pikiran begitu ramai dalam hening, yakin dalam bimbang, dia juga yang telah membantu saya untuk berani berhijrah dari pemikiran-pemikiran jahiliyah, walau saya yakin dia tidak menyadari bahwa dia telah melakukannya. Gadis yang kini menjadi tokoh utama dalam tulisan ini.

Kawan, benar adanya pendapat yang mengatakan bahwa waktu selalu miliki banyak kejutan bagi setiap hati yang di rundung pilu. Seperti saya saat itu, saat diri dirundung ragu, saat diri ada dipersimpangan antara mundur atau maju, saat diri merasa amat ingin berubah namun entah harus memulai dari mana. Waktu memberi saya kejutan dengan mendatangkannya, seorang gadis yang saya tidak pernah menyangka akan di bersamai dengannya, tanpa memandang status sosial, latar belakang keluarga, tanpa mempermasalahkan suku, dia datang, mendekat, menetap. Saya lupa bagaimana detail kami mengawali semuanya, namun yang jelas akan selalu saya ingat sampai kapanpun adalah bagi saya dia datang di waktu yang tepat. Rencana Allah memang tidak ada yang bisa memprediksi, saya dan dia saling tahu sejak jaman masih berseragam putih merah hingga masa SMP, pun kami saling tahu ketika menjadi siswa di satu Madrasah Diniyah Awaliyah yang sama, namun waktu berhenti untuk kami pada masa putih abu-abu, kami tidak saling tahu sama sekali, hilang kontak, tak saling kenal. Di sela awal kedekatan kami dia pernah mengingatkan saya, bahwa dulu, di masa masih menjadi siswa MDA katanya dia amat jahil sering meledeki uniknya nama saya, saya hampir tidak ingat sama sekali, tapi dia terlihat riang ketika menceritakan bagaimana dulu saya marah-marah menanggapi ledekannya, saya benar-benar lupa, mungkin karena dulu kita memang sama-sama tahu tapi benar-benar jauh. Hingga baru di 2 tahun terakhir ini Allah mendekatkan saya dengan dia.

Ah, rasanya tidak penting cerita tentang bagaimana awal kedekatan saya dan dia, yang harus kalian tahu, saya yakin bahwa dari awal kedekatan kami, dia akan menjadi kawan yang menyenangkan. Saya percaya itu sejak dia menitikan air matanya di teras rumah saya, meluapkan segala sesak yang dia rasa padahal kebersamaan kami masih bisa dihitung dengan jari, karena bagi saya air mata tidak tumpah di sembarang tempat, cerita tidak di bisikan pada sembarang telinga. Dan sejak saat itu pula saya yakin dia adalah partner yang baik untuk bergurau tentang hidup dan kawan yang berani menegur tentang yang salah.

Dia membantu saya berhijrah, menemani saya mengawali mensyar’i kan pakaian yang saya kenakan, mungkin bagi sebagian orang hal itu tidak terlalu penting, namun bagi saya yang amat peragu dan terlalu banyak berpikir ketika memutuskan apapun ini hadirnya seseorang saat saya bimbang untuk meyakini sebuah keputusan adalah hal yang sangat membantu, saat bergurau dengan saya dia sering  menyebut dirinya sendiri sebagai bidadari, gurauan yang hanya membuahkan cibiran dari saya, namun sungguh didalam hati saya meng-iyakan ucapannya, sekalipun saya tahu itu hanya gurauan saja, karena saya rasa sebutan itu pantas untuk seseorang yang membantu orang lain keluar dari keadaan jahiliyah dan membawa pada pemahaman-pemahaman yang baik, dia membantu saya yakin untuk mengulurkan jilbab sesuai syariat, membantu saya menghapus segala ragu yang sekian lama mengungkung. Percaya atau tidak, saya berniat hijrah sudah sejak lama, sejak dia belum datang, namun terlalu banyak pertimbangan yang saya pikir hingga tak berani merealisasikannya, entah apa namanya, di tengah keraguan saya Allah menghadirkan dia dengan segala keteguhannya. Dia yang pertama kali menghadiahi saya sehelai kerudung yang jauh berbeda dengan kebanyakan kerudung yang saya punya, dia mulai mengenalkan saya dengan banyak hal yang mampu meneguhkan keyakinan baru saya.

Gadis bergolongan darah B itu amat gemar bercerita, seperti kebanyakan orang bergolongan darah B lainnya dia pun hobby berhayal, hey.. dari mana pula saya tahu soal kebiasaan orang berdarah B? adalah dia yang senang sekali berceloteh tentang dirinya, tentang sifat orang yang dilihat dari golongan darah, tentang macam-macam kepribadian, tentang kebiasaan-kebiasaan yang di amati dari apa yang orang suka, tentang apa saja, karena menurutnya calon psikolog yang baik harus memahami orang dari berbagai sudut. Dari golongan darah misalnya, darinya saya tahu bahwa orang dengan golongan darah B sering menyanyikan lagu dengan asal, tidak peduli pada nada, asal bunyi, asal asik. Begitulah.. saya selalu suka memperhatikan dia bicara, selalu seru rasanya mendengar dia bercerita, dia bisa meceritakan hal yang serius dengan raut yang gila, bersamanya saya tidak pernah habis membahas banyak hal, selalu seru membahas banyak cerita, menertawakan banyak kekonyolan.

Untuk saya yang sangat monoton memandang hidup ini, hadirnya sangat membantu  untuk memaknai hidup dengan lebih berwarna, dari caranya memakai baju misalnya, dia selalu menjadi sasaran cubit saya karena padupadan warna pakaiannya yang sering aneh dipandang mata, dia bisa memakai baju batik berwarna dasar putih dengan kerudung motif kotak-kotak biru serupa taplak meja dan bawahan rok bermotif batik berwarna dasar coklat, serta dengan kaos kaki warna mela menyala tanpa malu, padahal bagi saya itu adalah hal yang aneh untuk dilihat, tapi menurutnya orang-orang berkepribadian sanguinis memang begitu, menggunakan sesuatu berdasarkan fungsi, bukan fashion. Kalau saja kalian lihat bagaimana konyolnya dia dalam berpakaian, kalian akan geli sendiri melihatnya. Namun bagi saya itu selalu seru, melihat muka tidak merasa bersalahnya ketika tak mampu memadukan warna pakaian, mendengar dia mengomel sendiri sebab saya cubiti terus menerus, dan memperhatikan dia yang tidak pernah insyaf dengan kekonyolannya, itu selalu seru, karena darinya saya paham bahwa warna hidup tidak hanya itu-itu saja.

Dan untuk saya yang amat betah berhari-hari tidak keluar rumah ini, hadirnya sungguh membuat hidup saya menjadi lebih ramai, dia adalah perempuan yang amat hobby jalan-jalan, berpetualang, mencintai alam, dan segala hal yang berhubungan dengan kegiatan out door, sungguh amat terbalik dengan saya yang hanya berani melihat dunia hanya lewat jendela dan dari depan layar yang terhubung pada internet. Kalian tahu, kawan.. yang membuat saya bahagia didekatnya adalah justru tentang hal-hal yang kontras antara kami, ternyata benar adanya bahwa perbedaan ada untuk saling melengkapi, saya tidak pernah berani melihat dunia secara utuh, hanya berani tahu sekedar dari “katanya” dan dari situs apa. Dan dari binar matanya ketika bercerita, saya bisa melihat bahwa apapun yang pernah dia alami adalah seseru yang dia ceritakan, sebab dia adalah gadis dengan daya hayal yang tinggi, saya pernah di ajaknya berhayal tengtang bagaimana serunya jika semua orang didunia ini mengenakan pakaian serupa kardus lemari es, agar tak ada lagi orang yang hanya menilai orang lain dari tampilan fisik, dan pikirnya pun dipenuhi oleh banyak mimpi, mimpi yang paling sering dia dengungkan adalah tentang betapa ingin dia berkeliling dunia dan menjadi seorang psikolog yang mampu menenangkan banyak jiwa.

Namun saya tahu, dibalik kekuatan dan ketangguhannya, dia seperti perempuan kebanyakan, kami memang punya keteguhan tersendiri, namun dalam beberapa hal kami tidak bisa mengatasinya sendiri walau dengan kekuatan sesuper apapun. Sehebat apapun teguran yang sering dia berikan, dia tetap butuh dibimbing, sekuat apapun tenaganya jika mencolek (re: nabok) saya, telapak tanganya tetap butuh digenggam. Dalam banyak hal justru dia lebih butuh sandaran dibanding siapapun, karena sungguh saya bisa melihat tangis dibalik tawanya, keluh dibalik senyumnya, rapuh dibalik kekonyolannya, saya tahu, walau dia tidak menyadari itu. Namun saya yakin kelak dia akan dibimbing dan digenggam oleh laki-laki yang tepat, laki-laki yang sebanding dengan usaha memperbaiki dirinya hingga detik ini, laki-laki yang mampu mendengar celotehnya dengan baik, laki-laki yang kokoh menopang ketika kakinya lelah berpetualang. Dan kalian tahu? Saya menulis ini dengan begitu detail dan hati-hati, karena saya yakin banyak mata yang akan membaca apa yang saya tulis ini dengan begitu jeli, sebab gadis yang sering melakukan hal-hal konyol itu sungguh banyak yang menunggu, sudah banyak yang siap yang menggenggam tangannya menuju petualangan hidup yang lebih menjanjikan kebahagiaannya, sudah banyak hati yang siap menjadi tempat bernaungnya ketika dia telah lelah dengan segala mimpi dan hayalnya. Namun tidak banyak yang tahu bahwa hatinya setia pada satu nama, saya sungguh berharap semoga waktu membalas manis kesetiaannya.

Dan kini, setelah kehadirannya sejauh ini, ternyata Allah ingin kembali membawa dia jauh dari saya, mungkin Allah ingin meminta saya untuk meneruskan perjuangan tanpa bantuan, mungkin cukup sampai sini dia membantu saya berhijrah, sisanya hanya harus saling mengingatkan dari jauh, sebab dia telah siap menjemput mimpi-mimpi dan rencananya. Satu bulan lagi, saya harus akui, sungguh sejak dia berniat melanjutkan rencana-rencana hidupnya demi mimpi-mimpi hebatnya, saya selalu menghitung mundur hingga saat itu tiba, saat dimana kamar saya tak lagi bising oleh celotehnya saat dia memutuskan mampir sepulang bekerja atau malam ketika dia memutuskan untuk berkunjung kerumah saya setelah dia bosan berbincang dengan tembok kamarnya sendiri,  saat tak ada lagi jalan-jalan sore menyusuri jalanan yang rutenya itu-itu saja, saat tak ada lagi teman duduk ketika kajian rutin awal bulan di masjid pusat daerah kami tinggal, saat tidak ada lagi kawan bergurau di jalan ketika menuju rumah murrobi untuk halaqoh di setiap Selasa tiba, saat tak ada lagi pakaian tidak matching yang harus saya komentari, saat tidak ada lagi martabak telor tanpa kornet yang akan kami pesan, saat banyak hal seru yang biasa kami lewati akan terganti entah oleh apa, saya rasa semua akan lebih sepi dari biasanya ketika dia sudah tak disini, namun saya tidak berhak menghentikan segala rencana dan mimpinya, dia harus menggenggam segala bahagia yang sudah menunggunya, tidak ada yang berhak menghentikannya termasuk segala kenangan yang sudah tertulis antara kami selama 2 tahun ini.

Kalian tahu, kawan? Saya harus menyeka air mata dengan ujung baju saat menulis ini, tulisan ini dibuat bukan tanpa tujuan, seperti judulnya,lewat apa yang saya tulis saya ingin menyampaikan terimakasih padanya, terimakasih atas pertemanan yang terjalin selama 2 tahun ini.

Terimakasih, Nurul..

Atas kebersediaannya untuk direpotkan hingga detik terakhir kita berinteraksi, terimakasih sudah membawa saya keluar melihat banyak hal yang sungguh jauh lebih indah dibanding sekedar dilihat dari balik jendela, terimakasih atas hal-hal bodoh dan gila yang kamu celotehkan, terimakasih atas telinga yang sudah setia mendengar keluh tentang gangguan jerawat yang merundung saya walau saya tahu telinga itu kini mulai bosan mendengarkannya, terimakasih atas pura-pura ketidak jengahanmu menjadi teman saya, terimakasih sudah menjadi adik kelas paling kurang ajar yang pernah saya kenal, terimakasih untuk kerudung yang kamu beri ketika awal saya berhijrah yang kini menjadi kerudung favorit saya, terimakasih untuk jalan-jalan yang selalu menyenangkan walau rute yang kita lalui itu-itu saja, terimakasih atas segala tegur ketika saya lupa, terimakasih atas segala hibur ketika saya duka, dan sungguh saya harus menutur terimakasih yang begitu banyak dan begitu dalam, lebih dalam dari banyak kenangan yang telah kita lakukan di 2 tahun terakhir ini, ucapan terimakasih terdalam saya karena kamu sudah datang di waktu yang tepat.

Dan bagi saya cinta adalah tentang kebiasaan, siapa yang bisa membiasakan dirinya dengan saya, saya akan mencintainya seluar biasa yang saya bisa. Semoga selama ini saya sudah mencintaimu dengan baik. Maafkan saya yang selalu tidak banyak berkomentar ketika kamu membahas tentang rencana kepergianmu menjemput segala mimpi-mimpi itu, sebab jika perempuan merepotkan ini diperbolehkan untuk bicara, saya akan menutur banyak hal tentang ketidak inginan saya dan pencegahan agar kamu tidak pergi, meminta kamu tetap disini, namun apalah hak saya menahan sedang disinipun saya tidak membantu banyak mewujudkan segala bahagia yang kamu damba, hanya mampu sedikit berperan dalam kisah yang semoga akan manis ketika kelak kamu mengenangnya. Terimakasih, Nurul. Dan sungguh maafkan saya karena terlalu sering merepotkan.

Kini selamat memasuki usia kepala dua, jangan pernah takut menjadi diri kamu sendiri, sebab kamu tidak pernah tahu bahwa di luar sana banyak yang ingin menjadi sepertimu. Dan semoga kelak saat kamu sudah tidak disini, saya harap, saya di bersamai dengan orang-orang baru yang semenyenangkan kamu. Semoga Allah meridhoi pertemanan ini.

Terimakasih, Nurul..

Friday, 12 June 2015

Jangan Menilai Terlalu Tinggi

Setiap orang berhak berubah, menjadi lebih baik itu harus. Aku.. satu dari sekian banyak jiwa yang memutuskan untuk berhijrah, berubah, berpindah, dari diri yang awam menjadi pelan-pelan terus menggali paham, dari hati yang lemah menuju hati yang pandai memahami hikmah, dari tubuh yang dibalut pakaian asal melekat berpindah pada tubuh yang ditutup pakaian sesuai syariat.

Ku tanggalkan cara berpikir ku yang lama, ku kesampingkan sedikit demi sedikit nafsu pada dunia, ku singkirkan jeans dan segala sandang yang tak sesuai aturan-Nya. Aku hijrah.

Tapi aku sadar tidak semua keputusan yang aku ambil bisa orang lain terima, tidak semua perubahan mulus tanpa di coba, sebutlah itu ujian, karena diri belum dikatakan beriman sebelum di uji, kan? Maka aku siap dengan segala resikonya. Kalimat nyinyir, pandang sinis, segala tuduh. Aku siap.

Kini berbilang 2 tahun sudah proses hijrahku, 2 tahun ku ulur jilbabku, ku longgarkan pakaianku, ku sederhanakan penampilanku, ku perbaiki cara berpikirku, ku jaga semangat perbaikan diriku, ku pertahankan semua keyakinanku.

Sungguh aku siap dengan segala resiko, amat siap dengan segala hal tidak menyenangkan yang aku terima. Aku siap dengan segala konsekuensi perubahanku. Termasuk menerima kalimat-kalimat tidak menyenangkan dari orang-orang terdekat, tuduhan dari orang-orang terkasih, aku tidak goyah meski mereka bilang aku terlalu idealis, fanatik, bahkan sok suci. Sungguh semua itu tidak membuatku lemah, tak goyah meski terus dirundung gundah, tak mundur walau selangkah, justru sebaliknya, aku menikmatinya demi bertambah keyakinanku terhadap-Nya.

Namun setelah berjalan sejauh ini, ada yang tidak siap untuk ku terima, aku luput mempersiapkannya, tak pernah menyangka akan menghadapinya. Ialah tentang "cap baik" yang orang beri, aku tidak pernah bersiap untuk di nilai terlalu tinggi, aku belum melatih diri untuk dipandang suci, karena yang aku pikir perubahan dan perbaikan diri hanya erat dengan cobaan dan ujian yang menyakitkan, aku lupa bahwa dibalik pujian pun ada ujian, dan ketika dihadapkan ternyata aku tak siap menerimanya  karena aku sadar aku tidak sebaik yang mereka puji. Aku tidak sebanding dengan akhwat yang hidup dalam lingkup dakwah setiap hari, yang sibuk dengan segala kegiatan keagamaan dalam organisasi, aku bukan bagian dari mereka yang orang panggil "ukhti", Aku tahu diri. Aku hanya manusia yang ingin memperbaiki diri, bukan bagian dari mereka yang berilmu mumpuni, maka saat menerima puja dan puji aku justru risau sendiri, aku hawatir tak mampu mempertanggung jawabkan pujian yang mereka beri.

Aku hanya manusia yang ingin taat, hijrahku bukan demi terlihat kuat, lebar jilbabku bukan karena aku sudah hebat. Justru sebaliknya, aku berharap kekuatan dibalik kerudungku, menutupi kepayahan lewat perubahanku. Aku gentar mendengar segala puji yang meninggikan, aku risau menerima tuduh yang berlebihan, sebab bagi diri yang lemah ini kritik pahit adalah obat yang menguatkan, sedang pujian yang terus menerus adalah buaian yang melalaikan.

Maka diwaktu yang mustajab ini, saat yang berpuasa menunggu waktu berbuka, saat muadzin bersiap mengumandangkan panggilan-Nya, saat senja berangkat menjemput Jum'at yang di berkahi-Nya, aku menengadah, memohon perlindungan atas segala lemah kepada yang Maha Segala, berterimakasih atas segala aib diri yang telah ditutupi-Nya. Sungguh diri begitu hina jika Dia membuka semuanya, semoga Allah berkenan menjadikanku setinggi yang orang nilai, sebaik yang orang puji, dan meridhoi semua usaha ini.

Dan kau, kawan.. Mau kah kau juga ikut mendoakan agar aku terus di istiqomahkan? Sebab hati itu terbolak balik sifatnya, sebab diri ini masih jauh dari apa yang di mau-Nya. Dan, kawan.. tolong jangan lagi menilai diri ini terlalu tinggi, karena aku yakin aku tidak lebih baik dari kalian yang memuji.

Haurgeulis, di satu senja menjelang berbuka.

Created by: Nita. B. R. (@ninitatabon)

Sunday, 7 June 2015

Jalanku Masih Panjang

Wahai perasaan..
Kau buat pagiku jadi mendung, soreku jadi kelam, kau buat siangku jadi gelap, dan malam semakin gulita
Kau buat beberapa menit lalu aku gembira, untuk kemudian bersedih hati

Wahai perasaan..
Kau buat aku berlari ditempat
Semakin berusaha berlari, kaki tetap tak melangkah
Kau buat aku berteriak dalam senyap
Kau buat aku menangis tanpa suara
Kau buat aku tergugu entah mau apalagi

Wahai perasaan..
Kau buat aku seperti orang gila
Mengunjungi sesuatu setiap saat, untuk memastikan sesuatu. Padahal buat apa?
Ingin tahu ini, itu, untuk kemudian kembali sedih. Padahal sungguh buat apa?

Wahai perasaan..
Kau buat aku seperti orang bingung
Semua serba salah
Kau buat aku tidak selera makan, malas melakukan apapun
Memutar lagu itu-itu saja, mencoret buku tanpa tujuan, mudah lupa dan ceroboh

Wahai perasaan..
Cukup sudah!
Kita selesaikan sekarang juga.
Jalanku masih panjang. Aku berhak atas petualangan yang lebih seru.
Selamat tinggal!
Jalanku sungguh masih panjang.

Oleh: Tere Liye

Friday, 5 June 2015

Hujan Bulan Juni

Tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan Juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu dijalan itu

Tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan Juni
dibiarkannya yang tak terucapkan
diserap akar pohon bunga itu

Oleh: Sapardi Djoko Damono