Friday, 12 June 2015

Jangan Menilai Terlalu Tinggi

Setiap orang berhak berubah, menjadi lebih baik itu harus. Aku.. satu dari sekian banyak jiwa yang memutuskan untuk berhijrah, berubah, berpindah, dari diri yang awam menjadi pelan-pelan terus menggali paham, dari hati yang lemah menuju hati yang pandai memahami hikmah, dari tubuh yang dibalut pakaian asal melekat berpindah pada tubuh yang ditutup pakaian sesuai syariat.

Ku tanggalkan cara berpikir ku yang lama, ku kesampingkan sedikit demi sedikit nafsu pada dunia, ku singkirkan jeans dan segala sandang yang tak sesuai aturan-Nya. Aku hijrah.

Tapi aku sadar tidak semua keputusan yang aku ambil bisa orang lain terima, tidak semua perubahan mulus tanpa di coba, sebutlah itu ujian, karena diri belum dikatakan beriman sebelum di uji, kan? Maka aku siap dengan segala resikonya. Kalimat nyinyir, pandang sinis, segala tuduh. Aku siap.

Kini berbilang 2 tahun sudah proses hijrahku, 2 tahun ku ulur jilbabku, ku longgarkan pakaianku, ku sederhanakan penampilanku, ku perbaiki cara berpikirku, ku jaga semangat perbaikan diriku, ku pertahankan semua keyakinanku.

Sungguh aku siap dengan segala resiko, amat siap dengan segala hal tidak menyenangkan yang aku terima. Aku siap dengan segala konsekuensi perubahanku. Termasuk menerima kalimat-kalimat tidak menyenangkan dari orang-orang terdekat, tuduhan dari orang-orang terkasih, aku tidak goyah meski mereka bilang aku terlalu idealis, fanatik, bahkan sok suci. Sungguh semua itu tidak membuatku lemah, tak goyah meski terus dirundung gundah, tak mundur walau selangkah, justru sebaliknya, aku menikmatinya demi bertambah keyakinanku terhadap-Nya.

Namun setelah berjalan sejauh ini, ada yang tidak siap untuk ku terima, aku luput mempersiapkannya, tak pernah menyangka akan menghadapinya. Ialah tentang "cap baik" yang orang beri, aku tidak pernah bersiap untuk di nilai terlalu tinggi, aku belum melatih diri untuk dipandang suci, karena yang aku pikir perubahan dan perbaikan diri hanya erat dengan cobaan dan ujian yang menyakitkan, aku lupa bahwa dibalik pujian pun ada ujian, dan ketika dihadapkan ternyata aku tak siap menerimanya  karena aku sadar aku tidak sebaik yang mereka puji. Aku tidak sebanding dengan akhwat yang hidup dalam lingkup dakwah setiap hari, yang sibuk dengan segala kegiatan keagamaan dalam organisasi, aku bukan bagian dari mereka yang orang panggil "ukhti", Aku tahu diri. Aku hanya manusia yang ingin memperbaiki diri, bukan bagian dari mereka yang berilmu mumpuni, maka saat menerima puja dan puji aku justru risau sendiri, aku hawatir tak mampu mempertanggung jawabkan pujian yang mereka beri.

Aku hanya manusia yang ingin taat, hijrahku bukan demi terlihat kuat, lebar jilbabku bukan karena aku sudah hebat. Justru sebaliknya, aku berharap kekuatan dibalik kerudungku, menutupi kepayahan lewat perubahanku. Aku gentar mendengar segala puji yang meninggikan, aku risau menerima tuduh yang berlebihan, sebab bagi diri yang lemah ini kritik pahit adalah obat yang menguatkan, sedang pujian yang terus menerus adalah buaian yang melalaikan.

Maka diwaktu yang mustajab ini, saat yang berpuasa menunggu waktu berbuka, saat muadzin bersiap mengumandangkan panggilan-Nya, saat senja berangkat menjemput Jum'at yang di berkahi-Nya, aku menengadah, memohon perlindungan atas segala lemah kepada yang Maha Segala, berterimakasih atas segala aib diri yang telah ditutupi-Nya. Sungguh diri begitu hina jika Dia membuka semuanya, semoga Allah berkenan menjadikanku setinggi yang orang nilai, sebaik yang orang puji, dan meridhoi semua usaha ini.

Dan kau, kawan.. Mau kah kau juga ikut mendoakan agar aku terus di istiqomahkan? Sebab hati itu terbolak balik sifatnya, sebab diri ini masih jauh dari apa yang di mau-Nya. Dan, kawan.. tolong jangan lagi menilai diri ini terlalu tinggi, karena aku yakin aku tidak lebih baik dari kalian yang memuji.

Haurgeulis, di satu senja menjelang berbuka.

Created by: Nita. B. R. (@ninitatabon)

No comments: