Saturday, 30 January 2016

Gara-gara Dilan

Tahun 2015 telah berakhir, tahun yang baru telah datang, banyak orang mengawalinya dengan menyusun banyak harap, berbagai resolusi terucap diudara dan menuju kelangit untuk kemudian menjadi doa, sementara itu, awal tahun 2016 kemarin, saya mulai dengan jatuh cinta pada seseorang. Ya, diawal bulan kemarin, saya awali hari-hari saya dengan jatuh cinta, jatuh cinta pada seseorang. Manis ya? Namanya Dilan. Dilan itu idaman.

Sebelum terlalu jauh kalian suudzon, biar saya perkenalkan Dilan siapa yang sedang saya maksud. Adalah dia, tokoh yang dibuat oleh Pidi Baiq dalam bukunya yang berjudul sama dengan nama tokoh utamanya, dan nama yang sama yang sedang kita perbincangkan. "Dilan: Dia adalah Dilanku 1990", sebuah novel yang berlatar kota Bandung pada tahun 1990, tentang seorang siswa SMA yang jatuh cinta pada seorang anak baru pindahan dari ibu kota, Dilan, si panglima tempur yang sudah membuat banyak pembaca wanita merasa ingin masuk kedalam buku, jika bisa, mereka berharap menjadi tokoh pasangannya, menjadi seorang Milea Adnan Husein, si anak baru. Ya, banyak pembaca yang berharap jadi Milea, tapi sayangnya Dilan cuma buat Milea, begitupun Milea cuma buat Dilan, Dilan itu dambaan, bahkan untuk lelaki sekalipun, Eh, bukan, bukan suka sesama jenis, tapi karena Dilan, pembaca laki-laki jadi pingin kayak dia, bahkan berharap bisa lebih, tapi katanya, mereka nggak akan mampu, mereka menganggap Dilan lebih seperti sebuah tantangan, atau patokan sikap romantis seorang laki-laki. Apa itu romantis? Dilan adalah jawabannya.

Entah sebuah kesalahan atau bukan membaca buku Dilan ini diawal tahun, sebab yang seharusnya saya memulai hidup baru dan membuat rencana-rencana baru justru sebaliknya. Setiap kita punya kisah masa lalu, dan buku ini, untuk saya pribadi, bagai mesin waktu yang membuat siapa saja bisa tiba-tiba kembali ke masa-masa SMA mereka, apalagi, seperti yang kalian tahu, saya selalu kalah melawan rindu. Aslinya saya bukan pingin mereview buku Dilan, karena saya sudah beri review sedikit di Goodreads, jadi kenapa saya nulis soal Dilan di blog? Ya karena pingin aja, biar nambah postingan hehe (berusaha ikutin gaya bahasa Dilan). Tapi kalo postingan ini terlihat seperti mereview, ya nggak apa-apa, kan nggak akan di penjara juga kalau salah pendapat.

Saya nggak tahu apa tujuan Surayah bikin novel ini selain karena pingin dapet duit mungkin, tapi jujur, ada satu kata yang terpikir setelah lembar terakhir buku saya selesaikan, gara-gara Dilan dan semua ulahnya, satu kata, Flashback. Tiba-tiba saya jadi ingat cerita tentang masa-masa perasaan absurd jaman SMA saya dulu, apa ini salah satu tujuan Surayah? Entahlah, saat saya baca bagian PDKT Dilan ke Milea, baca bagian kisah-kisah mereka di sekolah, saya seperti melihat diri saya sendiri di koridor depan kelas,  bahkan saat saya sampai pada bagian patah hati, seperti baru kemarin patah hati itupun saya rasakan padahal sudah hampir 4 tahun lamanya saya lepas dari masa SMA. 

Saat mereka berantem soal Dilan yang berantem dengan Anhar, saya seperti melihat diri saya sendiri di 4 tahun yang lalu yang juga begitu mencemaskan seseorang yang ribut di sekolah pada jam istirahat, saya bisa merasakan kecemasan itu lagi, refleks, saya katakan dalam hati "Jangan, saya mohon, jangan ribut dengan mereka, saya mencemaskan kamu" dan saya juga langsung ingat tanggapannya, katanya "saya nggak apa-apa, kamu jangan khawatir, kamu jangan nangis. Ini urusan laki-laki", saya tiba-tiba ingat bagaimana dulu saya berlari menujunya setelah mendapat balasan sms demikian, dia bingung melihat saya murung, dan akhirnya, katanya "saya nurut". Dan kegaduhan itu selesai.
Ah, Dilan, entah kamu fiksi atau bukan, yang jelas saya jadi benci sama kamu, karena sudah membuat saya mengingat apa yang sudah saya kubur dalam-dalam.

Yak, gara-gara Dilan, waktu seperti berjalan mundur, saya seperti bisa melihat diri saya sendiri berbalut baju putih abu-abu saat melihat segerombolan anak SMA pulang dari sekolah, saya seperti bisa merasakan lagi hiruk pikuk kelas, jengahnya setumpuk PR, cemasnya menghadapi ulangan dan guru killer, Ah, Surayah, kau harus tanggung jawab atas segala rindu yang berantakan ini.

Dan tanpa bermaksud menyama-nyamakan, saya harus bilang, banyak kesamaan antara saya dan Milea, dan sama seperti banyak perempuan barangkali, bahagia merasa diistimewakan, selalu suka dengan kejutan,  merasa nyaman dilindungi, selalu senang dimengerti tanpa harus banyak menjelaskan, dan sama-sama suka Dilan, tapi diantara banyak kesamaan, ada sama yang lebih dominan, kita sama-sama benci geng motor.

Setelah saya umumkan bahwa saya mencintai Dilan dibuku pertama, yang rasa itu mulai tumbuh dihalaman 103, dan merasa iri pada Milea karena dicintai Dilan dengan begitu indah, namun maafkan saya, Ayah, saya harus jujur, setelah lembar terakhir buku kedua selesai saya khatamkan, ternyata saya (harus) benci Dilan, dan saya takut menjadi Milea, nyatanya saya harus sadar bahwa Milea dipaksa oleh waktu untuk memikul kenangan hingga puluhan tahun lamanya. Saya takut itu.

Benar, saat tiba dibagian patah hati, rasanya seperti baru saja patah hati itupun saya rasakan, seperti baru saja saya di kecewakan, seperti baru beberapa waktu yang lalu saya di tinggalkan. Entahlah, kenapa harus ada yang disebut salah paham di dunia ini, kenapa maksud baik tidak selalu tersampaikan dengan baik. Persis Milea, saya memilih pergi saat saya rasa apa yang saya ucap sudah tidak lagi didengar, saya memilih berhenti saat siapa yang namanya selalu saya tunggu kemunculannya di inbox handphone merasa bahwa saya terlalu mengekangnya. Ah, Dilan, Harus pada siapa saya minta pertanggung jawaban atas segala perih yang muncul kembali ini?

Namun sedetail apapun kenangan masih teringat, ia sudah tertinggal jauh tak terlihat, sehebat apapun dia pernah ada, akhirnya tak lebih hanya menjadi sebuah cerita. Seperti yang saat ini saya lakukan, dulu kisah-kisah itu pernah menjadi bagian dari hari-hari saya, dicintanya pernah menjadi hal yang biasa, disampingnya pernah menjadi tempat yang sangat lumrah dikunjungi. Namun tak ada seorangpun yang bisa menebak jalannya waktu, kadang ia terlihat mulus jalannya hingga segala rencana seakan mudah diwujud, namun terkadang pula, sering bahkan, alurnya tidak pernah terpikir dan begitu terjal, hingga segalanya tetiba kandas. Seperti segala kisah saya dulu, saya pernah berpikir bahwa ia akan terus mulus hingga happy ending, namun nyatanya kini, semua hanya menjadi kisah di ujung hening. 

Dilan tidak salah dan tidak pula harus disalahkan, hanya saja tersebab dari segala kisahnya, siapapun menjadi mengingat kembali kisah mereka masing-masing. Dan sadar tidak sadar, Dilan membuat pembaca menjadi mengingat bahwa waktu memang alurnya susah ditebak, dan segala cerita yang pernah terlewati sebelum hari ini nyatanya selalu membuat senyum-senyum sendiri. Kemudian kita sepakat, bahwa waktu terus beranjak, tapi tidak dengan kenangan.

Dan akhirnya, kini, gara-gara Dilan, saya merasa tua.


Haurgeulis, di penghujung bulan pertama di tahun yang baru.

Nita Bonita Rahman



Friday, 1 January 2016

Pahlawan untuk Ibu


Matahari musim panas hari itu sangat tidak bersahabat, teriknya terasa bagai menghanguskan kulit, membuat siapa saja malas untuk berlama-lama berada diluar rumah, tapi tidak untuk Bu Wati, dengan sedikit terengah dia mengayuh sepedah menuju sebuah sekolah dasar yang cukup jauh jaraknya dari tempat ia bekerja. Dia tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama dijalan karena demi menjemput anaknya dari sekolah ia menggunakan waktu istirahat bekerjanya.

“Ibuuu...”, seorang bocah berseragam putih merah lengkap dengan topi dan dasi berloncat-loncat dan berteriak girang sambil melambai-lambaikan tangannya saat merasa orang yang dia tunggu akhirnya muncul, yang dipanggil semakin mendekat dan tersenyum lebar. “Tepat waktu.” Batinnya dalam senyum.

“Hai jagoan! Ibu tidak terlambat, kan?” dia mengerem sepedahnya tepat didepan gerbang sekolah, bocah berparas menyenangkan menyambut dengan mengulurkan tangan mungilnya ke arah sang ibu, mencium punggung tangan dan menyeringai riang.

“Tidak, ibu! Aku baru saja keluar, hanya menunggu dua menit saja.” Katanya riang.
“Tahu dari mana kamu kalo kamu sudah menunggu selama dua menit?” Bu Wati menggoda, pura-pura tidak percaya.

“Dari ini!” bocah laki-laki bersorot mata indah itu menjulurkan lengan kirinya, menunjukkan jam tangan berwarna hitam bergambar power ranger dengan bangga, jam pemberian sang ibu setelah dia berhasil mendapat nilai tertinggi dikelas dalam ulangan matematika kemarin.

“Wah, senangnya yang punya jam baru!” Bu Wati tertawa kecil dan matanya berkedip-kedip menggoda sang anak. Siapapun yang melihat akan langsung tahu bahwa mereka amat bahagia. Tidak lama mereka berbincang Bu Wati segera mengayuh sepedahnya menuju rumah setelah memastikan bahwa sang anak sudah duduk rapih dan aman dibelakangnya dengan memeluk kuat pinggangnya.

Sesampainya dirumah Bu Wati langsung mempersiapkan makan siang anaknya dan menyiapkan seragam mengajinya, sedang Anto, sang anak, langsung membersihkan diri dan mengambil air wudhu untuk bersiap sholat dzuhur. “Ibu sudah solat?”, tanya Anto saat ibunya tengah amat tergesa mencari peci yang tak kunjung ketemu.

“Belum, tunggu sebentar, kita berjamaah ya” sahutnya dengan terus fokus pada apa yang sedang dia lakukan tanpa sedikitpun memalingkan wajah ke arah sang anak.
“Ibu mencari apa?” tanyanya penasaran.
“Ini loh To, pecimu belum ketemu, nanti kamu berangkat ke madrasah masa tanpa peci?” jelas ibunya dengan masih terus sibuk mencari kesudut-sudut ruangan.
“Peci? Kan sedang Anto pakai?” jawabnya polos.

Bu Wati yang sedari tadi membelakangi Anto memutar lehernya, terlihat Anto sudah rapih dengan baju koko dan sarung serta peci dikepalanya. Tersadar. “Astaghfirullahaladzim! Ibu lupa.” Bu Wati tertawa geli menyadari kekonyolannya sendiri, dia segera mengambil air wudhu dan mendirikan sholat dzuhur dengan Anto sebagai imamnya, walau belum bisa disebut dewasa, namun dimata Bu Wati anaknya yang sudah duduk dikelas 5 SD itu sudah tidak bisa lagi dikatakan anak kecil, terlebih lagi Anto adalah anak yang pintar dan bacaan sholatnyapun sudah fasih, bahkan dia mengerti arti doa disetiap gerak sholat, untuk anak seumurannya Anto cukup bisa diandalkan, maka ibunyapun percaya jika anak semata wayangnya itu bisa mengimami sholatnya, menggantikan sang suami tercinta yang sudah mendahului mereka mengadap Sang Maha.

Bagi Bu Wati, Anto adalah segalanya, dia adalah penghibur duka, penyembuh luka, dia amat bersyukur dikaruniai anak seperti Anto, usia Anto masih sangat kecil saat sang ayah meninggalkan mereka untuk selamanya karena tertabrak sepulang dia bekerja, kala itu Anto masih sangat butuh lindungan tangan kekar seorang ayah untuk membantunya tumbuh,  namun mereka yakin bahwa Allah sebaik-baik pembuat rencana, walau Anto masih kelas 1 SD saat ayahnya tiada, namun ayahnya telah mengajarkannya banyak hal melalui sifat dan perilakunya serta dongeng-dongeng yang selalu diceritakannya sebelum tidur saat ia masih ada, Anto adalah anak yang mudah paham jika dijelaskan sesuatu dan mudah mengerti walau hanya sekilas diterangkan, maka bukan hal sulit baginya untuk mengerti segala maksud baik dari setiap dongeng yang ayahnya ceritakan, Anto tumbuh dari kisah-kisah hebat sang ayah, dia selalu diajarkan untuk berani selama kita benar, dan jangan membenarkan yang biasa tapi biasakanlah yang benar, kalimat itu tertanam dihati Anto. Mungkin itu jugalah yang menjadikan teman-temannya senang mengandalkan dia, sejak duduk di kelas 1 hingga kini dia selalu dipercaya menjadi KM dan pemimpin bagi teman-temannya, dia selalu juara 1 disekolah dan menjadi siswa yang menyenangkan bagi guru-gurunya. Orang-orang bilang Anto amat mirip dengan sang ayah, baik rupa maupun sikap, ternyata benar sudah jika buah memang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.

Salam sudah terucap, sholat dzuhur sudah ditunaikan, mereka berdzikir sejenak memuja keagungan Allah, serta tidak lupa berdoa untuk ayah yang sudah mendahului mereka. Anto mencium punggung tangan ibunya, yang dibalas kecup lembut dikeningnya. Hidup hanya berdua saja dibawah atap yang sederhana dan dalam hidup yang seadanya membuat mereka begitu dekat dan hangat.

“To, ibu langsung berangkat lagi ya, makan siangmu sudah ibu siapkan di meja makan, jangan lupa kunci pintu jika akan berangkat ke madrasah, dan kalau sore nanti ibu belum pulang tolong siramkan bunga-bunga kesayangan ibu, kalau kamu lapar lagi kamu bisa minta dulu di warung Budhe Sri, nanti ibu yang bayar” cerocos ibunya sambil melipat mukena dan merapihkan bekas sholat mereka.

“Iya ibuku yang cantik. Ibu langsung berangkat kerumah bu Joko? Memangnya ibu sudah makan?” selidik Anto perhatian.

“Ibu gampang nanti saja makannya disana, yang penting ibu sudah memastikan kamu kenyang”
Anto menatap ibunya lirih, dia membenak andai dia diperbolehkan untuk mencari nafkah dia akan meminta ibunya dirumah saja dan tidak usah capek-capek bekerja,  dia akan melakukan apa saja demi ibu tercinta. Untuk urusan mental dan kecerdasan rasanya untuk anak seusianya dia tidak bisa diremehkan, namun sayang fisik tidak dapat dibohongi, Anto masih terlalu kecil untuk bekerja, bisa-bisa ibunya dituduh mengeksploitasi anak jika mengizinkannya. Entah kenapa siang itu ada perasaan lain dihati Anto, rasanya dia tidak ingin melepas pandangan dari ibunya, yang dipandang sedang sibuk merapihkan jilbabnya didepan cermin.

“Bu.. aku sayang ibu..” ucap Anto tiba-tiba. bu Wati menoleh heran, tersenyum dan melanjutkan berkaca karena merasa penampilannya belum rapih. “Ibu kok tidak jawab?” tanya Anto sedikit manyun.

“Jawab apa? Memangnya kamu bertanya?” tanya ibunya heran.

“Aku kan bilang aku sayang ibu”, jelasnya lagi.

“Apa ibu harus bilang kalau ibu juga sayang kamu? Ibu ada didepanmu merapihkan diri untuk berangkat kerja kembali dan menjemputmu setiap pulang sekolah, membuatkan kamu sarapan dan tidur disampingmu setiap malam serta menyiapkan segala keperluanmu dan terus berada disampingmu saat kamu butuh, apa itu tidak bisa menjelaskan kalau ibu juga sayang kamu? Ibu sayang kamu, anakku, walau tidak ibu ucapkan” jelas ibunya dengan tersenyum menenangkan, jilbab biru muda sudah terpakai rapih dikepalanya, dia mengelus kepala anak satu-satunya itu dan menjawil pipinya. Anto harap bu Joko sang majikan ibu memberikan waktu istirahat yang cukup lama untuk ibunya agar dia bisa berlama-lama bermanja dengan ibunya setiap siang, namun inipun wajib dia syukuri karena majikan tempat ibunya bekerja itu memberikan waktu kepada ibu untuk sekedar menjemput dirinya walau sebenarnya Anto bukan tidak mampu untuk pulang sekolah seorang diri, namun ibunya melarang dengan alasan tidak ingin Anto kelelahan.

“Ibu jangan capek-capek yah, jangan lupa makan” Anto meniru dialog yang sering ibunya katakan kepadanya. Ibunya tertawa, namun sedikit bergetar hatinya karena sekilas melihat wajah Anto seperti melihat wajah suaminya dan gaya bicaranya yang baru saja dilakukan persis sama. Ia rindu.
“Sudah kamu makan, setelah itu bersiap berangkat mengaji ke madrasah sebelum teman-temanmu kemari, ibu berangkat lagi yah.” Bu Wati mengecup lagi kening Anto persis seperti selepas sholat tadi, dan Antopun membalasnya dengan hal yang sama dengan tidak lupa mencium punggung tangan ibunya. Punggung ibunya semakin menjauh dari pintu rumah, sepedah berwarna hijau tua buatan Jepang terus membawa punggung ibu menjauh hingga hilang di ujung jalan.
***
Gerbang rumah mewah bercat putih berlantai 2 itu tertutup ketika bu Wati tiba tepat didepannya, ia membuka seperlunya untuk memasukan sepeda, meletakkannya ditempat biasa seluruh pegawai membawa kendaraannya, belum sempat ia menyangga sepedanya dengan benar, dari kejauhan mang Udin sang penjaga kebun memanggilnya, dari mimik mukanya yang terlihat samar-samar dari jauh tampaknya ada masalah serius yang dia bawa. Mang udin tergopoh menuju ke arahnya, sungguh besar rumah itu hingga rasanya jarak dari kebun tempat mang Udin memanggil sampai ke garasi tempat bu Wati menaruh sepeda begitu jauh hingga tak kunjung sampai. Penasaran, bu Wati bergegas menghampiri mang Udin yang masih berusaha berlari.

“Ada apa tho, Mang?” tanyanya penasaran.
“Kamu dicari nyonya, Wat. Ada masalah penting, Cepat temui nyonya!” dengan terengah mang Udin berusaha menjelaskan sejelas mungkin. Bu Wati bingung dalam panik.

Bu Joko adalah orang yang perfeksionis, bagi orang-orang yang belum mengenalnya bu Joko terlihat galak dan menyeramkan, hampir 4 tahun sejak suaminya meninggal bu Wati bekerja sebagai asisten rumah tangga dirumah bu Joko, bukan hal yang mudah untuk orang mampu terbiasa dengan sifat killer bu Joko. Sudah tidak terhitung berapa kali dan berapa banyak pegawai yang bekerja sebentar kemudian resign karena tertekan. Bu Wati salah satu orang yang cukup lama bekerja disana setelah mang Udin.

Siang itu beberapa menit setelah bu Wati pamit pulang menggunakan waktu istirahatnya sebentar untuk menjemput Anto, bu Joko yang baru pulang dari arisan bersama teman-teman sosialitanya mendapati lemari kamarnya berantakan, engselnya sudah tidak beraturan karena dibobol paksa, ia kaget bukan kepalang, siapa rupanya orang kurang ajar yang berani mengusik emosinya, perhiasan berharga dari mulai anting hingga gelang kaki yang bernilai ratusan juta raib hanya menyisakan kotak merah berbahan beludru, kotak itu kosong melompong, berangkasnyapun digasak habis, dicongkel dengan benda tajam, sialnya cctv diarea depan kamar sedang rusak dan baru nanti sore berencana akan diperbaiki, bu Joko naik pitam, sebagian pegawainya yang tengah istirahat dipanggil dan disemprot habis tanpa ampun, kecuali bu Wati.

Bu Joko curiga pelakunya bukan orang luar, lima orang pegawainya, yang diantaranya adalah seorang tukang kebun, satpam, satu orang pengasuh bayi dan seroang asisten rumah tangga yang baru 5 hari bekerja disana digeledah dari mulai kepala hingga kaki tanpa luput, segala barang yang dibawa merekapun tak ketinggalan diperiksa, loker hingga kendaraan para pegawai disapu bersih, tapi yang dicari tak juga kunjung terlihat, hingga tersisa satu loker milik bu Wati yang belum diperiksa, atas perintah sang majikan, pak Slamet sang satpam menggeledah loker bu Wati yang kuncinya menggantung begitu saja entah karena lupa atau terlalu terburu-buru hingga tidak sempat dikunci. Loker bu Wati yang berisi tas didalamnya digeledah tanpa ampun, dan entah bagaimana penjelasannya, perhiasan yang dicari ternyata ada di tas bu Wati. Bu Joko murka, bukti begitu jelas didepan mata, sebab bu Wati tak memiliki handphone bu Joko terpaksa menunggu sambil meredakan sakit yang menyerang kepalanya, hipertensinya kambuh. Maka saat mengetahui bu Wati sudah kembali, tidak menunggu lama bu Wati diminta menghadap dan menjelaskan semuanya.

***
Ruangan itu begitu pengap dan sempit untuk diisi lima orang sekaligus, kipas angin yang diletakkan dilangit-langit ruangan terlalu kecil dan kalah dengan cuaca panas siang itu, kipas itu bagai pajangan, namun ada yang lebih menyesekkan dari ruangan itu, ialah hati bu Wati yang tak menyangka akan digelandang ke kantor polisi oleh majikannya yang sangat ia hormati tanpa pembelaan sama sekali. Bu Wati menunduk, menangis kebingungan, sedang 3 orang polisi dan bu Joko menatapnya tajam, pak Slamet sang satpam hanya bisa diam menyaksikan, bingung kenapa perhiasan itu bisa ada di tas bu Wati, ia sendiri sesungguhnya tidak sepenuhnya percaya.
Sesulit apapun hidup, bu Wati tidak pernah sudi untuk mencari nafkah dari merampas hak orang lain, mengambilnya tanpa izin, jangankan perhiasan-perhiasan itu, bunga dipinggir jalanpun tak akan ia petik jika tak jelas siapa pemiliknya. Entah hikmah apa yang sedang Allah sediakan dibalik ujian fitnah itu untuk bu Wati, ia hanya bisa pasrah, menangis dalam diam mengingat Anto yang mungkin kini tengah duduk dengan khidmat di bangku tempat mengajinya. Pedih, bagaimana bisa ketika anaknya kini tengah menuntut ilmu agama, sedang ibunya tertuduh sebagai orang yang hina.
***
Hari mulai petang, lampu disetiap rumah mulai dinyalakan, lampu disetiap persimpangan jalanpun mulai terang, adzan magrib mulai berkumandang, bocah-bocah kecil berlarian menuju mushola berharap tidak menjadi masbuk, mereka terlihat riang berkejaran seakan berlomba siapa yang lebih dulu bisa mencapai rumah Allah dialah yang akan mendapat ilmu lebih dulu dari pak ustadz, mereka mengalungi sarung, memeluk sajadah, menyingsing mukena hawatir terjulur ke tanah, mereka menggenggam al-qur’an masing-masing yang kelak akan mereka tilawahkan bersama setelah sholat magrib didirikan.

Satu diantara mereka adalah Anto, dia yang paling semangat mengarahkan teman-temannya, mengomando mereka agar tidak bermain dan berlarian di musholah, anehnya, semua patuh. Petang itu berjalan seperti biasanya, Anto menghabiskan waktunya di musholah hingga ba’da isya sambil menunggu ibunya pulang bekerja, biasanya pukul setengah delapan malam ibunya akan tiba dirumah dan menemaninya belajar, dan hari ini dia harap ibunya datang lebih cepat sebab Anto sudah tidak sabar ingin menunjukkan hasil tes pelajaran Qur’an-Hadistnya di madrasah yang mendapatkan nilai 9. Ya, ditempat Anto tinggal setiap anak biasanya bersekolah 2 kali dalam 1 hari, pagi hingga siang mereka sekolah reguler menimba ilmu dunia, dan jam 2 siang hingga masuk waktu ashar mereka menimba ilmu agama di madrasah, sisanya mereka gunakan untuk bermain hingga menjelang magrib tiba. Masa kecil yang menyenangkan.
***
Detik terus berjalan maju, detaknya begitu jelas dalam hening, pukul 21.00 Anto membenahi buku-buku pelajaran yang akan dia bawa esok hari kesekolah, sambil telinganya awas mendengar keluar rumah, siapa tahu ibunya datang, namun hingga hampir setengah sepuluh malam ibunya tak kunjung tiba. “Kemana ibu? Mengapa belum juga pulang?” Anto bertanya-tanya dalam hati. Dia putuskan untuk tetap menunggu, dia membaca buku yang akan dipelajarinya esok hari diruang tamu agar ketika ibunya datang dia bisa langsung membukakan pintu, dia berusaha untuk tidak tidur menunggu ibunya pulang, namun ternyata kantuk sulit dikalahkan, akhirnya dia tertidur di sofa.

“Assalamualaikum! To? Anto?” seru seorang wanita dari arah luar rumah, dia mengetuk pintu, kembali mengucap salam yang kedua, yang dipanggil belum juga menyahut, ketukan kedua mulai dilakukan, namun masih belum ada tanda sang penghuni akan membukakan pintu baginya, salam ketigapun terucap, masih belum ada tanda sang punya rumah masih terjaga, namun baru saja ingin memberikan ketukan ketiga, Anto menyahut salam, dia berlonjak kaget campur senang, dilihatnya jam di dinding sudah pukul 22.00, malam sekali rupanya sang ibu pulang, pasti ibu sangat lelah, pikirnya. Dia membuka pintu dengan segera, namun terkejut ketika yang dilihat bukan ibunya.

“Ada apa budhe?” selidik Anto yang heran melihat budhe Sri malam-malam bertamu kerumahnya, walau belum sepenuhnya sadar, namun Anto tahu dari mimik muka dan sorot mata budhe Sri ada hal yang tidak beres terjadi. Budhe Sri menerangkan segalanya, dia bercerita tentang apa yang terjadi dengan bu Wati dari awal kejadian hingga 30 menit yang lalu saat berita itu sampai ditelinganya, Anto mendengarkan dengan seksama, dia mengulum bibirnya, matanya berkaca-kaca, air mata akan segera tumpah, dia tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Ibuku bukan pencuri! Ibuku orang baik!” akhirnya air mata itu menderas, Anto meraung sesenggukan, membuat siapa saja yang melihat terbawa haru, tetangga mulai mendekat mendengar kegaduhan yang terjadi, Anto menangis sejadinya, budhe Sri turut sedih dan menangis, setelah dari bibir ke bibir akhirnya seluruh orang yang menghampiri rumah Anto saat itu mengerti apa yang terjadi, mereka berusaha menenangkan Anto, mereka percaya ibunya tak mungkin melakukan hal sehina itu.
***
Pukul 1 siang, Anto mengayuh sepedahnya menuju kantor polisi tempat ibunya berada, bermodal sepedah kumbang tua peninggalan ayahnya, Anto berjuang menuntut keadilan untuk ibu tercintanya, ibu yang pada tumbuhan dan binatang saja tidak pernah ia melihat mendzalimi, apalagi pada seorang manusia. Tiba dikantor polisi Anto memaksa masuk demi bertemu ibunya, namun prosedur menjenguk tahanan bagi anak dibawah umur adalah harus didampingi orang dewasa, Anto memanggil-manggil ibunya, menangis lirih mengharukan, dia berkata pada seluruh orang yang ada diruangan bahwa ibunya bukan pencuri, ibunya bukan orang jahat, hingga membuat siapa saja yang melihat tertegun prihatin, namun sekeras apapun usahanya, polisi tetap tidak mengizinkan dia bertemu ibunya. Anto keluar pasrah.

Anto terduduk dipelataran kantor polisi, menangis kebingungan, hingga akhirnya dia melihat sebuah papan triplek tergeletak tak terpakai, dia meminjam spidol kepada seseorang yang lewat dihadapannya yang dari penampilannya sepertinya orang itu adalah seorang wartawan. Anto menuliskan “Bebaskan ibuku! Ibuku bukan penjahat, ibuku bukan pencuri!”, dia berdiri dipelataran kantor polisi, berdemo seorang diri, papan yang dibuatnya dipegang kuat didepan dadanya, dia berdiri tegak dibawah terik matahari kemarau. Berjam-jam dia tegak berdiri hingga mengundang simpati orang yang melihat, termasuk sang wartawan yang ia pinjami spidolnya, tak ingin melewatkan moment, Anto jadi objek menarik kamera sang wartawan, jadilah dia headline news media massa, sedang didalam sana ibunya terus berdzikir dan memohon kekuatan pada yang Maha Kuat, menangis terisak.
***
Seorang pria berperawakan tegap termenung dimeja kerjanya, surat kabar terbentang dihadapannya, berita yang matanya tangkap begitu memilukan hati, sebuah nama ia baca berulang-ulang, semakin bergetar hatinya, berita berjudul “Berdiri berjam-jam, Bocah kecil mencari keadilan” itu sukses membuat batinnya sepanjang hari itu berantakan tak karuan. Singkirkan sejenak kasus-kasus yang tengah ia tangani, Anak itu lebih butuh bantuan.

Bersambung...

Oleh: Nita Bonita Rahman
Diikutkan dalam event menulis cerpen dari Bukusendiri.com dengan tema "Ibu".


Loh kok bersambung? Penasaran? Kira-kira siapakah laki-laki itu? Bagaimana nasib bu Wati dan Anto selanjutnya? Akankah cerita ini berujung bahagia? atau justru sebaliknya? Baca cerita selengkapanya di Antologi Cerpen yang di terbitkan oleh Bukusendiri.com dengan cara download e-booknya di: 
https://play.google.com/store/books/details/Nita_Bonita_Rahman_Perempuan_Merah?id=jXhzCwAAQBAJ


Setiap kalian yang mendowload sama dengan menyumbang Rp. 500 ke Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta. Yuk membaca sambil beramal ;)


Terimakasih sudah bekrunjung, dan terimakasih sudah mendukung ^^