Matahari musim panas hari itu
sangat tidak bersahabat, teriknya terasa bagai menghanguskan kulit, membuat
siapa saja malas untuk berlama-lama berada diluar rumah, tapi tidak untuk Bu
Wati, dengan sedikit terengah dia mengayuh sepedah menuju sebuah sekolah dasar
yang cukup jauh jaraknya dari tempat ia bekerja. Dia tidak punya banyak waktu
untuk berlama-lama dijalan karena demi menjemput anaknya dari sekolah ia
menggunakan waktu istirahat bekerjanya.
“Ibuuu...”, seorang bocah
berseragam putih merah lengkap dengan topi dan dasi berloncat-loncat dan
berteriak girang sambil melambai-lambaikan tangannya saat merasa orang yang dia
tunggu akhirnya muncul, yang dipanggil semakin mendekat dan tersenyum lebar.
“Tepat waktu.” Batinnya dalam senyum.
“Hai jagoan! Ibu tidak terlambat,
kan?” dia mengerem sepedahnya tepat didepan gerbang sekolah, bocah berparas
menyenangkan menyambut dengan mengulurkan tangan mungilnya ke arah sang ibu,
mencium punggung tangan dan menyeringai riang.
“Tidak, ibu! Aku baru saja
keluar, hanya menunggu dua menit saja.” Katanya riang.
“Tahu dari mana kamu kalo kamu
sudah menunggu selama dua menit?” Bu Wati menggoda, pura-pura tidak percaya.
“Dari ini!” bocah laki-laki
bersorot mata indah itu menjulurkan lengan kirinya, menunjukkan jam tangan
berwarna hitam bergambar power ranger dengan bangga, jam pemberian sang ibu
setelah dia berhasil mendapat nilai tertinggi dikelas dalam ulangan matematika
kemarin.
“Wah, senangnya yang punya jam
baru!” Bu Wati tertawa kecil dan matanya berkedip-kedip menggoda sang anak.
Siapapun yang melihat akan langsung tahu bahwa mereka amat bahagia. Tidak lama
mereka berbincang Bu Wati segera mengayuh sepedahnya menuju rumah setelah
memastikan bahwa sang anak sudah duduk rapih dan aman dibelakangnya dengan memeluk
kuat pinggangnya.
Sesampainya dirumah Bu Wati
langsung mempersiapkan makan siang anaknya dan menyiapkan seragam mengajinya,
sedang Anto, sang anak, langsung membersihkan diri dan mengambil air wudhu
untuk bersiap sholat dzuhur. “Ibu sudah solat?”, tanya Anto saat ibunya tengah
amat tergesa mencari peci yang tak kunjung ketemu.
“Belum, tunggu sebentar, kita
berjamaah ya” sahutnya dengan terus fokus pada apa yang sedang dia lakukan
tanpa sedikitpun memalingkan wajah ke arah sang anak.
“Ibu mencari apa?” tanyanya
penasaran.
“Ini loh To, pecimu belum ketemu,
nanti kamu berangkat ke madrasah masa tanpa peci?” jelas ibunya dengan masih
terus sibuk mencari kesudut-sudut ruangan.
“Peci? Kan sedang Anto pakai?”
jawabnya polos.
Bu Wati yang sedari tadi
membelakangi Anto memutar lehernya, terlihat Anto sudah rapih dengan baju koko
dan sarung serta peci dikepalanya. Tersadar. “Astaghfirullahaladzim! Ibu lupa.”
Bu Wati tertawa geli menyadari kekonyolannya sendiri, dia segera mengambil air
wudhu dan mendirikan sholat dzuhur dengan Anto sebagai imamnya, walau belum
bisa disebut dewasa, namun dimata Bu Wati anaknya yang sudah duduk dikelas 5 SD
itu sudah tidak bisa lagi dikatakan anak kecil, terlebih lagi Anto adalah anak
yang pintar dan bacaan sholatnyapun sudah fasih, bahkan dia mengerti arti doa
disetiap gerak sholat, untuk anak seumurannya Anto cukup bisa diandalkan, maka
ibunyapun percaya jika anak semata wayangnya itu bisa mengimami sholatnya,
menggantikan sang suami tercinta yang sudah mendahului mereka mengadap Sang
Maha.
Bagi Bu Wati, Anto adalah
segalanya, dia adalah penghibur duka, penyembuh luka, dia amat bersyukur
dikaruniai anak seperti Anto, usia Anto masih sangat kecil saat sang ayah
meninggalkan mereka untuk selamanya karena tertabrak sepulang dia bekerja, kala
itu Anto masih sangat butuh lindungan tangan kekar seorang ayah untuk
membantunya tumbuh, namun mereka yakin bahwa
Allah sebaik-baik pembuat rencana, walau Anto masih kelas 1 SD saat ayahnya
tiada, namun ayahnya telah mengajarkannya banyak hal melalui sifat dan perilakunya
serta dongeng-dongeng yang selalu diceritakannya sebelum tidur saat ia masih
ada, Anto adalah anak yang mudah paham jika dijelaskan sesuatu dan mudah
mengerti walau hanya sekilas diterangkan, maka bukan hal sulit baginya untuk
mengerti segala maksud baik dari setiap dongeng yang ayahnya ceritakan, Anto
tumbuh dari kisah-kisah hebat sang ayah, dia selalu diajarkan untuk berani selama
kita benar, dan jangan membenarkan yang biasa tapi biasakanlah yang benar,
kalimat itu tertanam dihati Anto. Mungkin itu jugalah yang menjadikan
teman-temannya senang mengandalkan dia, sejak duduk di kelas 1 hingga kini dia
selalu dipercaya menjadi KM dan pemimpin bagi teman-temannya, dia selalu juara
1 disekolah dan menjadi siswa yang menyenangkan bagi guru-gurunya. Orang-orang
bilang Anto amat mirip dengan sang ayah, baik rupa maupun sikap, ternyata benar
sudah jika buah memang jatuh tidak pernah jauh dari pohonnya.
Salam sudah terucap, sholat
dzuhur sudah ditunaikan, mereka berdzikir sejenak memuja keagungan Allah, serta
tidak lupa berdoa untuk ayah yang sudah mendahului mereka. Anto mencium
punggung tangan ibunya, yang dibalas kecup lembut dikeningnya. Hidup hanya
berdua saja dibawah atap yang sederhana dan dalam hidup yang seadanya membuat
mereka begitu dekat dan hangat.
“To, ibu langsung berangkat lagi
ya, makan siangmu sudah ibu siapkan di meja makan, jangan lupa kunci pintu jika
akan berangkat ke madrasah, dan kalau sore nanti ibu belum pulang tolong
siramkan bunga-bunga kesayangan ibu, kalau kamu lapar lagi kamu bisa minta dulu
di warung Budhe Sri, nanti ibu yang bayar” cerocos ibunya sambil melipat mukena
dan merapihkan bekas sholat mereka.
“Iya ibuku yang cantik. Ibu
langsung berangkat kerumah bu Joko? Memangnya ibu sudah makan?” selidik Anto
perhatian.
“Ibu
gampang nanti saja makannya disana, yang penting ibu sudah memastikan kamu
kenyang”
Anto
menatap ibunya lirih, dia membenak andai dia diperbolehkan untuk mencari nafkah
dia akan meminta ibunya dirumah saja dan tidak usah capek-capek bekerja, dia akan melakukan apa saja demi ibu tercinta.
Untuk urusan mental dan kecerdasan rasanya untuk anak seusianya dia tidak bisa
diremehkan, namun sayang fisik tidak dapat dibohongi, Anto masih terlalu kecil
untuk bekerja, bisa-bisa ibunya dituduh mengeksploitasi anak jika
mengizinkannya. Entah kenapa siang itu ada perasaan lain dihati Anto, rasanya
dia tidak ingin melepas pandangan dari ibunya, yang dipandang sedang sibuk
merapihkan jilbabnya didepan cermin.
“Bu.. aku sayang ibu..” ucap Anto
tiba-tiba. bu Wati menoleh heran, tersenyum dan melanjutkan berkaca karena
merasa penampilannya belum rapih. “Ibu kok tidak jawab?” tanya Anto sedikit
manyun.
“Jawab
apa? Memangnya kamu bertanya?” tanya ibunya heran.
“Aku
kan bilang aku sayang ibu”, jelasnya lagi.
“Apa
ibu harus bilang kalau ibu juga sayang kamu? Ibu ada didepanmu merapihkan diri
untuk berangkat kerja kembali dan menjemputmu setiap pulang sekolah, membuatkan
kamu sarapan dan tidur disampingmu setiap malam serta menyiapkan segala
keperluanmu dan terus berada disampingmu saat kamu butuh, apa itu tidak bisa
menjelaskan kalau ibu juga sayang kamu? Ibu sayang kamu, anakku, walau tidak
ibu ucapkan” jelas ibunya dengan tersenyum menenangkan, jilbab biru muda sudah
terpakai rapih dikepalanya, dia mengelus kepala anak satu-satunya itu dan
menjawil pipinya. Anto harap bu Joko sang majikan ibu memberikan waktu
istirahat yang cukup lama untuk ibunya agar dia bisa berlama-lama bermanja
dengan ibunya setiap siang, namun inipun wajib dia syukuri karena majikan
tempat ibunya bekerja itu memberikan waktu kepada ibu untuk sekedar menjemput
dirinya walau sebenarnya Anto bukan tidak mampu untuk pulang sekolah seorang diri,
namun ibunya melarang dengan alasan tidak ingin Anto kelelahan.
“Ibu jangan capek-capek yah,
jangan lupa makan” Anto meniru dialog yang sering ibunya katakan kepadanya.
Ibunya tertawa, namun sedikit bergetar hatinya karena sekilas melihat wajah
Anto seperti melihat wajah suaminya dan gaya bicaranya yang baru saja dilakukan
persis sama. Ia rindu.
“Sudah kamu makan, setelah itu
bersiap berangkat mengaji ke madrasah sebelum teman-temanmu kemari, ibu
berangkat lagi yah.” Bu Wati mengecup lagi kening Anto persis seperti selepas
sholat tadi, dan Antopun membalasnya dengan hal yang sama dengan tidak lupa
mencium punggung tangan ibunya. Punggung ibunya semakin menjauh dari pintu
rumah, sepedah berwarna hijau tua buatan Jepang terus membawa punggung ibu
menjauh hingga hilang di ujung jalan.
***
Gerbang
rumah mewah bercat putih berlantai 2 itu tertutup ketika bu Wati tiba tepat
didepannya, ia membuka seperlunya untuk memasukan sepeda, meletakkannya
ditempat biasa seluruh pegawai membawa kendaraannya, belum sempat ia menyangga
sepedanya dengan benar, dari kejauhan mang Udin sang penjaga kebun
memanggilnya, dari mimik mukanya yang terlihat samar-samar dari jauh tampaknya
ada masalah serius yang dia bawa. Mang udin tergopoh menuju ke arahnya, sungguh
besar rumah itu hingga rasanya jarak dari kebun tempat mang Udin memanggil
sampai ke garasi tempat bu Wati menaruh sepeda begitu jauh hingga tak kunjung
sampai. Penasaran, bu Wati bergegas menghampiri mang Udin yang masih berusaha
berlari.
“Ada apa tho, Mang?” tanyanya penasaran.
“Kamu dicari nyonya, Wat. Ada
masalah penting, Cepat temui nyonya!” dengan terengah mang Udin berusaha
menjelaskan sejelas mungkin. Bu Wati bingung dalam panik.
Bu Joko adalah orang yang
perfeksionis, bagi orang-orang yang belum mengenalnya bu Joko terlihat galak
dan menyeramkan, hampir 4 tahun sejak suaminya meninggal bu Wati bekerja
sebagai asisten rumah tangga dirumah bu Joko, bukan hal yang mudah untuk orang
mampu terbiasa dengan sifat killer bu Joko. Sudah tidak terhitung berapa kali
dan berapa banyak pegawai yang bekerja sebentar kemudian resign karena
tertekan. Bu Wati salah satu orang yang cukup lama bekerja disana setelah mang
Udin.
Siang itu beberapa menit setelah
bu Wati pamit pulang menggunakan waktu istirahatnya sebentar untuk menjemput
Anto, bu Joko yang baru pulang dari arisan bersama teman-teman sosialitanya
mendapati lemari kamarnya berantakan, engselnya sudah tidak beraturan karena
dibobol paksa, ia kaget bukan kepalang, siapa rupanya orang kurang ajar yang
berani mengusik emosinya, perhiasan berharga dari mulai anting hingga gelang
kaki yang bernilai ratusan juta raib hanya menyisakan kotak merah berbahan
beludru, kotak itu kosong melompong, berangkasnyapun digasak habis, dicongkel
dengan benda tajam, sialnya cctv diarea depan kamar sedang rusak dan baru nanti
sore berencana akan diperbaiki, bu Joko naik pitam, sebagian pegawainya yang
tengah istirahat dipanggil dan disemprot habis tanpa ampun, kecuali bu Wati.
Bu Joko curiga pelakunya bukan
orang luar, lima orang pegawainya, yang diantaranya adalah seorang tukang
kebun, satpam, satu orang pengasuh bayi dan seroang asisten rumah tangga yang
baru 5 hari bekerja disana digeledah dari mulai kepala hingga kaki tanpa luput,
segala barang yang dibawa merekapun tak ketinggalan diperiksa, loker hingga
kendaraan para pegawai disapu bersih, tapi yang dicari tak juga kunjung
terlihat, hingga tersisa satu loker milik bu Wati yang belum diperiksa, atas
perintah sang majikan, pak Slamet sang satpam menggeledah loker bu Wati yang kuncinya
menggantung begitu saja entah karena lupa atau terlalu terburu-buru hingga
tidak sempat dikunci. Loker bu Wati yang berisi tas didalamnya digeledah tanpa
ampun, dan entah bagaimana penjelasannya, perhiasan yang dicari ternyata ada di
tas bu Wati. Bu Joko murka, bukti begitu jelas didepan mata, sebab bu Wati tak
memiliki handphone bu Joko terpaksa menunggu sambil meredakan sakit yang
menyerang kepalanya, hipertensinya kambuh. Maka saat mengetahui bu Wati sudah
kembali, tidak menunggu lama bu Wati diminta menghadap dan menjelaskan
semuanya.
***
Ruangan itu begitu pengap dan
sempit untuk diisi lima orang sekaligus, kipas angin yang diletakkan
dilangit-langit ruangan terlalu kecil dan kalah dengan cuaca panas siang itu,
kipas itu bagai pajangan, namun ada yang lebih menyesekkan dari ruangan itu,
ialah hati bu Wati yang tak menyangka akan digelandang ke kantor polisi oleh
majikannya yang sangat ia hormati tanpa pembelaan sama sekali. Bu Wati
menunduk, menangis kebingungan, sedang 3 orang polisi dan bu Joko menatapnya tajam,
pak Slamet sang satpam hanya bisa diam menyaksikan, bingung kenapa perhiasan
itu bisa ada di tas bu Wati, ia sendiri sesungguhnya tidak sepenuhnya percaya.
Sesulit apapun hidup, bu Wati
tidak pernah sudi untuk mencari nafkah dari merampas hak orang lain,
mengambilnya tanpa izin, jangankan perhiasan-perhiasan itu, bunga dipinggir
jalanpun tak akan ia petik jika tak jelas siapa pemiliknya. Entah hikmah apa
yang sedang Allah sediakan dibalik ujian fitnah itu untuk bu Wati, ia hanya
bisa pasrah, menangis dalam diam mengingat Anto yang mungkin kini tengah duduk
dengan khidmat di bangku tempat mengajinya. Pedih, bagaimana bisa ketika
anaknya kini tengah menuntut ilmu agama, sedang ibunya tertuduh sebagai orang
yang hina.
***
Hari mulai petang, lampu disetiap
rumah mulai dinyalakan, lampu disetiap persimpangan jalanpun mulai terang,
adzan magrib mulai berkumandang, bocah-bocah kecil berlarian menuju mushola
berharap tidak menjadi masbuk, mereka terlihat riang berkejaran seakan berlomba
siapa yang lebih dulu bisa mencapai rumah Allah dialah yang akan mendapat ilmu
lebih dulu dari pak ustadz, mereka mengalungi sarung, memeluk sajadah,
menyingsing mukena hawatir terjulur ke tanah, mereka menggenggam al-qur’an
masing-masing yang kelak akan mereka tilawahkan bersama setelah sholat magrib didirikan.
Satu diantara mereka adalah Anto,
dia yang paling semangat mengarahkan teman-temannya, mengomando mereka agar
tidak bermain dan berlarian di musholah, anehnya, semua patuh. Petang itu
berjalan seperti biasanya, Anto menghabiskan waktunya di musholah hingga ba’da
isya sambil menunggu ibunya pulang bekerja, biasanya pukul setengah delapan
malam ibunya akan tiba dirumah dan menemaninya belajar, dan hari ini dia harap
ibunya datang lebih cepat sebab Anto sudah tidak sabar ingin menunjukkan hasil
tes pelajaran Qur’an-Hadistnya di madrasah yang mendapatkan nilai 9. Ya,
ditempat Anto tinggal setiap anak biasanya bersekolah 2 kali dalam 1 hari, pagi
hingga siang mereka sekolah reguler menimba ilmu dunia, dan jam 2 siang hingga
masuk waktu ashar mereka menimba ilmu agama di madrasah, sisanya mereka gunakan
untuk bermain hingga menjelang magrib tiba. Masa kecil yang menyenangkan.
***
Detik terus berjalan maju,
detaknya begitu jelas dalam hening, pukul 21.00 Anto membenahi buku-buku
pelajaran yang akan dia bawa esok hari kesekolah, sambil telinganya awas
mendengar keluar rumah, siapa tahu ibunya datang, namun hingga hampir setengah
sepuluh malam ibunya tak kunjung tiba. “Kemana ibu? Mengapa belum juga pulang?”
Anto bertanya-tanya dalam hati. Dia putuskan untuk tetap menunggu, dia membaca
buku yang akan dipelajarinya esok hari diruang tamu agar ketika ibunya datang
dia bisa langsung membukakan pintu, dia berusaha untuk tidak tidur menunggu
ibunya pulang, namun ternyata kantuk sulit dikalahkan, akhirnya dia tertidur di
sofa.
“Assalamualaikum! To? Anto?” seru
seorang wanita dari arah luar rumah, dia mengetuk pintu, kembali mengucap salam
yang kedua, yang dipanggil belum juga menyahut, ketukan kedua mulai dilakukan, namun
masih belum ada tanda sang penghuni akan membukakan pintu baginya, salam
ketigapun terucap, masih belum ada tanda sang punya rumah masih terjaga, namun baru
saja ingin memberikan ketukan ketiga, Anto menyahut salam, dia berlonjak kaget
campur senang, dilihatnya jam di dinding sudah pukul 22.00, malam sekali
rupanya sang ibu pulang, pasti ibu sangat lelah, pikirnya. Dia membuka pintu
dengan segera, namun terkejut ketika yang dilihat bukan ibunya.
“Ada apa budhe?” selidik Anto
yang heran melihat budhe Sri malam-malam bertamu kerumahnya, walau belum
sepenuhnya sadar, namun Anto tahu dari mimik muka dan sorot mata budhe Sri ada
hal yang tidak beres terjadi. Budhe Sri menerangkan segalanya, dia bercerita tentang
apa yang terjadi dengan bu Wati dari awal kejadian hingga 30 menit yang lalu
saat berita itu sampai ditelinganya, Anto mendengarkan dengan seksama, dia
mengulum bibirnya, matanya berkaca-kaca, air mata akan segera tumpah, dia tak
percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Ibuku bukan pencuri! Ibuku orang
baik!” akhirnya air mata itu menderas, Anto meraung sesenggukan, membuat siapa
saja yang melihat terbawa haru, tetangga mulai mendekat mendengar kegaduhan
yang terjadi, Anto menangis sejadinya, budhe Sri turut sedih dan menangis,
setelah dari bibir ke bibir akhirnya seluruh orang yang menghampiri rumah Anto
saat itu mengerti apa yang terjadi, mereka berusaha menenangkan Anto, mereka
percaya ibunya tak mungkin melakukan hal sehina itu.
***
Pukul 1 siang, Anto mengayuh
sepedahnya menuju kantor polisi tempat ibunya berada, bermodal sepedah kumbang
tua peninggalan ayahnya, Anto berjuang menuntut keadilan untuk ibu tercintanya,
ibu yang pada tumbuhan dan binatang saja tidak pernah ia melihat mendzalimi,
apalagi pada seorang manusia. Tiba dikantor polisi Anto memaksa masuk demi
bertemu ibunya, namun prosedur menjenguk tahanan bagi anak dibawah umur adalah harus
didampingi orang dewasa, Anto memanggil-manggil ibunya, menangis lirih
mengharukan, dia berkata pada seluruh orang yang ada diruangan bahwa ibunya
bukan pencuri, ibunya bukan orang jahat, hingga membuat siapa saja yang melihat
tertegun prihatin, namun sekeras apapun usahanya, polisi tetap tidak
mengizinkan dia bertemu ibunya. Anto keluar pasrah.
Anto terduduk dipelataran kantor
polisi, menangis kebingungan, hingga akhirnya dia melihat sebuah papan triplek
tergeletak tak terpakai, dia meminjam spidol kepada seseorang yang lewat
dihadapannya yang dari penampilannya sepertinya orang itu adalah seorang
wartawan. Anto menuliskan “Bebaskan ibuku! Ibuku bukan penjahat, ibuku bukan
pencuri!”, dia berdiri dipelataran kantor polisi, berdemo seorang diri, papan
yang dibuatnya dipegang kuat didepan dadanya, dia berdiri tegak dibawah terik
matahari kemarau. Berjam-jam dia tegak berdiri hingga mengundang simpati orang
yang melihat, termasuk sang wartawan yang ia pinjami spidolnya, tak ingin
melewatkan moment, Anto jadi objek menarik kamera sang wartawan, jadilah dia headline
news media massa, sedang didalam sana ibunya terus berdzikir dan memohon
kekuatan pada yang Maha Kuat, menangis terisak.
***
Seorang pria berperawakan tegap
termenung dimeja kerjanya, surat kabar terbentang dihadapannya, berita yang
matanya tangkap begitu memilukan hati, sebuah nama ia baca berulang-ulang,
semakin bergetar hatinya, berita berjudul “Berdiri berjam-jam, Bocah kecil
mencari keadilan” itu sukses membuat batinnya sepanjang hari itu berantakan tak
karuan. Singkirkan sejenak kasus-kasus yang tengah ia tangani, Anak itu lebih
butuh bantuan.
Bersambung...
Oleh: Nita Bonita Rahman
Diikutkan dalam event menulis cerpen dari Bukusendiri.com dengan tema "Ibu".
Loh kok bersambung? Penasaran? Kira-kira siapakah laki-laki itu? Bagaimana nasib bu Wati dan Anto selanjutnya? Akankah cerita ini berujung bahagia? atau justru sebaliknya? Baca cerita selengkapanya di Antologi Cerpen yang di terbitkan oleh Bukusendiri.com dengan cara download e-booknya di:
https://play.google.com/store/books/details/Nita_Bonita_Rahman_Perempuan_Merah?id=jXhzCwAAQBAJ
Setiap kalian yang mendowload sama dengan menyumbang Rp. 500 ke Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta. Yuk membaca sambil beramal ;)
Terimakasih sudah bekrunjung, dan terimakasih sudah mendukung ^^