Tahun 2015 telah berakhir, tahun yang baru telah datang, banyak orang mengawalinya dengan menyusun banyak harap, berbagai resolusi terucap diudara dan menuju kelangit untuk kemudian menjadi doa, sementara itu, awal tahun 2016 kemarin, saya mulai dengan jatuh cinta pada seseorang. Ya, diawal bulan kemarin, saya awali hari-hari saya dengan jatuh cinta, jatuh cinta pada seseorang. Manis ya? Namanya Dilan. Dilan itu idaman.
Sebelum terlalu jauh kalian suudzon, biar saya perkenalkan Dilan siapa yang sedang saya maksud. Adalah dia, tokoh yang dibuat oleh Pidi Baiq dalam bukunya yang berjudul sama dengan nama tokoh utamanya, dan nama yang sama yang sedang kita perbincangkan. "Dilan: Dia adalah Dilanku 1990", sebuah novel yang berlatar kota Bandung pada tahun 1990, tentang seorang siswa SMA yang jatuh cinta pada seorang anak baru pindahan dari ibu kota, Dilan, si panglima tempur yang sudah membuat banyak pembaca wanita merasa ingin masuk kedalam buku, jika bisa, mereka berharap menjadi tokoh pasangannya, menjadi seorang Milea Adnan Husein, si anak baru. Ya, banyak pembaca yang berharap jadi Milea, tapi sayangnya Dilan cuma buat Milea, begitupun Milea cuma buat Dilan, Dilan itu dambaan, bahkan untuk lelaki sekalipun, Eh, bukan, bukan suka sesama jenis, tapi karena Dilan, pembaca laki-laki jadi pingin kayak dia, bahkan berharap bisa lebih, tapi katanya, mereka nggak akan mampu, mereka menganggap Dilan lebih seperti sebuah tantangan, atau patokan sikap romantis seorang laki-laki. Apa itu romantis? Dilan adalah jawabannya.
Sebelum terlalu jauh kalian suudzon, biar saya perkenalkan Dilan siapa yang sedang saya maksud. Adalah dia, tokoh yang dibuat oleh Pidi Baiq dalam bukunya yang berjudul sama dengan nama tokoh utamanya, dan nama yang sama yang sedang kita perbincangkan. "Dilan: Dia adalah Dilanku 1990", sebuah novel yang berlatar kota Bandung pada tahun 1990, tentang seorang siswa SMA yang jatuh cinta pada seorang anak baru pindahan dari ibu kota, Dilan, si panglima tempur yang sudah membuat banyak pembaca wanita merasa ingin masuk kedalam buku, jika bisa, mereka berharap menjadi tokoh pasangannya, menjadi seorang Milea Adnan Husein, si anak baru. Ya, banyak pembaca yang berharap jadi Milea, tapi sayangnya Dilan cuma buat Milea, begitupun Milea cuma buat Dilan, Dilan itu dambaan, bahkan untuk lelaki sekalipun, Eh, bukan, bukan suka sesama jenis, tapi karena Dilan, pembaca laki-laki jadi pingin kayak dia, bahkan berharap bisa lebih, tapi katanya, mereka nggak akan mampu, mereka menganggap Dilan lebih seperti sebuah tantangan, atau patokan sikap romantis seorang laki-laki. Apa itu romantis? Dilan adalah jawabannya.
Entah sebuah kesalahan atau bukan membaca buku Dilan ini diawal tahun, sebab yang seharusnya saya memulai hidup baru dan membuat rencana-rencana baru justru sebaliknya. Setiap kita punya kisah masa lalu, dan buku ini, untuk saya pribadi, bagai mesin waktu yang membuat siapa saja bisa tiba-tiba kembali ke masa-masa SMA mereka, apalagi, seperti yang kalian tahu, saya selalu kalah melawan rindu. Aslinya saya bukan pingin mereview buku Dilan, karena saya sudah beri review sedikit di Goodreads, jadi kenapa saya nulis soal Dilan di blog? Ya karena pingin aja, biar nambah postingan hehe (berusaha ikutin gaya bahasa Dilan). Tapi kalo postingan ini terlihat seperti mereview, ya nggak apa-apa, kan nggak akan di penjara juga kalau salah pendapat.
Saya nggak tahu apa tujuan Surayah bikin novel ini selain karena pingin dapet duit mungkin, tapi jujur, ada satu kata yang terpikir setelah lembar terakhir buku saya selesaikan, gara-gara Dilan dan semua ulahnya, satu kata, Flashback. Tiba-tiba saya jadi ingat cerita tentang masa-masa perasaan absurd jaman SMA saya dulu, apa ini salah satu tujuan Surayah? Entahlah, saat saya baca bagian PDKT Dilan ke Milea, baca bagian kisah-kisah mereka di sekolah, saya seperti melihat diri saya sendiri di koridor depan kelas, bahkan saat saya sampai pada bagian patah hati, seperti baru kemarin patah hati itupun saya rasakan padahal sudah hampir 4 tahun lamanya saya lepas dari masa SMA.
Saat mereka berantem soal Dilan yang berantem dengan Anhar, saya seperti melihat diri saya sendiri di 4 tahun yang lalu yang juga begitu mencemaskan seseorang yang ribut di sekolah pada jam istirahat, saya bisa merasakan kecemasan itu lagi, refleks, saya katakan dalam hati "Jangan, saya mohon, jangan ribut dengan mereka, saya mencemaskan kamu" dan saya juga langsung ingat tanggapannya, katanya "saya nggak apa-apa, kamu jangan khawatir, kamu jangan nangis. Ini urusan laki-laki", saya tiba-tiba ingat bagaimana dulu saya berlari menujunya setelah mendapat balasan sms demikian, dia bingung melihat saya murung, dan akhirnya, katanya "saya nurut". Dan kegaduhan itu selesai.
Ah, Dilan, entah kamu fiksi atau bukan, yang jelas saya jadi benci sama kamu, karena sudah membuat saya mengingat apa yang sudah saya kubur dalam-dalam.
Yak, gara-gara Dilan, waktu seperti berjalan mundur, saya seperti bisa melihat diri saya sendiri berbalut baju putih abu-abu saat melihat segerombolan anak SMA pulang dari sekolah, saya seperti bisa merasakan lagi hiruk pikuk kelas, jengahnya setumpuk PR, cemasnya menghadapi ulangan dan guru killer, Ah, Surayah, kau harus tanggung jawab atas segala rindu yang berantakan ini.
Dan tanpa bermaksud menyama-nyamakan, saya harus bilang, banyak kesamaan antara saya dan Milea, dan sama seperti banyak perempuan barangkali, bahagia merasa diistimewakan, selalu suka dengan kejutan, merasa nyaman dilindungi, selalu senang dimengerti tanpa harus banyak menjelaskan, dan sama-sama suka Dilan, tapi diantara banyak kesamaan, ada sama yang lebih dominan, kita sama-sama benci geng motor.
Setelah saya umumkan bahwa saya mencintai Dilan dibuku pertama, yang rasa itu mulai tumbuh dihalaman 103, dan merasa iri pada Milea karena dicintai Dilan dengan begitu indah, namun maafkan saya, Ayah, saya harus jujur, setelah lembar terakhir buku kedua selesai saya khatamkan, ternyata saya (harus) benci Dilan, dan saya takut menjadi Milea, nyatanya saya harus sadar bahwa Milea dipaksa oleh waktu untuk memikul kenangan hingga puluhan tahun lamanya. Saya takut itu.
Benar, saat tiba dibagian patah hati, rasanya seperti baru saja patah hati itupun saya rasakan, seperti baru saja saya di kecewakan, seperti baru beberapa waktu yang lalu saya di tinggalkan. Entahlah, kenapa harus ada yang disebut salah paham di dunia ini, kenapa maksud baik tidak selalu tersampaikan dengan baik. Persis Milea, saya memilih pergi saat saya rasa apa yang saya ucap sudah tidak lagi didengar, saya memilih berhenti saat siapa yang namanya selalu saya tunggu kemunculannya di inbox handphone merasa bahwa saya terlalu mengekangnya. Ah, Dilan, Harus pada siapa saya minta pertanggung jawaban atas segala perih yang muncul kembali ini?
Namun sedetail apapun kenangan masih teringat, ia sudah tertinggal jauh tak terlihat, sehebat apapun dia pernah ada, akhirnya tak lebih hanya menjadi sebuah cerita. Seperti yang saat ini saya lakukan, dulu kisah-kisah itu pernah menjadi bagian dari hari-hari saya, dicintanya pernah menjadi hal yang biasa, disampingnya pernah menjadi tempat yang sangat lumrah dikunjungi. Namun tak ada seorangpun yang bisa menebak jalannya waktu, kadang ia terlihat mulus jalannya hingga segala rencana seakan mudah diwujud, namun terkadang pula, sering bahkan, alurnya tidak pernah terpikir dan begitu terjal, hingga segalanya tetiba kandas. Seperti segala kisah saya dulu, saya pernah berpikir bahwa ia akan terus mulus hingga happy ending, namun nyatanya kini, semua hanya menjadi kisah di ujung hening.
Namun sedetail apapun kenangan masih teringat, ia sudah tertinggal jauh tak terlihat, sehebat apapun dia pernah ada, akhirnya tak lebih hanya menjadi sebuah cerita. Seperti yang saat ini saya lakukan, dulu kisah-kisah itu pernah menjadi bagian dari hari-hari saya, dicintanya pernah menjadi hal yang biasa, disampingnya pernah menjadi tempat yang sangat lumrah dikunjungi. Namun tak ada seorangpun yang bisa menebak jalannya waktu, kadang ia terlihat mulus jalannya hingga segala rencana seakan mudah diwujud, namun terkadang pula, sering bahkan, alurnya tidak pernah terpikir dan begitu terjal, hingga segalanya tetiba kandas. Seperti segala kisah saya dulu, saya pernah berpikir bahwa ia akan terus mulus hingga happy ending, namun nyatanya kini, semua hanya menjadi kisah di ujung hening.
Dilan tidak salah dan tidak pula harus disalahkan, hanya saja tersebab dari segala kisahnya, siapapun menjadi mengingat kembali kisah mereka masing-masing. Dan sadar tidak sadar, Dilan membuat pembaca menjadi mengingat bahwa waktu memang alurnya susah ditebak, dan segala cerita yang pernah terlewati sebelum hari ini nyatanya selalu membuat senyum-senyum sendiri. Kemudian kita sepakat, bahwa waktu terus beranjak, tapi tidak dengan kenangan.
Dan akhirnya, kini, gara-gara Dilan, saya merasa tua.
Haurgeulis, di penghujung bulan pertama di tahun yang baru.
Nita Bonita Rahman
No comments:
Post a Comment