Thursday, 28 July 2016

Yang Mengenal Paling Lama Tidak Menjamin Mengenal Paling Baik

Dulu, sebagaimana pandangan orang pada umumnya, saya percaya bahwa salah satu modal penting sebuah pernikahan adalah saling mengenal. Sebab, dari saling mengenal itulah bisa diukur kira-kira cocok atau tidak ketika si A menikah dengan si B. Dari saling mengenal itulah bisa lahir satu keyakinan bahwa si A dan si B bisa membangun rumah tangga yang harmonis. Putus-nyambung-putus-nyambung dalam sebuah hubungan yang disebut pacaran pun dianggap wajar sebagai ikhtiar untuk saling mengenal. Seolah sulit sekali mencari pasangan hidup yang—dirasa—tepat.

Setelah berbulan-bulan menjalani pernikahan, jatuh bangun membangun rumah tangga, saya rasa ide tentang ‘kewajiban saling mengenal sebelum menikah’ itu bukan satu hal yang mutlak. Apalagi sampai bertahun-tahun. Rasanya berlebihan sekali.

Dalam arti, saya kira hal itu sebenarnya bisa jadi urutan kesekian.

Saya pertama kali mengenal Vidia Nuarista di akhir tahun 2009. Saat itu, sekadar tahu nama, wajah, jurusan dan segelintir aktivitasnya di kampus. Lalu menjadi semakin kenal di tahun 2011, ketika kami sama-sama menjadi badan pengurus harian di sebuah organisasi. Saya wakil dan ia sekretaris. Tahun 2014, kami menikah.

Jadi, kalau dihitung-hitung, jarak yang terbentang dari jumpa pertama ke pernikahan lebih kurang lima tahun. Sementara jarak antara perkenalan yang lebih dalam ke pelaminan adalah tiga tahun.

Selama tiga tahun itu, ada banyak hal yang saya catat dari seorang Vidia Nuarista: bagaimana caranya bicara, bekerja, tertawa, menghadapi masalah, dan sebagainya. Termasuk jilbab warna apa yang membuatnya terlihat lebih anggun. Diam-diam dan sedikit demi sedikit saya mengumpulkan informasi itu. Hingga, akhir tahun 2013 bulatlah tekad saya untuk mendatangi ayahnya. Dalam proses itu juga kami berusaha untuk semakin mengenal lagi secara lebih terbuka. Sebagian informasi pribadi ditukar melalui tulisan, sebagian disampaikan secara lisan dalam pertemuan-pertemuan.

Semakin banyak informasi yang saya punya tentang Vidia Nuarista. Semakin saya percaya diri menghadapi pernikahan, karena merasa sudah sangat mengenalnya. Sampai ketika pernikahan telah berjalan beberapa minggu, kami sadar bahwa ada hal lain yang lebih penting dari saling mengenal: saling menerima.

Apa yang saya kenal dari seorang Vidia selama tiga tahun, rupanya tidak terlalu berarti. Berbagai catatan yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun ternyata tak terlalu membantu saat kami berumah tangga. Sebab pernikahan selalu begitu. Ia akan memaksa sifat buruk kita keluar satu persatu, membongkar aib-aib yang telah lama kita simpan, hingga pelan-pelan kita sadar kita tak punya apa-apa lagi untuk disembunyikan.

Kami benar-benar merasa seperti dua orang asing yang baru bertemu.

Maka saya setuju sekali dengan apa yang dikatakan Salim A. Fillah, pernikahan adalah proses saling mengenal tanpa akhir. Dalam proses saling mengenal itu, tentu ada hal yang menyenangkan ada yang tidak. Ada yang membanggakan ada yang tidak. Sehingga proses saling mengenal yang tak didahului oleh kesiapan untuk menerima hanya akan melahirkan perasaan kecewa, yang jika ditumpuk lama-lama akan sangat berbahaya.

Jadi, jika saya yang hina dan penuh dosa ini boleh memilih satu nasihat untuk disampaikan kepada teman-teman yang hendak menikah, barangkali pesan saya seperti ini:

Daripada kita habiskan waktu bertahun-tahun untuk saling mengenal, padahal itu tidak menjamin apa-apa kecuali peluang untuk melakukan dosa, lebih baik kita membangun kesiapan untuk menerima. Sehingga siapa pun yang kelak menjadi teman kita dalam membina rumah tangga, apakah kita sudah begitu mengenalnya atau baru sekadar tahu nama, ia akan bahagia karena kesediaan kita menerima ketidaksempurnaanya. Bahwa di dalam diri kita ada jiwa yang begitu lapang, yang siap menampung berbagai cerita, mimpi, amarah, keluh, kesah, luka dan air mata.

-Azhar Nurun Ala-

Insyaallah ada ilmu yang bisa diambil.

Haurgeulis, menjelang petang.

Friday, 1 July 2016

Patah

Selamat malam, Juli.
Mengapa kau murung tertutup mendung?
Sedang harusnya malam ini serupa malam seribu bulan. Kau semestinya indah tak terperikan.

Selamat malam, Juli.
Malam ini aku susah terpejam, entah sebab buku yang kubaca menarik untuk terus ku jelajah,
Atau karena ada harap yang pelan-pelan sekali menuju patah.

Selamat malam, Juli.
Malam ini kau begitu dingin,
Entah sebab memang mendung diluar sana,
Atau karena tak ada juga notifikasi favorit pada ponsel yang berulang-ulang kubuka.

Selamat malam, Juli.
Sejak 9 minggu lalu, aku mengancam diri agar tak berharap kecuali pada Yang Satu,
Sejak ada yang datang tiba-tiba di malam itu, aku galak menyuarakan hatiku untuk tidak jatuh.
Sayang, Juli.. aku, kau tahu, mudah meluluh.

Kini, Juli..
Setelah merapal segala tanya, nampaknya Tuhan mulai menjawab.
Tentang kita, Ia jawab sudah.

Kini, pantaskah tentangnya kusebut layu, sedang Ianya belum sempurna berkembang?

Juli.. Aku, patah..

Haurgeulis. Malam 27 Ramadhan 1437 H.

-Nita Bonita Rahman-