Sepagi ini saya sudah duduk di pelataran rumah sakit, melihat perawat dan petugas keamanan berlalu lalang, memperhatikan banyak orang dengan keperluannya masing-masing, melihat anak kecil asik memainkan kursi roda yang entah terpakai entah tidak karena sudah dipenuhi banyak karat tapi masih bisa digunakan. Saya duduk di buk di bawah pohon depan ruang rawat inap bukan sebab terlalu pagi datang untuk menjenguk atau ada keperluan ingin mendatangi dokter, tapi memang sudah 4 hari saya bermalam disini. Seminggu yang lalu Bapak saya sakit, setelah konsultasi dengan salah satu dokter di desa tempat kami tinggal, katanya, Bapak saya harus di operasi, dan 4 hari yang lalu operasi itu dilaksanakan. Saya tidak akan membahas perihal sakit yang bapak saya rasakan, saya hanya ingin mengurai kegelisahan saya selama "menginap" di sini.
Senyaman apapun sebuah rumah sakit, dia tetap rumah sakit, tempat orang-orang yang merasa amat kepayahan berharap tubuhnya bisa kembali lekas sehat seperti sedia kala, dan saya tidak pernah betah didalamnya. Namun rupanya Allah tengah ingin menguji seberapa kuat saya dan keluarga saya, dan apapun yang Allah mau tidak bisa kami tolak, dibanding terus mengeluh dan menggerutu, kami lebih memilih untuk merawat bapak sekuat dan sesabar yang kami mampu.
Rasanya tidak ada satupun orang di dunia ini yang ingin sakit, begitupun bapak, terlebih beliau adalah tulang punggung keluarga kami, jika boleh memilih beliau ingin selalu sehat, tapi seperti yang kita semua tahu, yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah. Entah ini musibah atau bukan, saya mencoba untuk melihat dari banyak sisi, mencerna banyak kegelisahan, dan kegelisahan yang akan saya bahas disini, adalah perihal Ibu saya.
Sejak bapak merasa dirinya begitu kesakitan dan tidak bisa melalukan banyak hal, Ibu saya yang akrab saya panggil Mamah, tidak luput barang sedetik memperhatikan bapak. Mamah begitu telaten dan cekatan mengurus semua hal yang bapak butuh. Dari keperluan yang sepele seperti hanya mengambilkan minum, hingga hal yang menurut saya berat (saya tidak bisa jelaskan disini). Mamah selalu menjadi yang paling tahu setiap ada orang bertanya perihal keadaan bapak, menjadi yang paling siap melakukan segala hal yang bapak butuh, menjadi yang paling mampu melakukan apapun yang tidak siapapun mampu untuk Bapak, yang paling rela tidak tidur semalaman demi memastikan bapak baik-baik saja, yang paling cerewet perihal kebersihan tubuh bapak, Mamah perempuan yang akan bapak cari saat sosoknya tidak ada di pandangannya.
Banyak orang yang berusaha menguatkan saya atas sakit yang menimpa bapak, katanya, semua pasti ada hikmahnya. Jika ini tidak terlalu dini untuk diebut hikmah, perihal segala yang Mamah lakukan selama bapak sakit, barangkali itu bisa saya sebut salah satu hikmah. Ilmu parenting dan perananan istri dalam rumah tangga. Saat saya berusaha mencari ilmu-ilmu tersebut dari banyak buku, ternyata Allah memberi saya Ilmu itu langsung dihadapan mata saya, kontan, dengan praktik, bukan cuma teori.
Dari yang mamah lakukan sejauh ini saat bapak sakit, saya bisa melihat ketulusan yang tidak dibuat-buat. Barangkali akan ada sebagian orang yang menganggap omong kosong perihal ketulusan, tapi saya bisa memastikan bahwa mereka yang keliru.
Mamah pernah bercerita tentang bagaimana beliau bisa menikah dengan Bapak dulu, Mamah bilang mereka tidak saling kenal sama sekali, tapi Bapak tahu mamah, hanya sekedar tahu, dan bapak tertarik. Kemudian bapak bicara perihal ketertarikannya pada seorang perempuan (Mamah) kepada keluarganya, kebetulan mereka bukan orang jauh, hanya berbeda desa, dan cukup saling mengenal. Singkat cerita, saat itu Mamah ada yang sedang mendekati, kemudian tiba-tiba bapak datang, kepada laki-laki yang lebih dulu mendekati Mamah, Ayah Mamah (Kakek) meminta ketegasan, ternyata Mamah diminta menunggu dan jikapun memang saat itu Mamah diberi kepastian oleh sang laki-laki, keluarga Mamah belum tahu perihal keluarga si pemuda karena dia adalah perantau, alih-alih mengindahkan ingin si pemuda, Kakek justru mengutus Kakak Mamah (paman saya) untuk mendatangi keluarga Bapak untuk segera melamar Mamah, padahal saat itu Mamah dan Bapak belum saling kenal, Mamah berniat melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi selepas SMA namun ternyata Allah lebih ridho Mamah dipersunting oleh Bapak, akhirnya Mamah menikah, dan melepaskan keinginan sekolahnya. Mamah manut. Sebab Mamah tahu, orangtuanya lebih tahu yang terbaik untuk dirinya.
Kini 25 tahun sudah usia pernikahan mereka, waktu sudah mengajarkan mereka banyak hal, termasuk kecenderungan diantara keduanya, meski awalnya tak saling kenal, kini justru Bapak adalah orang yang akan lebih dulu Mamah cari saat kebingungan, dan Mamah adalah perempuan yang Bapak datangi untuk melepas segala keresahan.
Bicara soal hikmah dari sakit Bapak saat ini, rasa saling kecenderungan mereka satu sama lain adalah hal yang harus saya pelajari, saya senang sekaligus gugup melihat mereka. Kelak, bisakah saya seperti Mamah yang selalu siap melakukan apapun yang Bapak butuh? akankah belaian lembut saya akan mampu menenangkan keresahan seseorang? Bisakah saya menjadi sekuat Mamah saat menerima segala kekurangan yang suaminya punya?
Dan, ya, di awal tadi saya katakan saya sedang berada di pelataran Rumah sakit, bukan karena tidak ingin membantu Mamah merawat bapak di dalam, tapi memang saya diminta keluar saat dokter melakukan visit pasien, ruangan harus steril dan pasien hanya boleh ditunggu satu orang. Tanpa ba-bi-bu saya akan suka rela menunggu diluar karena saya tahu siapa yang lebih Bapak butuh, dan siapa yang harus selalu ada disamping ranjang sakitnya setiap waktu.
4 hari di Rumah Sakit tergambar semua proses panjang pernikahan mereka selama 25 tahun, waktu memang media terbaik untuk menyingkap banyak hal. Siapa yang sangka orang asing itu kini menjadi separuh dari jiwa Mamah, saya tidak akan pernah lupa bagaimana tangis sendu mamah di tengah malam saat Bapak merasa kesakitan, saya tidak akan pernah lupa bagaimana kacau pikiran Mamah membayangkan banyak kemungkinan, tidak luput juga saya ingat bagaimana raut panik Mamah mondar-mandir di lorong Rumah Sakit saat Bapak mulai masuk ruang operasi. Saya menyaksikan banyak hal selama 4 hari di Rumah Sakit, 4 hari untuk 25 tahun.
Dari sorot mata Mamah selama 4 hari ini saya belajar banyak hal meski tidak sepatahpun kata yang beliau ucap, bahwa demi kemungkinan terbaik yang kita ingin, mata harus rela terjaga semalaman. Genggam tangan Mamah mengurai banyak cerita, bahwa belainya harus menenangkan, kepalnya harus menguatkan, dan tengadahnya harus penuh keikhlasan.
Rasanya tulisan ini sudah terlalu panjang, kini biar saya akhiri dengan satu saja pertanyaan untuk kamu, siapapun laki-laki yang kelak akan saya dampingi suka dan dukanya, nanti, maukah kamu sabar untuk menjadikan saya perempuan satu-satunya yang akan selalu kamu cari saat kamu butuh ketenangan saat kesakitan?
Pagi, di sebuah pelataran salah satu Rumah Sakit daerah Indramayu.
*NBR.
No comments:
Post a Comment