Monday, 6 June 2016

Sebuah Maaf dari Lisan yang Lancang Bicara

Malam ini adalah malam kedua Ramadhan, dan seperti Ramadhan biasanya, semua hati menyambut dengan suka cita, sebab pintu maaf milik-Nya terbuka selebarnya, dan pintu neraka tertutup serapatnya, umat muslim bergembira menyambutnya, tapi sayangnya, suka dan cita milik saya terasa hambar rasanya.

Beberapa hari sebelum bulan nan suci ini datang, lazimnya orang-orang bermaafan, saling bertukar senyum sapa penuh kehangatan, tapi bodohnya, yang saya lakukan justru berlawanan, saya menyayat sebuah hati dengan lancangnya saya berlisan.

Bodoh, sekejap saja, lisan saya melukai sebuah kepercayaan, orang bijak berpikir sebelum bicara, sedang saya, bicara tanpa berpikir, pedih rasanya ketika menyadari sebuah kesalahan justru setelah kesalahan itu terjadi, dan semakin pedih ketika kalimat darinya saya baca ulang,

"Mulai saat ini, kepada kamu, saya tidak akan bicara tentang segala kepedihan saya lagi!"

Remuk. Saya merasa menjadi manusia paling tidak punya guna.

Rasanya tidak perlulah kalian tahu perihal apa yang kami debatkan, sebab saya hawatir kalian ikut sepakat bahwa saya memang tidak pantas untuk dimaafkan, kalian hanya cukup tahu, bahwa saya sedang merasa berantakan.

Di malam kedua Ramadhan ini, saya memberanikan diri menuang resah lewat tulisan ini.

Kepada kamu yang tersayat sebab lancangnya mulut ini bicara, lebih dari tiga hari sudah nama kamu tidak muncul di notifikasi ponsel saya, lebih dari tiga hari sudah kita tak bertukar sapa, lebih dari tiga hari sudah saya merasa amat hina.

Ramadhan tahun lalu saya pernah berkata: "Setelah kamu pergi Ramadhan tahun depan rasanya pasti tidak akan sama lagi", dan sekarang, pedihnya, prediksi saya benar sekali.

Saat menjejakkan kaki dan memilih shaff untuk sholat tarawih, pedih itu menjalar ke dalam hati, kini tidak ada lagi kamu disamping saya yang terus menguap sebab kelelahan bekerja seharian, tidak ada lagi kamu yang bercerita tentang baru saja kamu melihat sebuah mukena yang kamu sebut indah dengan katun jepang sebagai bahannya, tidak ada lagi sms soal akan berangkat tarawih jam berapa, sudah di masjid atau perlu dijemput, kamu dinas pagi atau masih di klinik, butuh camilan atau sudah kenyang dengan menu berbuka dirumah, akan kemana setelah usai urusan ibadah malam ramadhan kita, adakah hal yang mengganjal dihatimu untuk dituang meski hanya sedikit saja. Tidak ada lagi.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, dimalam kedua Ramadhan ini cukuplah sudah segala resah yang saya paksa untuk terlihat baik-baik saja, cukuplah sudah segala dingin sikap kamu yang saya terima, cukuplah sudah segala rasa bersalah yang saya rasa.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, mohon maafkan saya yang tidak memiliki telinga sebaik telinga yang kamu punya, mohon maafkan saya yang tidak bisa menjadi pendengar yang sebaik kamu minta, maafkan saya yang tidak becus menjadi seorang teman seharusnya.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, sebenarnya bisa saja saya memposkan sebuah surat ke Jogjakarta, sebuah surat berisi kalimat manis penuh permintaan maaf, tapi saya lebih memilih untuk menuliskannya disini, bukan karena tidak berani, tapi hanya demi orang tahu bahwa saya adalah teman yang tidak tahu diri.

Kepadamu yang sudah saya buat sedih, semoga kamu sudi menerima permintaan maaf ini.

Selamat Ramadhan, dan lekas pulang dengan gelar sarjana yang kamu perjuangkan, Rul.

Haurgeulis, 1 Ramadhan 1437 H.

-Nita Bonita Rahman-

No comments: