Monday, 10 October 2016

Surat Untukmu yang Entah Siapa

Hallo, selamat malam! Ku ucap saja malam ya, sebab aku tidak tahu saat surat ini kau baca, dibagian bumi tempatmu berpijak kini sedang pukul berapa. Tapi kapanpun, saat kau membaca ini, aku harap kau sedang dalam keadaan baik-baik saja. Selalu.

Kau sedang apa? Oh, maaf, sebelumnya, perkenalkan.. Aku adalah perempuan iseng yang saat orang-orang bersiap menuju lelap, aku justru memilih untuk menulis surat ini demi berbincang denganmu yang padahal entah siapa.

Sejujurnya, aku sendiri bingung ingin membahas apa, aku menulis surat ini untuk ikut merayakan hari Surat Menyurat Sedunia yang jatuh pada hari ini, 10 Oktober. Apa kau tahu? Jika belum, tolong simpan info ini baik-baik.

Oh ya, tadi aku bertanya kau sedang apa, kan? Kini biar kuulangi, duhai kau yang akupun tidak tahu siapa, kau sedang apa? Semoga saat kau membaca suratku ini kau sedang tidak mencuri-curi bermain internet saat bekerja, pun semoga kau tidak sedang berkendara, aduh, karena itu sangat bahaya, fokuslah dulu pada apa-apa yang harus segera kau selesaikan, aku harap kau membaca suratku ini diwaktu senggang, saat menikmati teh diteras rumah misalnya, merebah dikasur kamarmu, atau kapanpun asal tak mengacaukan schedule harianmu.

Sebab surat ini, duhai, kau yang entah siapa, kau harus tahu, selain demi sebuah perayaan, juga adalah rindu yang menjadi alasan untukku menuliskannya. Maka aku tidak ingin, rindu yang kupunya, menjadi hal merepotkan untukmu yang padahal tidak tahu apa-apa.

Sebelumnya, hampir setengah tahun yang lalu rasanya aku pernah menuliskan hal yang sama, sebuah surat yang juga tak memiliki penerima namun berharap bisa kau baca, omong-omong, sudah kau baca, kan? Jika belum, aku sangat mempersilahkan jika memang kau mau telusuri, silahkan kau cari dokumenku di bulan April, 6 bulan lalu.

Kepada kau yang entah siapa, tadi, aku sudah katakan padamu bahwa aku menulis ini beralaskan rindu, kan? Namun sebelumnya aku ingin bertanya padamu, menurutmu, rindu itu sesungguhnya apa? Karena untukku, rindu begitu menyiksa meski aku tidak pernah menemukan definisinya.

Kau harus tahu, tersebab rindu, aku bisa uring-uringan seharian tak jelas alasan, mudah lupa menaruh barang yang belum lama kuletakkan, mencari dan menyetel lagu-lagu sendu pada playlist komputer kerjaku, menatap sendu gerimis yang terlihat dari samping jendela tempat dudukku, hanya mengaduk-aduk minuman yang kupesan dari  kantin 2 jam lalu, ah, rindu... Aku tak menyangka hadirnya bisa membuatku menjadi seberantakan itu. Dan aku penasaran, apakah si Rindu juga melakukan hal yang sama padamu?

Dan, atas nama rindu pula aku ingin menyampaikan segala resahku kepadamu yang entah siapa dan dimana. Aku resah, sangat resah. Semakin lama, semakin sangat resah. Ini parah, dan akupun jengah. Aku meresahi pertemuan kita, apakah ada, atau tidak? Perihal bagaimana kelak rasanya, dimana tempatnya, kapan waktunya, dan apa yang kita perbincangkan, apa kita satu selera? Akankah percakapan kita akan berlangsung lama atau hanya lima menit saja? Apakah akan ada pertemuan kedua atau akan langsung berhenti pada pertemuan pertama? Baju apa yang akan kau kenakan? Bagaimana postur tubuhmu, suara bicaramu, siapa kamu. Aku resah menanti segala jawabannya. Apa kau meresahkan hal yang sama?

Namun ada yang lebih kuresahkan sesungguhnya, aku cemas kau tidak bisa terima, bahwa yang harus kau temui adalah hanya seorang aku. Gadis yang kini menuju umur dua puluh dua namun berperawakan seperti siswa SMP kelas dua, aku cemas sebelum kita diharuskan bertemu oleh waktu, disana kau telah menyusun harap begitu tinggi, sedang aku disini, tak sejelita bidadari.

Aku hawatir, disana, kau mengharap aku adalah perempuan yang darahnya berwarna biru, keturunan raja dengan perangai halus khas putri-putri dalam istana, atau kau memimpikan aku adalah anak seorang saudagar yang namanya mahsyur seantero desa karena budi dan perilaku baiknya.
Pun aku takut, disana, kau bermimpi bertemu denganku yang bergelimang harta, ingin apa saja tinggal meminta, travelling atau sekedar berkeliling negara tetangga menjadi hal yang lumrah, miliki rekening yang bukan sekedar gendut namun obesitas isinya, bersandang gaun dengan taburan mutiara, berpapan istana dengan emas sebagai pelapis dindingnya.

Atau, kau juga berharap aku adalah perempuan yang bisa melakukan segala hal? mengangkat galon ke dispenser saat memang harus segera di isi, membetulkan genteng saat hujan deras membuatnya bergeser hingga beberapa ruang dalam rumah menjadi basah kebocoran, memperbaiki keran yang sudah seharian tidak mengeluarkan air, memasak masakan senikmat chef hotel bintang lima, menjahit gaun untuk gadis kecil yang akan menjadi orang ketiga antara kita, atau kau harap aku kuat fisik hingga tak pernah merasa sakit dengan virus apapun yang menyapa.

Aduh.. Duhai kau yang entah siapa, sungguh, demi apapun, jika memang iya itu semua yang kau harap, malang nian aku di rundung gelisah, resah, cemas, dan segala ketakutan. Sebab aku, perempuan yang menulis surat iseng untukmu ini, amat-sangat-sangat-sangat jauh dari yang kau damba. Aku tak jelita, bukan anak raja, tidak berlimpah harta, tak sekuat baja. Aku hanya gadis akhir jaman yang berusaha menjadi sebaik wanita yang kubaca dari kisah-kisah sahabiyah, walau sungguh itupun hanya secuil yang bisa aku terapkan sejauh ini.

Ah, rasanya sesak memikirkan jika memang benar segala tentangmu adalah sesuai dengan segala keresahanku selama ini. Pun rasanya terbayang sudah betapa getir setiap rindu yang harus ku terima jika hadirnya selalu membawa keresahan tentangmu. Namun kau harus tahu, disetiap waktu mustajab yang bisa aku temui, aku selalu meminta pada yang Maha Cinta, semoga, kau yang entah siapa, bukan seorang pria yang selalu mebuatku resah, semoga kau yang entah siapa adalah bukan pria yang hanya berharap dibersamakan dengan wanita yang jelita, berharta, pun bertahta, namun aku harap kau adalah seorang pria yang bersedia untuk berjuang bersama membangun istana, berharta untuk berguna bagi sesama, juga aku harap kau bukan pria yang mendamba kita menjadi raja dan ratu yang rupawan hanya dari yang terlihat dari mata saja, namun lebih dari itu, aku harap kita bisa berjuang bersama, menjadi baik dimata Sang Maha. Semoga.

Wahai, engkau yang entah siapa, apakah terasa segala resahku setelah kau mebaca suratku ini? Aku harap, iya.

Kini saat kalimat ini kutulis, di bumi bagianku berpijak, malam semakin larut. Alangkah baiknya jika surat ini tak lagi ku lanjut.

Duhai, engkau yang entah siapa, terimakasih sudah membaca suratku sampai pada kalimat ini, aku harus tidur karena esok ada kewajiban yang sudah menanti, tidak elok jika aku tak segera rehat. Kini, dari sudut ruang ini, kuharap kau disana selalu sehat, tidak lalai sholat, dan selalu berusaha menjadi manusia yang bermanfaat.

Untuk seseorang yang sedari tadi kusebut "Kau", terimakasih sudah bersedia menjadi objek perayaan hari Surat Menyurat versiku.

Untuk kau, Selamat hari Surat Menyurat, Selamat malam, dan kau harus tahu, Aku rindu.

Indramayu, 10 Oktober 2016. Malam.
Nita Bonita Rahman

1 comment:

LunarV2 Share said...

Aku sedari tadi membaca curhatan ini, memang selalu ada kata Rindu pada entah siapa dan dimana.

Salam kenal.