Berjalan dua bulan sudah saya menyandang status seorang istri, dan selama itu pula rasanya menjadi orang pertama yang kamu pandang setiap pagi dan orang terakhir yang kamu lihat sebelum kamu terlelap membuat rasa syukur saya pada Tuhan tidak habis-habis, dan ucap terimakasih saya tak usai-usai.
Kadang saya berpikir, kebaikan apa sesungguhnya yang telah saya lakukan hingga Tuhan menghadiahi saya laki-laki serupa kamu? Laki-laki asing yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya akan menjadi orang pertama yang saya temui saat memulai hari, yang membangunkan tidur saya dengan mendaratkan ciuman pada kening setiap pagi.
Saya selalu ingin mendefinisi semua perasaan yang saya miliki pada kamu, tapi saya selalu merasa gagal menemukan diksi terbaik untuk mengurai rasa perihal kita berdua, kamu juga membuat saya lupa cara menulis, bersama kamu, saya lebih ingin menikmati semuanya tanpa menjelaskan apa-apa kepada siapa-siapa.
Saya pikir, menikah adalah jatuh cinta dengan serius, saling memberikan cinta dengan biasa saja, tapi ternyata jantung saya tetap berdegup gugup saat kamu genggam tangan saya pertama kali usai akad, barangkali persis rasanya seperti seorang remaja yang tidak sengaja berpapasan dengan pujaan hati di lorong kelas, tidak tahu harus berbuat apa selain tersenyum lugu.
Sebelum ditemukan oleh kamu, saya sempat membuang banyak perasaan yang saya rasa tidak -barangkali belum- terlalu penting untuk disimpan saat itu, saya mengabaikan banyak hal, seperti bagaimana rasanya menanti di jemput kencan, misalnya. Saya lupa harus apa. Maka aneh rasanya saat kamu nenulis pesan "Pukul 5 sore saya sampai rumah, kita keluar ya". Dan setelah membacanya, saya sudah bersiap diri sejak satu jam sebelum kamu tiba. Barangkali ini rasanya gugup remaja kencan pertama.
Tapi saya juga tidak akan tutupi bahwa cerita kita memang tidak selalu indah-indah saja, di minggu-minggu pertama berada di satu atap yang sama dengan kamu, dan berdua saja, rasanya serba kikuk, saya selalu ingin melakukan yang terbaik untuk kamu, tapi sayangnya saya lebih sering tidak mampu, karena memang ceroboh, selalu ada saja kekacauan yang saya lakukan, salah cara saat memijit pasta gigi, misalnya. Kamu lebih suka memijitnya dari bagian bawah agar rapih, tapi saya lebih sering lupa memijitnya sembarangan.
Menjalani hidup baru di tempat baru bersama seseorang yang baru bagi saya bukan hal yang mudah jika tanpa kepercayaan penuh, kamu jadi satu-satunya orang yang saya nanti setiap hari, menikah dengan kamu membuat saya akrab dengan perasaan-perasaan baru, seperti rasa sedih dan sepinya setiap melepas kamu bekerja setiap pagi dari balik pintu, dan bagaimana senang dan tidak sabarnya menanti kamu pulang setiap malam. Sebelum bersama kamu, saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya itu semua, bahkan membayangkanpun tidak pernah. Ditambah lagi, setiap harinya pikiran saya di penuhi pertanyaan "hari ini harus masak apa?".
Ya, barangkali benar jika para tamu undangan di pernikahan mengatakan "Selamat menempuh hidup baru", saya memang benar-benar merasakan banyak perasaan baru, kegiatan-kegiatan baru, pengalaman-pengalaman baru. Kita bisa saling kenal dan memahami satu sama lain hanya dari hal sesepele memilih perabot rumah tangga, kamu senang warna biru, sedang saya lebih dominan memilih barang dengan warna-warna mocca, tapi akhirnya kita berdua saling mengalah dengan melihat seberfungsi apa barang yang kita pilih di dalam rumah kita. Dari hal itu saya belajar, bahwa kita adalah sepasang manusia dari dua pikir yang berbeda, tapi akan saling mereda ego masing-masing demi tujuan yang sama, adalah Sakinah, hingga ke Jannah.
Karawang, bulan ke dua pernikahan.
Nita Bonita Rahman
No comments:
Post a Comment