Thursday, 19 December 2013

Berdialog dengan Ego

Hujan masih belum usai diluar sana, padahal sudah sedari maghrib tadi mereka datang, rupanya belum juga tuntas rindunya pada tanah kering. Sudah pukul 8 malam ini, wangi tanah basah masih ku nanti.

"hey, mau berapa lama kau tatap layar handphone mu?", tegur sang ego padaku yang sedari tadi sedang memandangi layar handphone. Aku tak bergeming, layar handphone ini lebih menarik untuk ku perhatikan. "Bodoh..", katanya, kesal rupanya ia ku acuhkan. aku menoleh ke arahnya sebentar. Tak ku jawab perkataanya. aku masih sibuk dengan handphone di genggaman ku. "ini sudah ke 3 kalinya, kenapa kau masih saja mencoba percaya?", aku mulai mengalihkan pandangan dari layar handphone ke arahnya setelah mendengar pertanyaannya. Sudah ke 3 kalinya. kalimat itu terdengar tidak biasa untuk telingaku.

fikirku melayang pada jaman kebodohan ku dulu, ketika masih menikmati perasaan semu, dan masih tentang orang yang sama.

"kenapa kau datang lagi?", Hujan diluar mulai reda, aku membatin bersama harum wangi tanah basah. "Sudah 3 kali, dan rasanya masih sama. menyakitkan, tapi kenapa?", aku menunduk memejamkan mata, "aku tak tahu harus apa", aku berbisik hampir tak terdengar.

"Kau bilang cinta itu tidak menyakitkan, tapi kenapa ia bisa mengeluarkan air dari mata mu?", sahut sang ego yang ternyata sedari tadi memperhatikanku. "begitulah bodohnya dirimu. coba lihat hatimu, luka itu masih menganga! dan ini bukan pertama kalinya!". dia mulai membentak.

 "Aku tahu! aku tahu! tapi aku hanya seorang wanita biasa, aku mudah luluh, kau harus tahu itu", aku terisak.
 "Aku pun tidak ingin lagi, tapi aku bingung", pipiku sudah basah ternyata.

"Hey, ingatlah ini bukan pertama kalinya, dia bisa lakukan lagi sesukanya jika kau masih tetap percaya. Ayolah ikuti saranku kali ini, jangan lagi", si Ego membujuk.

"Tapi dia bilang akan berubah, dia sudah tidak seperti dulu", aku mencoba meyangkal.
"Hahaha.. lalu kau percaya?", aku masih menunduk, "Belum sepenuhnya", kataku.

si Ego menatap wajahku sangat dekat, "ikuti aku, sudahlah. siapa peduli pada masa lalu? dia berubah? lucu sekali kamu, perubahan itu penialian orang lain bukan penilaian pribadi. jangan terlalu lemah hanya karena kenangan, ingat baik-baik kalimatku, sekali dia rusak kepercayaanmu akan mudah pula dia lakukannya lagi, terbukti kan? ini sudah ke tiga kalinya", dia menatapku lekat sambil mengacungkan jarinya mengisyaratkan angka 3 kehadapanku.

Aku benar-benar kebingungan, aku kembali memandangi layar handphoneku, membaca isi pesan didalam sana.

"Aku benar-benar sangat menyesel atas yang ku lakukan di masa lalu , izinkaku mengobati lukamu, luka yang ku buat. Aku memang benar bodoh sudah begitu saja melepasmu, maka kini aku kembali untuk tetap disampingmu, tak akan pernah ku biarkan kau tersakiti. berikan aku kesempatan lagi. Izinkan aku menjadi imam mu, jika kau beri lagi kesempatan itu, akan segera ku datangi wali mu."

Aku kembali terisak.

Kenapa harus sebingung ini? bukan kah terkadang aku mengharap dia kembali untuk mengobati luka ku? karena memang hanya dia yang miliki obat yang ku butuh, tapi.. kenapa harus sebimbang ini? apa karena ada seseorang yang baru? untuk apa pula aku membimbangkannya? toh aku hanya figuran numpang lewat yang memandangi sempurnanya, dia tidak memandang ke arah ku sama sekali, kini ada yang bersedia menerima ku dengan sempurna tapi kenapa aku bimbang sekali dalam memilih? karena masa lalu kah? Aku harus apa? haruskah ku ikuti ego ku untuk tak lagi mempercayainya? tapi.. aku bukan Tuhan yang berhak menghakimi kesalahannya. aku hanya manusia, dan aku hanya wanita mudah luluh hatinya.

Aku mencoba bertanya pada Ego, "hey Ego.. bukankah bagi seorang laki-laki berkomitmen serius itu bukan hal yang sembarangan?".

"Iya, dan mampu menyakiti 3 hati sekaligus juga bukan hal yang sembarangan". dia menjawab dengan angkuh, mencoba mengingatkanku. Aku tak bisa lagi menjawab. Aku tenggelam dalam kebingungan.

"Maaf, aku belum bisa memutuskan".

Pesan terkirim.

*created by: @ninitatabon

No comments: