Bismillah..
Coretan kali ini saya sedang tidak
ingin menulis soal cerita-cerita atau sajak-sajak absurd yang sering saya
posting, kali ini saya ingin berbagi tentang sebuah perjuangan yang hingga
detik ini masih saya lakukan. Ini tentang sebuah kewajiban dan ketakutan akan
sebuah “Tanggung Jawab”, ini tentang
titah Tuhan. Tentang saya yang memutuskan mensyar’i kan pakaian yang saya
kenakan.
Iya, sekarang saya mencoba memantapkan
diri menggunakan pakaian syar’i untuk akhwat sesuai tuntunan al-qur’an. Ini
bukan hal mudah, banyak hal yang saya hadapi sebelum dan sesudah memantapakan
diri dengan pakaian ini, tentang bagaimana mengahadapi ujian dan pujian, maka disinilah
saya akan menuliskannya, walau sayapun masih terbilang “anak baru” tapi saya
berharap dapat memotivasi ukhti-ukhti yang sedang sama berjuangnya dengan saya.
Karena kebaikan sudah sepantasnya diperjuangkan, dan ujian selalu datang untuk
orang yang beriman. Semoga bermanfaat.
Sebelumnya yang perlu pembaca tahu
bahwa saya dilahirkan disebuah keluarga yang tidak berbasic pesantren atau
orang sebut “awam”, memandang kerudung bukan kewajiban namun sebuah pakaian
yang digunakan sepantasnya saja. Keluarga saya bisa dibilang keluarga yang
mengerti agama, hanya saja soal kerudung mereka masih menganggap “biasa”.
Definisi biasa disini adalah kerudung memang harus dikenakan, tapi hanya ketika
kita keluar rumah, pergi ke suatu acara atau pergi dalam suatu kegiatan, namun
saat dilingkungan rumah bersama tetangga dan lain sebagainya yang berkenaan
dengan lingkungan rumah kerudung dipandang tidak begitu penting untuk
dikenakan.
Hidup dalam latar belakang yang
demikian mau tidak mau saya akan mengikuti cara pikir keluarga, karena
disanalah tempat saya dibesarkan dan diajarkan bagaimana caranya berinteraksi
dengan orang banyak, tempat pertama kali saya menerima pendidikan, tempat
kembali paling nyaman saat kaki ini mulai lelah berjalan.
Tentang
kerudung saya..
Dulu, sebelum sampai dititik ini saya
sudah memutuskan untuk mengenakan kerudung kemanapun saya pergi, kecuali
dilingkungan dekat rumah (seperti yang sudah saya jelaskan). Tepatnya saya
masih duduk dibangku SMP saat itu, kota dimana saya tinggal mewajibkan siswa
perempuan mengenakan kerudung saat sekolah,dan hal itu menjadi kebiasaan untuk
saya saat diluar lingkungan sekolah, saat kerumah teman untuk mengerjakan tugas
saya pun mengenakan kerudung. Tapi, dulu kerudung masih belum terpikir wajib
untuk saya. Masih lepas pakai kerudung saya saat itu (seperti yang sudah saya
jelaskan juga).
Beranjak SMA, saya masih mengenakan
kerudung, tapi intensitas lepasnya lebih sering, karena faktor pengaruh
teman-teman yang memang seusia itu sedang “ganjen-ganjennya”,
dan menelan mentah-mentah apapun yang dilihat di televisi, dari model rambut
hingga model pakaian. Tapi, untungnya saya hanya seorang anak yang kuper jadi
tidak terlalu peduli dengan kemajuan fashion saat itu, saya juga tidak bisa
dandan, saya hanya mengikuti teman-teman yang terlihat menarik ketika tidak
mengenakan kerudung, “ngga usah pake kerudung ah, deket ini”, begitulah pikir
saya waktu itu. Itu semua berjalan sedari saya duduk dibangku kelas 10, hingga
menaiki kelas 11 semester 2.
Singkat cerita, saya sudah duduk
dibangku kelas 12 atau kelas 3 SMA, ada perasaaan yang membuat saya merasa
tidak nyaman saat tidak mengenakan kerudung sekalipun hanya dilingkungan dekat
rumah, ada kerisihan tersendiri ketika saya melihat perempuan tidak menggunakan
kerudung, ada perasaan lain, tidak seperti dulu. Saya kemudian mencari
penjelasan soal kerisihan yang saya rasakan, saya banyak membaca artikel soal
hijab untuk wanita muslim, karena fitrah manusia adalah senang pada kebaikan
maka artikel atau tulisan yang saya baca seakan mengajak saya untuk lebih
memahami bahwa seorang wanita muslimah memang seharusnya berkerudung, dan tidak
memperlihatkan aurat dihadapan nonmahrom.
Singkatnya, saya mulai menemukan
jawaban dari kerisihan saya, bahwa menampakan aurat dihadapan laki-laki yang
bukan muhrim sekalipun tetangga dan bahkan sepupu sendiripun itu bukan budaya
agama saya. Entah kenapa dikelas 3 SMA hati saya semakin mantap dengan kerudung
walaupun belum syar’i, masih menggunakan celana jeans, baju lengan panjang dan
dipadu dengan kerudung biasa, tetapi niat saya begitu kuat untuk tidak melepas
kerudung dihadapan bukan mahrom, perasaan sayapun semakin tidak enak jika
melihat kawan yang tidak berkerudung, saya memang tidak miliki ilmu apapun,
pemahaman saya masih dangkal, tetapi jika sudah berurusan dengan kerudung
selalu ada perasaan lain, sempat pada satu moment saya memarahi salah satu
teman laki-laki yang tengah bercanda dengan sahabat saya, itu bukan hal aneh,
tapi saat itu bercandaan mereka sudah tidak wajar, tiba-tiba teman laki-laki
saya memaksa membuka kerudung sahabat saya, saya yang sedari mereka bercanda
hanya diam saja entah kenapa merasa risih dengan ulah si teman laki-laki itu,
dan entah pula ada kekuatan dari mana saya tiba-tiba saja membentak dan
memarah-marahi teman laki-laki saya tersebut hingga seisi ruangan kelas diam
melihat kemarahan saya. Saya marah karena ketidak sopanannya membuka kerudung
sahabat saya. saya pikir itu sangat-sangat tidak sopan, bolehlah bercanda asal
tidak bermain dengan fisik, terlebih dia laki-laki dan lawan bercandany adalah
seorang perempuan, saya pikir itu benar-benar tidak bisa dibiarkan. Tapi
tenang, kemarahan saya tidak berlangsung lama semua baik-baik saja setelah si
teman yang saya marahi itu meminta maaf satu hari kemudian karena dia merasa
bersalah, sebenarnya harusnya saya yang meminta maaf karena tidak bisa menahan
nafsu, yaa mungkin karena sudah terlalu risih.
Begitulah awalnya saya mengakrabkan
diri dengan kerudung, dari hanya sebuah perasaan hingga menjadi hal yang tidak
biasa. setahap demi setahap.
Mungkin
cukup sebagian dulu yang saya tuliskan, tulisan perjuangan saya belum usai,
sisanya akan saya posting secepatnya.
mudah-mudahan
ada pelajaran yang bermanfaat dari yang saya tulis ^^
No comments:
Post a Comment