Monday, 3 February 2014

Tentang Sebuah Perjuangan ( bagian 1 )



Bismillah..

Coretan kali ini saya sedang tidak ingin menulis soal cerita-cerita atau sajak-sajak absurd yang sering saya posting, kali ini saya ingin berbagi tentang sebuah perjuangan yang hingga detik ini masih saya lakukan. Ini tentang sebuah kewajiban dan ketakutan akan sebuah “Tanggung Jawab”, ini tentang titah Tuhan. Tentang saya yang memutuskan mensyar’i kan pakaian yang saya kenakan.

Iya, sekarang saya mencoba memantapkan diri menggunakan pakaian syar’i untuk akhwat sesuai tuntunan al-qur’an. Ini bukan hal mudah, banyak hal yang saya hadapi sebelum dan sesudah memantapakan diri dengan pakaian ini, tentang bagaimana mengahadapi ujian dan pujian, maka disinilah saya akan menuliskannya, walau sayapun masih terbilang “anak baru” tapi saya berharap dapat memotivasi ukhti-ukhti yang sedang sama berjuangnya dengan saya. Karena kebaikan sudah sepantasnya diperjuangkan, dan ujian selalu datang untuk orang yang beriman. Semoga bermanfaat.

Sebelumnya yang perlu pembaca tahu bahwa saya dilahirkan disebuah keluarga yang tidak berbasic pesantren atau orang sebut “awam”, memandang kerudung bukan kewajiban namun sebuah pakaian yang digunakan sepantasnya saja. Keluarga saya bisa dibilang keluarga yang mengerti agama, hanya saja soal kerudung mereka masih menganggap “biasa”. Definisi biasa disini adalah kerudung memang harus dikenakan, tapi hanya ketika kita keluar rumah, pergi ke suatu acara atau pergi dalam suatu kegiatan, namun saat dilingkungan rumah bersama tetangga dan lain sebagainya yang berkenaan dengan lingkungan rumah kerudung dipandang tidak begitu penting untuk dikenakan.

Hidup dalam latar belakang yang demikian mau tidak mau saya akan mengikuti cara pikir keluarga, karena disanalah tempat saya dibesarkan dan diajarkan bagaimana caranya berinteraksi dengan orang banyak, tempat pertama kali saya menerima pendidikan, tempat kembali paling nyaman saat kaki ini mulai lelah berjalan.

Tentang kerudung saya..

Dulu, sebelum sampai dititik ini saya sudah memutuskan untuk mengenakan kerudung kemanapun saya pergi, kecuali dilingkungan dekat rumah (seperti yang sudah saya jelaskan). Tepatnya saya masih duduk dibangku SMP saat itu, kota dimana saya tinggal mewajibkan siswa perempuan mengenakan kerudung saat sekolah,dan hal itu menjadi kebiasaan untuk saya saat diluar lingkungan sekolah, saat kerumah teman untuk mengerjakan tugas saya pun mengenakan kerudung. Tapi, dulu kerudung masih belum terpikir wajib untuk saya. Masih lepas pakai kerudung saya saat itu (seperti yang sudah saya jelaskan juga).

Beranjak SMA, saya masih mengenakan kerudung, tapi intensitas lepasnya lebih sering, karena faktor pengaruh teman-teman yang memang seusia itu sedang “ganjen-ganjennya”, dan menelan mentah-mentah apapun yang dilihat di televisi, dari model rambut hingga model pakaian. Tapi, untungnya saya hanya seorang anak yang kuper jadi tidak terlalu peduli dengan kemajuan fashion saat itu, saya juga tidak bisa dandan, saya hanya mengikuti teman-teman yang terlihat menarik ketika tidak mengenakan kerudung, “ngga usah pake kerudung ah, deket ini”, begitulah pikir saya waktu itu. Itu semua berjalan sedari saya duduk dibangku kelas 10, hingga menaiki kelas 11 semester 2.

Singkat cerita, saya sudah duduk dibangku kelas 12 atau kelas 3 SMA, ada perasaaan yang membuat saya merasa tidak nyaman saat tidak mengenakan kerudung sekalipun hanya dilingkungan dekat rumah, ada kerisihan tersendiri ketika saya melihat perempuan tidak menggunakan kerudung, ada perasaan lain, tidak seperti dulu. Saya kemudian mencari penjelasan soal kerisihan yang saya rasakan, saya banyak membaca artikel soal hijab untuk wanita muslim, karena fitrah manusia adalah senang pada kebaikan maka artikel atau tulisan yang saya baca seakan mengajak saya untuk lebih memahami bahwa seorang wanita muslimah memang seharusnya berkerudung, dan tidak memperlihatkan aurat dihadapan nonmahrom.

Singkatnya, saya mulai menemukan jawaban dari kerisihan saya, bahwa menampakan aurat dihadapan laki-laki yang bukan muhrim sekalipun tetangga dan bahkan sepupu sendiripun itu bukan budaya agama saya. Entah kenapa dikelas 3 SMA hati saya semakin mantap dengan kerudung walaupun belum syar’i, masih menggunakan celana jeans, baju lengan panjang dan dipadu dengan kerudung biasa, tetapi niat saya begitu kuat untuk tidak melepas kerudung dihadapan bukan mahrom, perasaan sayapun semakin tidak enak jika melihat kawan yang tidak berkerudung, saya memang tidak miliki ilmu apapun, pemahaman saya masih dangkal, tetapi jika sudah berurusan dengan kerudung selalu ada perasaan lain, sempat pada satu moment saya memarahi salah satu teman laki-laki yang tengah bercanda dengan sahabat saya, itu bukan hal aneh, tapi saat itu bercandaan mereka sudah tidak wajar, tiba-tiba teman laki-laki saya memaksa membuka kerudung sahabat saya, saya yang sedari mereka bercanda hanya diam saja entah kenapa merasa risih dengan ulah si teman laki-laki itu, dan entah pula ada kekuatan dari mana saya tiba-tiba saja membentak dan memarah-marahi teman laki-laki saya tersebut hingga seisi ruangan kelas diam melihat kemarahan saya. Saya marah karena ketidak sopanannya membuka kerudung sahabat saya. saya pikir itu sangat-sangat tidak sopan, bolehlah bercanda asal tidak bermain dengan fisik, terlebih dia laki-laki dan lawan bercandany adalah seorang perempuan, saya pikir itu benar-benar tidak bisa dibiarkan. Tapi tenang, kemarahan saya tidak berlangsung lama semua baik-baik saja setelah si teman yang saya marahi itu meminta maaf satu hari kemudian karena dia merasa bersalah, sebenarnya harusnya saya yang meminta maaf karena tidak bisa menahan nafsu, yaa mungkin karena sudah terlalu risih. 

Begitulah awalnya saya mengakrabkan diri dengan kerudung, dari hanya sebuah perasaan hingga menjadi hal yang tidak biasa. setahap demi setahap.
 
Mungkin cukup sebagian dulu yang saya tuliskan, tulisan perjuangan saya belum usai, sisanya akan saya posting secepatnya.

mudah-mudahan ada pelajaran yang bermanfaat dari yang saya tulis ^^

No comments: