Monday, 22 December 2014

Pesawat Impian Kiclik

   Kaki-kaki mungil berlari dengan telanjang kaki dijalanan desa tak beraspal yang ditumbuhi rumput alang-alang liar dikanan kirinya, mereka berlari dengan terus mendongak ke atas sambil berteriak riang memanggil burung besi yang melintas diatas awan, tak peduli terik matahari juga kerikil yang menusuk kaki, suara sengau bersahutan beradu satu sama lain mencoba menyeru paling keras walaupun yang dipanggil tetap melaju dengan gagah, hanya meninggalkan garis bekas lajunya diawan, namun mereka tidak peduli, mereka tetap merasa riang, begitulah masa anak-anak, bagaimanapun keadaannya mereka hanya melakukan apa yang membuat mereka bahagia. Pesawat terus melaju membawa kaum elit yang sedang menikmati perjalanan dengan dilayani pramugari cantik nan jelita didalamnya, kaum yang bahkan pedulipun tidak pada teriakan-teriakan dibawahnya. Kiclik, si bocah berbadan kurus berlari paling depan memimpin teman-temannya, dia berlari bak komandan membawa prajurit, “Pesawaaat... Pesawaaat...” hingga yang dipanggil-panggil hilang tertutup awan, bahagia sekali raut muka mereka, terlebih Kiclik.. sering dia bercerita pada teman-temannya jika sudah besar nanti dia ingin menjadi pilot, begitupun saat gurunya menanyakan soal cita-cita, Kiclik akan berdiri dengan yakin dan menjawab “Saya ingin menjadi pilot, bu!”.

   Begitulah Kiclik dan obsesinya terhadap pesawat, dia amat ingin mengemudi burung besi itu, selain terkagum dengan kehebatan pesawat yang dia tahu, sesungguhnya ada alasan lain mengapa dia ingin menjadi pilot. Alasan manis dari anak seusianya, dia belum memahami cita-citanya akan sesulit apa untuk diraih, dia hanya tahu dia memiliki cita-cita dan dia sangat ingin mewujudkannya. Pesawat mulai hilang tertutup awan, Kiclik dan pasukannya menghentikan lari mereka, merelakan sang gagah terbang melanjutkan perjalannya.

   “Assalamualaikum..” Kiclik membuka pintu rumah dengan nafas tersengal.

   “Wa’alaikumsalam, dari mana nang? Capek sekali rupanya..” Panggilan nang adalah panggilan untuk anak laki-laki kecil didaerah Kiclik tinggal. Perempuan berumur senja menyambutnya. Dia adalah Mih Asih, nenek yang akrab Kiclik panggil “Mimih”. Kiclik tinggal bersama nenek, kedua kakak dan juga ayahnya dirumah kecil berdinding anyaman bambu disebuah desa diujung barat Indramayu.
           
   “Tadi aku mengejar pesawat bersama teman-teman Mih, pesawat itu terbang tinggi sampai menembus awan..” Kiclik bercerita dengan penuh antusias, matanya membulat menampakkan kekaguman.

   “Makan dulu nang, sudah siang. Lalu istirahat, jangan lupa jam 3 kamu harus berangkat mengaji ke madrasah..” Mimih tersenyum, sedikit menahan getir mendengar alasan mengapa Kiclik pulang dengan tersengal, mimih sangat hafal jika Kiclik sudah melihat pesawat maka dia akan terus bercerita, mimih tidak bosan, justru mimih bahagia cucunya pandai berbicara, senang bercerita dan amat riang, namun mimih sedih jika mendengar Kiclik bercerita tentang cita-citanya yang pasti sepaket dengan alasannya. Dari pada hanyut dalam sendu mimih lebih memilih megganti topik, berharap Kiclik berganti fokus, namun sayang segala hal tentang pesawat yang Kiclik tahu sudah terlanjur menempel tak bisa lepas dari angannya.

   “Pesawat itu besar sekali mih, lebih besar dari yang aku lihat saat pulang sekolah kemarin! Nanti saat menjemput ibu aku ingin memakai pesawat sebesar itu agar ibu bisa duduk santai dan nyaman didalamnya, agar ibu tidak kelelahan..” Benar saja, bagaimanapun mimih mencoba mengalihkan pembicaraan Kiclik tetap menyerocos,  kemudian menenggak  segelas air setelah menyelesaikan ceritanya, dia berucap amat yakin seakan esok rencana itu pasti terjadi, dia sangat semangat hingga air yang diminum menumpahi bajunya.

   “Pelan-pelan clik, nanti kamu tersedak..”

   “Pokoknya aku harus jadi pilot!” Kiclik berlarian dengan membentangkan tangan berimajinasi layaknya pesawat, mimih menunduk sedih dengan tangannya tidak berhenti membungkus keripik yang akan dijajakan dipasar esok hari.

   “Aamiin..” Mih Asih berucap lirih hampir tak terdengar. Mata senjanya berkaca-kaca, terasa sedih hatinya karena setiap mendengar cita-cita Kiclik mengingatkan pada Sumarni, ibu Kiclik yang tak lagi ada kabar beritanya, kabar terakhir yang datang langsung darinya adalah saat Kiclik berumur 5 tahun. Saat itu Sumarni mengabarkan belum juga bisa pulang.

   Kiclik adalah anak seorang TKW yang bekerja diluar negeri, 6 tahun sudah dia berpisah dengan sang ibu. Ibunya meninggalkan Kiclik sejak dia berusia 3 tahun, hingga kini dia duduk dibangku kelas 4 SD ibunya tak kunjung pulang. Tidak ada orang yang ingin terpisah jauh dari keluarga, jangankan berbeda negara, berbeda kotapun rasanya tak kuasa jika rindu datang melanda, tapi apalah daya jika faktor ekonomi adalah alasan utama, toh untuk kebahagiaan keluarga juga. Kiclik adalah bungsu dari 5 bersaudara, kakak pertamanya sudah berkeluarga dan hidup didesa sebelah, kakak keduanya meninggal dunia menderita penyakit langka, kedua kakak lainnya seharusnya masih duduk dibangku SMA namun mereka memutuskan untuk berhenti sekolah karena kurangnya biaya, salah satunya memilih untuk bekerja menjadi buruh kasar dipasar, sedang kakak terakhirnya menjadi kuli cuci dirumah tetangga. Mereka hidup sangat sederhana, bahkan cenderung susah.

   Tidak terpikir sebelumnya dibenak Mih Asih harus terpisah jarak yang begitu jauh dengan anak yang dicintainya, awalnya Sumarnipun tak berniat menjadi TKW, namun ekonomi keluarga yang sangat menghimpit dengan tanggungan yang banyak dan suami yang hanya pedagang asongan dengan penghasilan tidak menentu membuatnya berani mengambil keputusan, 6 tahun lalu dia mendengar berita bahwa temannya setelah pulang dari negeri orang hanya dalam 2 tahun mampu membeli sawah, bahkan berhaji, dari situ Sumarni tertarik untuk mengikuti jejak temannya, namun rezeki setiap manusia berbeda-beda, Sumarni tidak seberuntung temannya, perjanjian kontrak kerja hanya 2 tahun namun nasib berkata lain, hingga kontrak kerja berakhir Sumarni tak juga pulang karena majikannya menahannya dengan berbagai alasan, katanya Sumarni tercatat sebagai TKW ilegal dan dokumen-dokumen yang dia miliki tidak sah dan dokumen itupun ditahan sang majikan, disana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan, sempat ia mencoba kabur namun malang, majikannya mengetahui, disiksalah ia, diperlakukan selayak binatang. Selama bekerja Sumarni hanya mengirim uang sebanyak 6 kali, itupun tidak memperbaiki ekonomi keluarga sama sekali, setelahnya jangankan uang, kabarpun tak ada lagi. Sejak mengerti bahwa ibunya tidak kunjung pulang Kiclik selalu mendengungkan impiannya bahwa dia ingin menjadi pilot, mampu menerbangkan pesawat agar dapat menjemput ibunya, membawanya pulang kembali berkumpul bersama keluarga, biar susah asal bersama.

   “Mimih jangan sedih, nanti aku akan ajak mimih..” Kiclik merangkul neneknya dari belakang.

   “Iya iya.. makanlah dulu, agar tak sakit, pilot kan harus sehat..” Mimih mengelus lembut rambut Kiclik, tanpa menunggu lama Kiclik menuju dapur dengan semangat.

Mih Asih memasuki kamarnya, meraih kotak kayu dibawah kolong tempat tidur, dipegangnya sebuah guntingan koran dengan judul “TKW Tewas Tanpa Identitas”. Ia menangis dalam diam, tak ingin Kiclik mendengar, tak ingin ia menghancurkan angan-angan cucu tercintanya bahwa berita itu tentang ibunya.


created by: @ninitatabon

Wednesday, 17 December 2014

Sureprise di 2014!

   Dalam hitungan kurang lebih 2 minggu lagi tahun 2014 akan segera berakhir, sudah siapkah melepas tahun 2014 dengan berbagai kenangannya? Dan hey.. masih ingatkah resolusi-resolusi yang kita rencanakan diawal tahun 2014 kemarin? Tercapaikah? Ah, saya sendiri sebenarnya bukan orang yang suka membuat resolusi disetiap awal tahun, saya belum berani menargetkan sesuatu, saya lebih memilih membiarkan semuanya mengalir, membiarkan semuanya berjalan sesuai ketetapan-Nya dengan  tak lepas untuk berusaha agar setiap harinya menjalani hidup yang Tuhan beri hari ini tidak sama seperti hari-hari kemarin. Itu saja..

   Jadi, tahun 2014 adalah tahun kedua saya menjalani hidup sebagai seorang yang bukan lagi “anak berseragam”, dan tahun pertama saya dipanggil “ibu” oleh kurang lebih 270 siswa berseragam putih merah yang sikap lugunya mudah membuat saya rindu, dan kadang juga menjengkelkan tapi tetap lucu, bukan.. saya bukan guru, saya hanya staff honorer disalah satu SD negeri didekat rumah saya tinggal, nanti saya ceritakan selengkapnya yah, tapi tidak sekarang hehe, karena untuk sekarang ada hal lain yang ingin saya bahas, ini soal bagaimana senangnya mendapatkan sesuatu yang tidak diduga ditahun 2014 ini, yay! ^^v.

    Kalian pernah melakukan sesuatu atas dasar suka saja? atau jelasnya adalah melakukan sesuatu tanpa sedikitpun berniat untuk mendapatkan bonus atau imbalan? pernah? setelah melakukan hal itu, tapi.. ternyata ada sesuatu yang kalian dapatkan jauh dari yang kalian bayangkan? pernahkah? NAH itu dia! ditahun 2014 ini saya merasakannya, Sureprise!! ^^

   Sejak lulus dari bangku SMA saya jadi keranjingan baca buku, entah itu komik ataupun cerpen, tapi terutama yang saya gilai adalah novel, ditambah lagi selepas dari SMA saya jadi mudah menggalau, sampai-sampai teman-teman menyebut saya Mrs. Galau, -julukan paling nggak banget sepanjang umur saya sejauh ini-, bagaimana tidak? saya merasa "kaget" dengan hidup yang harus berubah drastis dari seorang pelajar menjadi seorang yang entah akan melangkahkan kaki kemana selepas lulus SMA (antara kerja atau kuliah? tapi akhirnya 22nya saya lakoni hihi), belum lagi ada konflik soal hati yang... (emm tidak perlu dibahas hehe), dilatar belakangi semua itu dan dengan modal perbendaharaan kata yang seadanya saya menuangkan semua kegalauan saya dengan nekad sok-sok'an mencoba untuk menulis, entah itu di note facebook ataupun diblog ini, tapi diluar dugaan ternyata alhamdulillah banyak teman yang mungkin se-perasaan dengan saya atau mungkin juga mereka hilaf  (hahaha) mengatakan bahwa tulisan saya mengena untuk mereka, dan mereka suka, jadi atas dasar alasan itu pula sekarang setelah senang membaca saya jadi suka menulis, yang kata orang ini adalah efek dari suka membaca, benarkah? Entahlah ini disebut efek, iseng atau apa tapi yang jelas setelah menulis saya selalu merasa lebih lega dan merdeka, kenapa ya?

Nah, setelah 1 tahun bergelut dengan ke isengan -yang selalu membuahkan ketenangan setelahnya- itu saya mulai tertarik menantang diri saya untuk tidak hanya menulis tentang curhatan-curhatan galau tapi juga mampu menulis cerita fiksi, sebelumnya selama masih menjadi anak berseragam dulu jika pada pelajaran Bahasa Indonesia ada materi mengarang rasanya saya berat sekali mengerjakannya, selalu buntu, tapi entah kenapa setelah mencoba masuk ke "dunia" ini justru saya ingin mengerjakannya tanpa disuruh, yaa everybody changing yah kawan-kawan haha.

   Keinginan saya itu berawal dari mengikuti akun @nulisbuku di twitter yang merupakan sebuah media online self-publishing, tempatnya orang-orang yang bermimpi menjadi penulis bisa dengan mudah mewujudkannya, dan tempat menerbitkan buku tanpa perlu merasakan pahitnya penolakan saat menerbitkannya, baik banget kan merekaaa? setiap Rabu malam mereka mengadakan event  #FF2in1 dimana peserta diminta untuk menulis sebuah cerita flash fiction di note facebook atau blog lalu mengirim linknya dengan cara mention akun twitter @nulisbuku , peserta menulis cerita dengan tema yang telah disediakan, biasanya tema itu berbentuk lagu atau puisi, mungkin ini terlihat biasa, tapi bagaimana jika yang diminta adalah  membuat 2 buah cerita fiksi mini dalam 1 jam?!! yang berarti 1 cerita adalah 30 menit! wow! DAN setiap minggunya event itu SELALU dibanjiri peserta yang SELALU mampu menulis 2 cerita dalam 1 jam! huuuuuw kebayang nggak tuh gimana keren dan kreatifnya peserta-peserta yang ikut? (menurut saya sih nggak keren, tapi KEREN BANGET! *capslok jebol*), bahkan ada yang bisa menyelesaikan 1 ceritanya dalam 10 menit, (Lah? saya? butuh waktu berjam-jam untuk menulis, padahal hanya menulis nonfiksi haha) Nah.. dari karya-karya mereka yang saya baca melalui link yang dishare oleh adminnya itu saya semakin tertarik untuk menuliskan cerita-cerita hayalan (biasanya selalu diselipi curhatan sih hahahaha tetep -_-), dan dari event itu juga saya bertemu dan berkenalan dengan teman-teman yang hebat :)

   Singkat cerita (yang padahal nggak ada singkat-singkatnya dari tadi haha) setelah mulai sedikit berani sok-sok'an nulis fiksi, saya juga jadi sedikit berani untuk ikut-ikut event, berawal dari saya baca note salah satu temen di media sosial yang isinya tentang info event menulis diawal Februari 2014 lalu yang diadakan oleh salah satu penerbit indie yaitu Penerbit Harfeey saya iseng-iseng mengadu peruntungan dengan mengikuti persyaratan yang ada di dalam note dan kirim naskah. IYA kirim naskah, itu berarti awal saya ikut event menulis untuk pertama kalinya ^^
saat itu event perdana yang saya ikuti mengharuskan saya membuat sebuah flash fiction story bertema "Kopi", dan menurut info yang saya baca rencananya naskah-naskah yang lolos akan dimuat dalam buku kumpulan cerpen, tanpa pikir panjang saya mulai menulis dan mengirim sebelum deadline batas pengiriman berakhir, hey.. ternyata senang yah melihat nama kita tertera didaftar peserta yang sudah kirim naskah,  padahal hanya sekedar "sudah mengirim", niat saya saat itu hanya sekedar ikut berpartisipasi dan asah kemampuan saja, saya tidak berharap banyak, karena saya yakin karya peserta lain pasti lebih baik dari yang saya buat, jadi yaa sudah.. tidak berharap banyak :")

Dan, kawan.. tahukah? saat itu saya tidak begitu memperdulikan kapan pengumuman naskah yang lolos untuk dibukukan itu akan diumumkan, tapi seingat saya 2 minggu setelah deadline event berakhir saat itu ketika saya membuka akun facebook, Penerbit Harfeey men-tag (menyebut) akun saya dalam kiriman notenya, penasaran, saya buka, saya baca perlahan, dan........ Aw! ternyata tulisan saya LOLOS untuk dibukukan!!Dan dengan pertimbangan urutan abjad awal judul naskah, maka tulisan saya dimuat di jilid ke 5! Waw..!! senangnyaaaa, berawal dari hanya mencoba peruntungan dan tidak berharap banyak ternyata saya terpilih sebagai kontributor penulis. Yipiiiiy ^_^ dan ini dia penampakan cover Buku Kumpulan Cerpen "Kopi Bercerita jilid 5" yang diterbitkan oleh Penerbit Harfeey:


Genre: Kumcer
Penulis: Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout: Boneka Lilin
Design Cover: Bolin
Penerbit: Harfeey
ISBN: 978-602-1200-36-0
Tebal: 165 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga: Rp. 40.000,-


Dan saya bersyukur banyak yang mengapresiasi tulisan saya dengan membeli buku ini ^^

   Setelah euforia kebahagiaan lolos event menulis perdana, saya mulai tertarik untuk ikut event lagi dan lagi, hehe ketagihan. Dari pertengahan tahun 2014 ada beberapa  event yang saya ikuti lagi hingga bulan November kemarin, diantaranya masih event dari Penerbit Harfeey dengan tema "Hujan", dan yang lainnya adalah event perdana dari Penerbit Ellunar dibulan November dengan tema "Bulan", perasaan saya setiap mengikuti event menulis selalu sama, deg-degan, dan tidak berani berharap banyak, hanya berharap yang terbaik, yaa syukur-syukur sih juara :D dan Alhamdulillah dari beberapa event yang saya ikuti (lagi) saya LOLOS menjadi kontributor penulis lagi, Sureprise!! ^_^

Event yang bertemakan Hujan dari Penerbit Harfeey menjadikan saya kontributor penulis di buku Antologi "Hujan Bercerita" dan dimuat dijilid 3, event perdana yang diadakan oleh Penerbit Ellunar menjadikan saya kontributor penulis di Antologi cerpen berjudul "Beneat The Same Moon" Volume 2.

ini penampakan cover Antologi Cerpen "Hujan Bercerita" yang diterbitkan oleh Penerbit Harfeey


Genre: Kumcer Nonfiksi Inspiratif
Penulis: Bonek Lilin et Boliners
Editor & Layout: Ary Harfeey
Penerbit: Harfeey
ISBN: 978-602-1200-97-1
Tebal: 210 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga: Rp. 44.000,-

Ini penampakan cover buku "Beneath The Same Moon" Vol. 2 yang diterbitkan oleh Penerbit Ellunar


Penulis: Johar Dwiaji Putra, dkk
Penerbit: Ellunar
Jumlah Halaman: 166 Hlm
ISBN: 978-602-71825-6-1
Harga: Rp. 40.000,-


Bagi saya, event perdana dari penerbit Ellunar dan terpilihnya lagi saya menjadi kontributor penulis adalah  menjadi penutup akhir tahun 2014 saya yang manis ^^, dan demikianlah Sureprise yang saya dapatkan di tahun 2014 yang sudah hampir habis ini, berawal dari hanya mencoba dan ingin menantang diri ternyata mendapatkan bonus dari Allah diluar dugaan, memang ketetapan Allah selalu indah yah kawan ^_^, walau hanya sebagai penulis kontributor dan belum berhasil menjadi juara tapi saya cukup bangga karena dari hal itu saja dalam waktu yang sebenarnya kurang dari 1 tahun ini saya sudah berkontributor di 3 buku sekaligus, Alhamdulillah ^_^ saya akan menjadikan ini sebagai acuan untuk terus berkarya dan semakin kreatif agar terus mampu menulis karya yang lebih baik lagi, siapa tahu kelak bukan hanya cerpen tapi saya mampu membuat sebuah novel. Aamiin ^_^

Terimakasih yah kawan-kawan atas segala apresiasinya, terimakasih untuk kalian yang rela menyisihkan uang jajan untuk membeli buku-buku ini, semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan uang jajan yang dilipat gandakan lagi agar bisa membeli buku saya yang lain haha Aamiin :D
Dan saya juga belum berterimakasih kepada kalian yang Istiqomah dalam ngepoin blog saya ini hihi :D terimakasih sudah setia berkunjung, mengapresiasi kegalauan dan ke-entahan saya ini. Terimakasih banyak yah teman-teman. Kini tahun 2014 akan segera berakhir, setiap hari yang Allah beri harus menjadikan kita pribadi yanag lebih baik lagi, semoga bukan hanya tahun saja yang baru tapi semangat dan cara berpikir kita menjadi lebih baik lagi. Saya jadi tidak sabar dan penasaran ada kejutan apa lagi yah di 2015 nanti? Semoga lebih baik! Aamiin ^^v

Eh, ngomong-ngomong, saya mohon maaf sebelumnya jika ada yang tidak berkenan dengan postingan saya ini dan merasa ini terlalu berlebihan, saya hanya sedang belajar untuk menghargai diri saya sendiri, karena bukankah jika kita ingin dihargai orang lain harus mampu menghargai diri kita sendiri terlebih dahulu? begitupun sebaliknya? dan saya menulis ini untuk menjadikan motivasi bagi saya pribadi bahwa saya mampu mengalahkan keraguan dan sikap pesimis yang selama ini "nongkrong" di badan mungil saya ini, terimakasih untuk kalian yang sudah menyempatkan waktunya demi membaca postingan saya kali ini, semoga ada pelajaran yang bisa didapat yah ^^v

Created by: @ninitatabon

Monday, 15 December 2014

Jembatan Kaca (Pertaruhan Kepercayaan)

   "Rasa percaya itu layaknya sebuah kaca, jika sudah pecah berantakan, dengan usaha sebagus apapun tak akan lagi bisa kembali utuh", dia mengingatkanku. Aku mengangguk tanda sepakat.

"Namun aku bukan Tuhan", ujarku padanya.

   "Kau hanya harus memaafkannya, bukan mempercayainya lagi!", nada bicaranya meninggi.
Aku menunduk, tak berani melihat sorot kemarahannya, aku mengalihkan pandangan pada jari-jari kakiku, meyembunyikan raut ketakutanku.

   "Tak usah berpura-pura baik hati bagai malaikat, menyusun alasan untuk membenarkan semua yang kau lakukan", dia merendahkan lagi suaranya. "Aku tahu kau orang baik, tapi kau bukan orang bodoh", lanjutnya. "Kau hanya belum bisa berpaling dari segala hal dimasalalumu, kau menikmati lukamu". Aku hanya bisa diam. Sesaat aku dan dia ada dalam keheningan.

Kemudian aku melihat melalui ekor mataku, aku menyadari bahwa dia mulai melangkahkan kakiknya, aku buru-buru mengangkat kepalaku. "Tunggu..", lirihku. Dia menengok ke arahku, "Tetaplah disini, dampingi aku", kataku dengan raut muka sayu.

   "Yang kau butuh bukan aku, tapi hati yang tak mudah lagi dibodohi. Aku hanya ambisimu yang memang tak seharunya kau pedulikan", ucapnya penuh penekanan, menyakitkan untukku.

   "Aku hanya ingin menyembukan sakitku. Ku mohon, tetap dampingi aku, sekeras apapun kau, aku tetap  butuh", aku memohon.

   "Melangkahlah, aku tak bisa.. namun aku yakin kelak saat kau tengah menyusuri jembatan ini kau akan sadar bahwa kau telah mempertaruhkan kepercayaan pada dia yang pernah mempermainkanya", ucapnya dengan tatapan tak peduli, dia membalikan badan melanjutkan langkahnya. perlahan menjauhiku, aku hanya mampu menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan sendu. "Oh ambisiku.."

***

   Aku berada didepan sebuah jembatan kaca panjang, dibawahnya adalah jurang yang jika aku jatuh maka kegelapannya akan membuat tak seorangpun akan menemukanku. Jatuh, hilang, tak bisa ditemukan, jikapun ditemukan mungkin hanya seperkecil bagian tubuhku, mungkin hanya satu bola mataku, atau salah satu dari kesepuluh jari-jariku, dan itupun dengan kemungkinan yang amat kecil. Jurang yang mengerikan.

Kaca, untuk menahan setengah berat tubuhku saja dia terlalu rapuh, maka bisakah kau bayangkan bagaimana jika dia menahan seluruh beban tubuhku? tapi seseorang meyakinkanku bahwa ini bukan sembarang kaca, aku tidak hanya bisa melangkah, namun bahkan bisa berdansa diatasnya.
Aku percaya saja, mengangguk mengiyakan. Bodohnya...

Dan kau tahu dialog awal pada tulisan ini? Itu adalah dialogku dengan ambisiku, aku baru saja kehilangannya, dia pergi karena dia merasa tak berhasil membujukku untuk tidak melangkahkan kaki diatas jembatan ini.

Mungkin tepatnya bukan dia yang pergi meninggalkanku, namun aku yang membiarkannya pergi, sebenarnya aku bisa menahannya, dan dia bisa tetap disini, namun atas dasar kepercayaan pada kebahagiaan diujung jembatan kaca ini aku membiarkannya pergi, padahal aku membutuhkannya karena aku bukan malaikat, karena aku harus hidup degan melihat banyak sisi, salah satunya adalah sisi egois mata ambisiku.

   Didunia ini apakah yang lebih bodoh dari seekor keledai yang jatuh berulang-ulang dilubang yang sama? Adalah aku yang menaruh kepercayaan berulang-ulang pada hati yang sama, hati yang tidak hanya sekali menghianati kepercayaanku. Bodohnya..

Hati itu adalah milik dia yang dulu pernah amat kupercaya, dia yang pernah memberiku sebuah apel manis namun ternyata beracun hingga aku harus tak sadarkan diri berbulan-bulan lamanya, pernah juga kuberi kepercayaanku padanya untuk membawaku terbang namun belum sampai ku ke langit ke tujuh, sudah dia hempaskan di langit ketiga, dan dia adalah orang yang sama yang membuatku kini melangkahkan kaki dijembatan kaca ini, seseorang yang berkata bahwa berdansa diatasnya pun jembatan kaca ini tidak akan melukaiku, dia menjanjikan sebuah kebahagiaan jika aku berhasil melewatinya, dia melihat bekas luka dan segala sakit yang ada pada tubuhku bekas ku terjatuh dari langit ke tiga kala itu, dia menyadari bahwa itu adalah hasil dari penghianatannya dulu, maka kini dia berniat menyembuhkannya dengan segala kebahagiaan yang ada diujung jembatan kaca ini.

***
   Kini, kakiku sudah kujejakkan pada jembatan yang amat mengerikan ini, demi obat-obatan yang dijanjikannya diujung sana aku melangkah, walau perlahan, amat perlahan bahkan, aku butuh dua hari hanya untuk berjalan sejauh 5 meter, aku butuh 1 jam berfikir untuk melangkahkan satu kakiku, padahal aku belum jauh berjalan, aku tak tahu jembatan ini berukuran speanjang apa, tapi seingatku dia pernah berkata bahwa ini tidak terlalu panjang, aku akan menemukan ujung jembatan ini dan bertemu dengan segala penyembuh lukaku secepatnya. 

Setiap pergerakan kakiku sepersekian senti saja ku pikir dengan amat lama, dengan segala ketakutan yang merasuki tubuhku, aku ragu-ragu, aku melangkah dengan segala perasaan cemas, hawatir, curiga, was-was, aku hawatir jembatan ini tak sekuat yang dia katakan, tak mampu menahan beban tubuhku, terutama beban kegelisahanku. aku takut dia mempermainkan lagi kepercayaanku, katanya aku hanya harus berjalan tanpa harus menoleh ke arah jurang yang berada tepat dibawahku, aku hanya harus berjalan lurus, namun aku terlalu takut untuk menatap kedepan, menatap ke arah yang aku tak tahu dimana ujungnya, aku hanya mampu berjalan dengan terus menundukan kepala menatap jurang dibawa sana dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada, apa aku akan mati ditelan kegelapannya? aku gemetar.

Aku terus berdiri dijembatan kaca ini seorang diri, yaa.. seorang diri, kau heran? aku seorang diri sedari tadi, tiada siapapun menemani kecuali perasaan-perasaan tak yakin ini. Kau mencari dia yang memintaku menyusuri jembatan ini? Oh kawan, sejak meyakinkanku dimulut jembatan sebelum aku meletakkan kakiku diatas jembatan ini dan seusai dia meyakinkaku dengan segala cerita manisnya tentang yang ada diujung jembatan ini dia terbang, kawan.. terbang..

"Aku menunggumu diujung jembatan, aku tak bisa membawamu terbang, kau harus menyusuri jembatan karena ini salah satu persyaratan  untuk menyembuhkan lukamu, agar angin yang berhembus saat kau melewati jembatan ini bisa menyapu lukamu lembut, dan kelak saat kau sampai diujung jembatan ini obat itu akan lebih ampuh menyembuhkan sakitmu karena bantuan angin itu", katanya dengan yakin sebelum dia mengepakan sayapnya, dengan tatap penuh ketegasan, dengan tatapan kesastrianya, tunggu dulu.. apa orang yang pernah berhianat pantas disebut kesatria?

   Sungguh, setelah sejauh ini jangankan kulihat ujung jembatan, bayangannyapun sama sekali belum mampu ku pandang, kini.. di setiap pergerakan kakiku aku tak bisa menutupi perasaan raguku, aku tak bisa mengendalikan kecemasanku, hawatirku semakin menggebu, inginku kembali ke mulut jembatan namun ia pun tak lagi terlihat, aku kebingungan, sudah sejauh manakah sesungguhnya langkahku? kenapa mulut dan ujung jembatan ini tak bisa ku lihat? Dan.. Uhuk.. setinggi apakah jarak antara jurang dan jembatan kaca ini sesungguhnya? kenapa angin semakin kencang saja menerpaku? aku rasa bukan hanya luka ku yang disapunya, namun tubuhkupun bisa dihempaskannya, maka kini aku harus bagaimana? Nafasku mulai tersengal, leherku mulai terasa tercekik.

Adakah ujung jembatan ini sesungguhnya? Tetiba aku teringat lagi kepada ambisi yang tak lagi menemani, tentang yang dia ucap sebelum pergi, bahwa aku telah mempertaruhkan kepercayaan kepada orang yang pernah dengan mudah menghianatinya. Pertaruhan Kepercayaan, benarkah? apakah itu berarti sesungguhnya aku telah melangkahkan kaki pada hal yang aku tidak tahu akan berujung dimana? bahagia atau kecewa pada akhirnya? dan rela terombang-ambing ditengah jembatan ini untuk obat yang keberadaannya entah ada atau tidak sebenarnya? Kenapa aku bisa begitu saja menyetujui untuk meyusuri jembatan ini tanpa jaminan bahwa aku akan bahagia atau tidak pada akhirnya? ataukah aku telah mempertaruhkan kepercayaan untuk lagi kepercayaan itu dibuat mainan olehnya?

Kedua kakiku perlahan melemah, lemas bagai tak bertulang demi menyadari hal itu, keraguanku lebih besar dari kekuatanku untuk kembali melangkah, aku harus apa? maju ragu, mundur tak mampu, jatuh tak mau, sedangkan angin semakin tak lembut menyentuhku. Oh ambisiku.. maafkan aku.. harusnya aku menyadari itu. Dan kini aku kebingungan bagaimana nasibku pada akhirnya, apakah aku kuat untuk melangkah lagi hingga ujung jembatan ini ku temui, atau tetap disini hingga akhirnya dia datang menjemput karena dia menyadari bahwa aku tak kunjung keluar dari jembatan ini, atau... aku bisa terbang.. terbang meninggalkan segala kemuakan tentang jembatan ini? entahlah, aku tak tahu, harapan ketiga nampaknya amat menggiurkan untuk tubuhku yang kini mulai digerogoti bodohnya perasaanku. 

Akankah aku terus disini hingga habis tubuhku dimakan keraguanku?



created by: @ninitatabon

Saturday, 13 December 2014

Harga Sebuah Masalalu

Semua orang menyadari bahwa waktu tidak akan pernah bisa diulang, 1 detikpun, menggunakan berjuta carapun, tapi sayang, tidak banyak orang yang mampu menggunakannya dengan baik, aku adalah salah satunya. Waktu terus melangkah maju, pergi tak akan pernah kembali, namun kepergiannya tidak membawa serta cerita yang pernah dibuatnya, maka selama apapun detik sudah berlalu tidak berarti mampu menghilangkan yang pernah ada, yang akrab kita sebut kenangan.

Sudah banyak kata yang pernah kutulis hanya sekedar untuk mendeskripsikan arti sebuah kenangan, yang aku sadari adalah bahwa bagaimana hatiku hari ini adalah hasil dari yang pernah terjadi kemarin.

Ini tentang kisah yang tidak akan pernah bisa kembali, tentang kenangan yang terlanjur ada, dan tentang penyesalan yang aku rasakan pada akhirnya.

Kau pernah terluka? aku juga.
Kau pernah kecewa? aku pun.
Bedanya, kau melupakan? aku tidak.

Sekalipun, tidak.

Maka, apa arti masa lalu untukku? Adalah kamu yang membawa pergi ambisiku, adalah aku bersama luguku, adalah jarak yang teramat jauh.

Waktu, tak bisa diulang, tak bisa kembali.
jika sudah murah kau buang, mahal untuk kau dapat lagi..

created by: @ninitatabon

Monday, 8 December 2014

Mengakhiri yang pernah Diawali

Hidup selalu erat dengan 2 hal yang bersimpangan, seperti saat kita lahir kedunia sudah dihadapkan pada kenyataan yang kita hanya harus menerimanya, antara hidup karena berhasilnya perjuangan seorang wanita yang dengan ikhlas mempertaruhkan nyawanya, atau mati tak diperkenankan melihat dunia.

Hidup selalu tentang 2 pilihan, seperti: bahagia atau merana, memaksa atau menerima, berusaha atau putus asa, dan pada akhirnya berujung di Surga atau Neraka.

Hidup ini hanya jeda antara 2 gelap, berawal digelap rahim ibunda hingga berakhir digelap dekapan bumi-Nya, dan hanya iman yang mampu menerangi akhirnya.

Hidup hanya soal bagaimana kita memulai dan sesiap apa kita mengakhiri, namun ingatlah bahwa 2 buah kata tidak akan berarti tanpa ada spasi, begitupun hidup, tidak akan bermakna tanpa history.

Kita selalu memulai sesuatu dengan bahagia, tapi sayangnya lupa bahwa setiap yang pernah dimulai akan selalu diakhiri, dan sayangnya lagi, semua yang kita awali dengan bahagia selalu diakhiri dengan perasaan tidak rela, itulah mengapa dalam hidup ada yang dinamakan kecewa, karena kita tidak mengakhiri sesuatu sebahagia kita memulainya. Bukankah jika sesuatu tidak berakhir bahagia maka belum dikatakan berakhir? Demikian mengapa kita selalu merasa hidup tidak adil, dan lisan mudah sekali megeluh pada sang pemilik tubuh, padahal kitalah yang tak mampu menggunakan waktu dan terlena dengan hal-hal yang semu. Ingatkah bahwa hidup hanyalah sebuah jeda?

Maka, aku berkata pada sebuah awal yang kelak berakhir.. Kau.. jika harus berakhir, berakhirlah seperti daun hijau yang lupa bahwa dia pernah kering saat kemarau tiba, seperti pelangi yang tidak menyadari bahwa dia datang setelah hujan deras menjemputnya, berakhirlah seperti waktu tidak pernah terisi kenangan sebelumnya.

Jika harus berhenti, berhentilah seperti kaki itu tidak pernah dilangkahkan, seperti ingatan tak akan pernah dihadirkan, seperti kalimat-kalimat manis nan romantis itu tak pernah dilisankan. Berakhirlah seperti semua tidak pernah dimulai, dan lupa bahwa telah diakhiri.

Tunggu dulu, apakah aku baru saja mendefinisikan arti ikhlas?


Created by: @ninitatabon