"Namun aku bukan Tuhan", ujarku padanya.
"Kau hanya harus memaafkannya, bukan mempercayainya lagi!", nada bicaranya meninggi.
Aku menunduk, tak berani melihat sorot kemarahannya, aku mengalihkan pandangan pada jari-jari kakiku, meyembunyikan raut ketakutanku.
"Tak usah berpura-pura baik hati bagai malaikat, menyusun alasan untuk membenarkan semua yang kau lakukan", dia merendahkan lagi suaranya. "Aku tahu kau orang baik, tapi kau bukan orang bodoh", lanjutnya. "Kau hanya belum bisa berpaling dari segala hal dimasalalumu, kau menikmati lukamu". Aku hanya bisa diam. Sesaat aku dan dia ada dalam keheningan.
Kemudian aku melihat melalui ekor mataku, aku menyadari bahwa dia mulai melangkahkan kakiknya, aku buru-buru mengangkat kepalaku. "Tunggu..", lirihku. Dia menengok ke arahku, "Tetaplah disini, dampingi aku", kataku dengan raut muka sayu.
"Yang kau butuh bukan aku, tapi hati yang tak mudah lagi dibodohi. Aku hanya ambisimu yang memang tak seharunya kau pedulikan", ucapnya penuh penekanan, menyakitkan untukku.
"Aku hanya ingin menyembukan sakitku. Ku mohon, tetap dampingi aku, sekeras apapun kau, aku tetap butuh", aku memohon.
"Melangkahlah, aku tak bisa.. namun aku yakin kelak saat kau tengah menyusuri jembatan ini kau akan sadar bahwa kau telah mempertaruhkan kepercayaan pada dia yang pernah mempermainkanya", ucapnya dengan tatapan tak peduli, dia membalikan badan melanjutkan langkahnya. perlahan menjauhiku, aku hanya mampu menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan sendu. "Oh ambisiku.."
***
Aku berada didepan sebuah jembatan kaca panjang, dibawahnya adalah jurang yang jika aku jatuh maka kegelapannya akan membuat tak seorangpun akan menemukanku. Jatuh, hilang, tak bisa ditemukan, jikapun ditemukan mungkin hanya seperkecil bagian tubuhku, mungkin hanya satu bola mataku, atau salah satu dari kesepuluh jari-jariku, dan itupun dengan kemungkinan yang amat kecil. Jurang yang mengerikan.
Kaca, untuk menahan setengah berat tubuhku saja dia terlalu rapuh, maka bisakah kau bayangkan bagaimana jika dia menahan seluruh beban tubuhku? tapi seseorang meyakinkanku bahwa ini bukan sembarang kaca, aku tidak hanya bisa melangkah, namun bahkan bisa berdansa diatasnya.
Aku percaya saja, mengangguk mengiyakan. Bodohnya...
Dan kau tahu dialog awal pada tulisan ini? Itu adalah dialogku dengan ambisiku, aku baru saja kehilangannya, dia pergi karena dia merasa tak berhasil membujukku untuk tidak melangkahkan kaki diatas jembatan ini.
Mungkin tepatnya bukan dia yang pergi meninggalkanku, namun aku yang membiarkannya pergi, sebenarnya aku bisa menahannya, dan dia bisa tetap disini, namun atas dasar kepercayaan pada kebahagiaan diujung jembatan kaca ini aku membiarkannya pergi, padahal aku membutuhkannya karena aku bukan malaikat, karena aku harus hidup degan melihat banyak sisi, salah satunya adalah sisi egois mata ambisiku.
Hati itu adalah milik dia yang dulu pernah amat kupercaya, dia yang pernah memberiku sebuah apel manis namun ternyata beracun hingga aku harus tak sadarkan diri berbulan-bulan lamanya, pernah juga kuberi kepercayaanku padanya untuk membawaku terbang namun belum sampai ku ke langit ke tujuh, sudah dia hempaskan di langit ketiga, dan dia adalah orang yang sama yang membuatku kini melangkahkan kaki dijembatan kaca ini, seseorang yang berkata bahwa berdansa diatasnya pun jembatan kaca ini tidak akan melukaiku, dia menjanjikan sebuah kebahagiaan jika aku berhasil melewatinya, dia melihat bekas luka dan segala sakit yang ada pada tubuhku bekas ku terjatuh dari langit ke tiga kala itu, dia menyadari bahwa itu adalah hasil dari penghianatannya dulu, maka kini dia berniat menyembuhkannya dengan segala kebahagiaan yang ada diujung jembatan kaca ini.
***
Kini, kakiku sudah kujejakkan pada jembatan yang amat mengerikan ini, demi obat-obatan yang dijanjikannya diujung sana aku melangkah, walau perlahan, amat perlahan bahkan, aku butuh dua hari hanya untuk berjalan sejauh 5 meter, aku butuh 1 jam berfikir untuk melangkahkan satu kakiku, padahal aku belum jauh berjalan, aku tak tahu jembatan ini berukuran speanjang apa, tapi seingatku dia pernah berkata bahwa ini tidak terlalu panjang, aku akan menemukan ujung jembatan ini dan bertemu dengan segala penyembuh lukaku secepatnya.
Setiap pergerakan kakiku sepersekian senti saja ku pikir dengan amat lama, dengan segala ketakutan yang merasuki tubuhku, aku ragu-ragu, aku melangkah dengan segala perasaan cemas, hawatir, curiga, was-was, aku hawatir jembatan ini tak sekuat yang dia katakan, tak mampu menahan beban tubuhku, terutama beban kegelisahanku. aku takut dia mempermainkan lagi kepercayaanku, katanya aku hanya harus berjalan tanpa harus menoleh ke arah jurang yang berada tepat dibawahku, aku hanya harus berjalan lurus, namun aku terlalu takut untuk menatap kedepan, menatap ke arah yang aku tak tahu dimana ujungnya, aku hanya mampu berjalan dengan terus menundukan kepala menatap jurang dibawa sana dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada, apa aku akan mati ditelan kegelapannya? aku gemetar.
Aku terus berdiri dijembatan kaca ini seorang diri, yaa.. seorang diri, kau heran? aku seorang diri sedari tadi, tiada siapapun menemani kecuali perasaan-perasaan tak yakin ini. Kau mencari dia yang memintaku menyusuri jembatan ini? Oh kawan, sejak meyakinkanku dimulut jembatan sebelum aku meletakkan kakiku diatas jembatan ini dan seusai dia meyakinkaku dengan segala cerita manisnya tentang yang ada diujung jembatan ini dia terbang, kawan.. terbang..
"Aku menunggumu diujung jembatan, aku tak bisa membawamu terbang, kau harus menyusuri jembatan karena ini salah satu persyaratan untuk menyembuhkan lukamu, agar angin yang berhembus saat kau melewati jembatan ini bisa menyapu lukamu lembut, dan kelak saat kau sampai diujung jembatan ini obat itu akan lebih ampuh menyembuhkan sakitmu karena bantuan angin itu", katanya dengan yakin sebelum dia mengepakan sayapnya, dengan tatap penuh ketegasan, dengan tatapan kesastrianya, tunggu dulu.. apa orang yang pernah berhianat pantas disebut kesatria?
"Aku menunggumu diujung jembatan, aku tak bisa membawamu terbang, kau harus menyusuri jembatan karena ini salah satu persyaratan untuk menyembuhkan lukamu, agar angin yang berhembus saat kau melewati jembatan ini bisa menyapu lukamu lembut, dan kelak saat kau sampai diujung jembatan ini obat itu akan lebih ampuh menyembuhkan sakitmu karena bantuan angin itu", katanya dengan yakin sebelum dia mengepakan sayapnya, dengan tatap penuh ketegasan, dengan tatapan kesastrianya, tunggu dulu.. apa orang yang pernah berhianat pantas disebut kesatria?
Sungguh, setelah sejauh ini jangankan kulihat ujung jembatan, bayangannyapun sama sekali belum mampu ku pandang, kini.. di setiap pergerakan kakiku aku tak bisa menutupi perasaan raguku, aku tak bisa mengendalikan kecemasanku, hawatirku semakin menggebu, inginku kembali ke mulut jembatan namun ia pun tak lagi terlihat, aku kebingungan, sudah sejauh manakah sesungguhnya langkahku? kenapa mulut dan ujung jembatan ini tak bisa ku lihat? Dan.. Uhuk.. setinggi apakah jarak antara jurang dan jembatan kaca ini sesungguhnya? kenapa angin semakin kencang saja menerpaku? aku rasa bukan hanya luka ku yang disapunya, namun tubuhkupun bisa dihempaskannya, maka kini aku harus bagaimana? Nafasku mulai tersengal, leherku mulai terasa tercekik.
Adakah ujung jembatan ini sesungguhnya? Tetiba aku teringat lagi kepada ambisi yang tak lagi menemani, tentang yang dia ucap sebelum pergi, bahwa aku telah mempertaruhkan kepercayaan kepada orang yang pernah dengan mudah menghianatinya. Pertaruhan Kepercayaan, benarkah? apakah itu berarti sesungguhnya aku telah melangkahkan kaki pada hal yang aku tidak tahu akan berujung dimana? bahagia atau kecewa pada akhirnya? dan rela terombang-ambing ditengah jembatan ini untuk obat yang keberadaannya entah ada atau tidak sebenarnya? Kenapa aku bisa begitu saja menyetujui untuk meyusuri jembatan ini tanpa jaminan bahwa aku akan bahagia atau tidak pada akhirnya? ataukah aku telah mempertaruhkan kepercayaan untuk lagi kepercayaan itu dibuat mainan olehnya?
Kedua kakiku perlahan melemah, lemas bagai tak bertulang demi menyadari hal itu, keraguanku lebih besar dari kekuatanku untuk kembali melangkah, aku harus apa? maju ragu, mundur tak mampu, jatuh tak mau, sedangkan angin semakin tak lembut menyentuhku. Oh ambisiku.. maafkan aku.. harusnya aku menyadari itu. Dan kini aku kebingungan bagaimana nasibku pada akhirnya, apakah aku kuat untuk melangkah lagi hingga ujung jembatan ini ku temui, atau tetap disini hingga akhirnya dia datang menjemput karena dia menyadari bahwa aku tak kunjung keluar dari jembatan ini, atau... aku bisa terbang.. terbang meninggalkan segala kemuakan tentang jembatan ini? entahlah, aku tak tahu, harapan ketiga nampaknya amat menggiurkan untuk tubuhku yang kini mulai digerogoti bodohnya perasaanku.
Akankah aku terus disini hingga habis tubuhku dimakan keraguanku?
created by: @ninitatabon
No comments:
Post a Comment