Kaki-kaki mungil berlari dengan telanjang kaki dijalanan desa tak
beraspal yang ditumbuhi rumput alang-alang liar dikanan kirinya, mereka berlari
dengan terus mendongak ke atas sambil berteriak riang memanggil burung besi
yang melintas diatas awan, tak peduli terik matahari juga kerikil yang menusuk
kaki, suara sengau bersahutan beradu satu sama lain mencoba menyeru paling
keras walaupun yang dipanggil tetap melaju dengan gagah, hanya meninggalkan
garis bekas lajunya diawan, namun mereka tidak peduli, mereka tetap merasa
riang, begitulah masa anak-anak, bagaimanapun keadaannya mereka hanya melakukan
apa yang membuat mereka bahagia. Pesawat terus melaju membawa kaum elit yang
sedang menikmati perjalanan dengan dilayani pramugari cantik nan jelita didalamnya,
kaum yang bahkan pedulipun tidak pada teriakan-teriakan dibawahnya. Kiclik, si
bocah berbadan kurus berlari paling depan memimpin teman-temannya, dia berlari
bak komandan membawa prajurit, “Pesawaaat... Pesawaaat...” hingga yang
dipanggil-panggil hilang tertutup awan, bahagia sekali raut muka mereka,
terlebih Kiclik.. sering dia bercerita pada teman-temannya jika sudah besar
nanti dia ingin menjadi pilot, begitupun saat gurunya menanyakan soal
cita-cita, Kiclik akan berdiri dengan yakin dan menjawab “Saya ingin menjadi
pilot, bu!”.
Begitulah Kiclik dan obsesinya terhadap pesawat, dia amat ingin mengemudi
burung besi itu, selain terkagum dengan kehebatan pesawat yang dia tahu,
sesungguhnya ada alasan lain mengapa dia ingin menjadi pilot. Alasan manis dari
anak seusianya, dia belum memahami cita-citanya akan sesulit apa untuk diraih,
dia hanya tahu dia memiliki cita-cita dan dia sangat ingin mewujudkannya.
Pesawat mulai hilang tertutup awan, Kiclik dan pasukannya menghentikan lari
mereka, merelakan sang gagah terbang melanjutkan perjalannya.
“Assalamualaikum..” Kiclik membuka pintu rumah dengan nafas tersengal.
“Wa’alaikumsalam, dari mana nang? Capek sekali rupanya..”
Panggilan nang adalah panggilan untuk
anak laki-laki kecil didaerah Kiclik tinggal. Perempuan berumur senja menyambutnya.
Dia adalah Mih Asih, nenek yang akrab Kiclik panggil “Mimih”. Kiclik tinggal
bersama nenek, kedua kakak dan juga ayahnya dirumah kecil berdinding anyaman
bambu disebuah desa diujung barat Indramayu.
“Tadi aku mengejar pesawat bersama teman-teman Mih, pesawat itu terbang
tinggi sampai menembus awan..” Kiclik bercerita dengan penuh antusias, matanya
membulat menampakkan kekaguman.
“Makan dulu nang, sudah siang. Lalu istirahat,
jangan lupa jam 3 kamu harus berangkat mengaji ke madrasah..” Mimih tersenyum,
sedikit menahan getir mendengar alasan mengapa Kiclik pulang dengan tersengal,
mimih sangat hafal jika Kiclik sudah melihat pesawat maka dia akan terus
bercerita, mimih tidak bosan, justru mimih bahagia cucunya pandai berbicara,
senang bercerita dan amat riang, namun mimih sedih jika mendengar Kiclik
bercerita tentang cita-citanya yang pasti sepaket dengan alasannya. Dari pada
hanyut dalam sendu mimih lebih memilih megganti topik, berharap Kiclik berganti
fokus, namun sayang segala hal tentang pesawat yang Kiclik tahu sudah terlanjur
menempel tak bisa lepas dari angannya.
“Pesawat itu besar sekali mih, lebih besar dari yang aku lihat saat
pulang sekolah kemarin! Nanti saat menjemput ibu aku ingin memakai pesawat
sebesar itu agar ibu bisa duduk santai dan nyaman didalamnya, agar ibu tidak
kelelahan..” Benar saja, bagaimanapun mimih mencoba mengalihkan pembicaraan
Kiclik tetap menyerocos, kemudian menenggak segelas air setelah
menyelesaikan ceritanya, dia berucap amat yakin seakan esok rencana itu pasti
terjadi, dia sangat semangat hingga air yang diminum menumpahi bajunya.
“Pelan-pelan clik, nanti kamu tersedak..”
“Pokoknya aku harus jadi pilot!” Kiclik berlarian dengan membentangkan
tangan berimajinasi layaknya pesawat, mimih menunduk sedih dengan tangannya
tidak berhenti membungkus keripik yang akan dijajakan dipasar esok hari.
“Aamiin..” Mih Asih berucap lirih hampir tak terdengar. Mata senjanya
berkaca-kaca, terasa sedih hatinya karena setiap mendengar cita-cita Kiclik
mengingatkan pada Sumarni, ibu Kiclik yang tak lagi ada kabar beritanya, kabar
terakhir yang datang langsung darinya adalah saat Kiclik berumur 5 tahun. Saat
itu Sumarni mengabarkan belum juga bisa pulang.
Kiclik adalah anak seorang TKW yang bekerja diluar negeri, 6 tahun sudah
dia berpisah dengan sang ibu. Ibunya meninggalkan Kiclik sejak dia berusia 3
tahun, hingga kini dia duduk dibangku kelas 4 SD ibunya tak kunjung pulang.
Tidak ada orang yang ingin terpisah jauh dari keluarga, jangankan berbeda
negara, berbeda kotapun rasanya tak kuasa jika rindu datang melanda, tapi
apalah daya jika faktor ekonomi adalah alasan utama, toh untuk kebahagiaan
keluarga juga. Kiclik adalah bungsu dari 5 bersaudara, kakak pertamanya sudah
berkeluarga dan hidup didesa sebelah, kakak keduanya meninggal dunia menderita
penyakit langka, kedua kakak lainnya seharusnya masih duduk dibangku SMA namun
mereka memutuskan untuk berhenti sekolah karena kurangnya biaya, salah satunya
memilih untuk bekerja menjadi buruh kasar dipasar, sedang kakak terakhirnya
menjadi kuli cuci dirumah tetangga. Mereka hidup sangat sederhana, bahkan
cenderung susah.
Tidak terpikir sebelumnya dibenak Mih Asih harus terpisah jarak yang
begitu jauh dengan anak yang dicintainya, awalnya Sumarnipun tak berniat
menjadi TKW, namun ekonomi keluarga yang sangat menghimpit dengan tanggungan
yang banyak dan suami yang hanya pedagang asongan dengan penghasilan tidak
menentu membuatnya berani mengambil keputusan, 6 tahun lalu dia mendengar
berita bahwa temannya setelah pulang dari negeri orang hanya dalam 2 tahun
mampu membeli sawah, bahkan berhaji, dari situ Sumarni tertarik untuk mengikuti
jejak temannya, namun rezeki setiap manusia berbeda-beda, Sumarni tidak
seberuntung temannya, perjanjian kontrak kerja hanya 2 tahun namun nasib
berkata lain, hingga kontrak kerja berakhir Sumarni tak juga pulang karena
majikannya menahannya dengan berbagai alasan, katanya Sumarni tercatat sebagai
TKW ilegal dan dokumen-dokumen yang dia miliki tidak sah dan dokumen itupun
ditahan sang majikan, disana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan, sempat
ia mencoba kabur namun malang, majikannya mengetahui, disiksalah ia,
diperlakukan selayak binatang. Selama bekerja Sumarni hanya mengirim uang
sebanyak 6 kali, itupun tidak memperbaiki ekonomi keluarga sama sekali,
setelahnya jangankan uang, kabarpun tak ada lagi. Sejak mengerti bahwa ibunya
tidak kunjung pulang Kiclik selalu mendengungkan impiannya bahwa dia ingin
menjadi pilot, mampu menerbangkan pesawat agar dapat menjemput ibunya,
membawanya pulang kembali berkumpul bersama keluarga, biar susah asal bersama.
“Mimih jangan sedih, nanti aku akan ajak mimih..” Kiclik merangkul
neneknya dari belakang.
“Iya iya.. makanlah dulu, agar tak sakit, pilot kan harus sehat..” Mimih
mengelus lembut rambut Kiclik, tanpa menunggu lama Kiclik menuju dapur dengan
semangat.
Mih
Asih memasuki kamarnya, meraih kotak kayu dibawah kolong tempat tidur,
dipegangnya sebuah guntingan koran dengan judul “TKW Tewas Tanpa Identitas”. Ia
menangis dalam diam, tak ingin Kiclik mendengar, tak ingin ia menghancurkan
angan-angan cucu tercintanya bahwa berita itu tentang ibunya.
created
by: @ninitatabon
No comments:
Post a Comment