Monday, 22 December 2014

Pesawat Impian Kiclik

   Kaki-kaki mungil berlari dengan telanjang kaki dijalanan desa tak beraspal yang ditumbuhi rumput alang-alang liar dikanan kirinya, mereka berlari dengan terus mendongak ke atas sambil berteriak riang memanggil burung besi yang melintas diatas awan, tak peduli terik matahari juga kerikil yang menusuk kaki, suara sengau bersahutan beradu satu sama lain mencoba menyeru paling keras walaupun yang dipanggil tetap melaju dengan gagah, hanya meninggalkan garis bekas lajunya diawan, namun mereka tidak peduli, mereka tetap merasa riang, begitulah masa anak-anak, bagaimanapun keadaannya mereka hanya melakukan apa yang membuat mereka bahagia. Pesawat terus melaju membawa kaum elit yang sedang menikmati perjalanan dengan dilayani pramugari cantik nan jelita didalamnya, kaum yang bahkan pedulipun tidak pada teriakan-teriakan dibawahnya. Kiclik, si bocah berbadan kurus berlari paling depan memimpin teman-temannya, dia berlari bak komandan membawa prajurit, “Pesawaaat... Pesawaaat...” hingga yang dipanggil-panggil hilang tertutup awan, bahagia sekali raut muka mereka, terlebih Kiclik.. sering dia bercerita pada teman-temannya jika sudah besar nanti dia ingin menjadi pilot, begitupun saat gurunya menanyakan soal cita-cita, Kiclik akan berdiri dengan yakin dan menjawab “Saya ingin menjadi pilot, bu!”.

   Begitulah Kiclik dan obsesinya terhadap pesawat, dia amat ingin mengemudi burung besi itu, selain terkagum dengan kehebatan pesawat yang dia tahu, sesungguhnya ada alasan lain mengapa dia ingin menjadi pilot. Alasan manis dari anak seusianya, dia belum memahami cita-citanya akan sesulit apa untuk diraih, dia hanya tahu dia memiliki cita-cita dan dia sangat ingin mewujudkannya. Pesawat mulai hilang tertutup awan, Kiclik dan pasukannya menghentikan lari mereka, merelakan sang gagah terbang melanjutkan perjalannya.

   “Assalamualaikum..” Kiclik membuka pintu rumah dengan nafas tersengal.

   “Wa’alaikumsalam, dari mana nang? Capek sekali rupanya..” Panggilan nang adalah panggilan untuk anak laki-laki kecil didaerah Kiclik tinggal. Perempuan berumur senja menyambutnya. Dia adalah Mih Asih, nenek yang akrab Kiclik panggil “Mimih”. Kiclik tinggal bersama nenek, kedua kakak dan juga ayahnya dirumah kecil berdinding anyaman bambu disebuah desa diujung barat Indramayu.
           
   “Tadi aku mengejar pesawat bersama teman-teman Mih, pesawat itu terbang tinggi sampai menembus awan..” Kiclik bercerita dengan penuh antusias, matanya membulat menampakkan kekaguman.

   “Makan dulu nang, sudah siang. Lalu istirahat, jangan lupa jam 3 kamu harus berangkat mengaji ke madrasah..” Mimih tersenyum, sedikit menahan getir mendengar alasan mengapa Kiclik pulang dengan tersengal, mimih sangat hafal jika Kiclik sudah melihat pesawat maka dia akan terus bercerita, mimih tidak bosan, justru mimih bahagia cucunya pandai berbicara, senang bercerita dan amat riang, namun mimih sedih jika mendengar Kiclik bercerita tentang cita-citanya yang pasti sepaket dengan alasannya. Dari pada hanyut dalam sendu mimih lebih memilih megganti topik, berharap Kiclik berganti fokus, namun sayang segala hal tentang pesawat yang Kiclik tahu sudah terlanjur menempel tak bisa lepas dari angannya.

   “Pesawat itu besar sekali mih, lebih besar dari yang aku lihat saat pulang sekolah kemarin! Nanti saat menjemput ibu aku ingin memakai pesawat sebesar itu agar ibu bisa duduk santai dan nyaman didalamnya, agar ibu tidak kelelahan..” Benar saja, bagaimanapun mimih mencoba mengalihkan pembicaraan Kiclik tetap menyerocos,  kemudian menenggak  segelas air setelah menyelesaikan ceritanya, dia berucap amat yakin seakan esok rencana itu pasti terjadi, dia sangat semangat hingga air yang diminum menumpahi bajunya.

   “Pelan-pelan clik, nanti kamu tersedak..”

   “Pokoknya aku harus jadi pilot!” Kiclik berlarian dengan membentangkan tangan berimajinasi layaknya pesawat, mimih menunduk sedih dengan tangannya tidak berhenti membungkus keripik yang akan dijajakan dipasar esok hari.

   “Aamiin..” Mih Asih berucap lirih hampir tak terdengar. Mata senjanya berkaca-kaca, terasa sedih hatinya karena setiap mendengar cita-cita Kiclik mengingatkan pada Sumarni, ibu Kiclik yang tak lagi ada kabar beritanya, kabar terakhir yang datang langsung darinya adalah saat Kiclik berumur 5 tahun. Saat itu Sumarni mengabarkan belum juga bisa pulang.

   Kiclik adalah anak seorang TKW yang bekerja diluar negeri, 6 tahun sudah dia berpisah dengan sang ibu. Ibunya meninggalkan Kiclik sejak dia berusia 3 tahun, hingga kini dia duduk dibangku kelas 4 SD ibunya tak kunjung pulang. Tidak ada orang yang ingin terpisah jauh dari keluarga, jangankan berbeda negara, berbeda kotapun rasanya tak kuasa jika rindu datang melanda, tapi apalah daya jika faktor ekonomi adalah alasan utama, toh untuk kebahagiaan keluarga juga. Kiclik adalah bungsu dari 5 bersaudara, kakak pertamanya sudah berkeluarga dan hidup didesa sebelah, kakak keduanya meninggal dunia menderita penyakit langka, kedua kakak lainnya seharusnya masih duduk dibangku SMA namun mereka memutuskan untuk berhenti sekolah karena kurangnya biaya, salah satunya memilih untuk bekerja menjadi buruh kasar dipasar, sedang kakak terakhirnya menjadi kuli cuci dirumah tetangga. Mereka hidup sangat sederhana, bahkan cenderung susah.

   Tidak terpikir sebelumnya dibenak Mih Asih harus terpisah jarak yang begitu jauh dengan anak yang dicintainya, awalnya Sumarnipun tak berniat menjadi TKW, namun ekonomi keluarga yang sangat menghimpit dengan tanggungan yang banyak dan suami yang hanya pedagang asongan dengan penghasilan tidak menentu membuatnya berani mengambil keputusan, 6 tahun lalu dia mendengar berita bahwa temannya setelah pulang dari negeri orang hanya dalam 2 tahun mampu membeli sawah, bahkan berhaji, dari situ Sumarni tertarik untuk mengikuti jejak temannya, namun rezeki setiap manusia berbeda-beda, Sumarni tidak seberuntung temannya, perjanjian kontrak kerja hanya 2 tahun namun nasib berkata lain, hingga kontrak kerja berakhir Sumarni tak juga pulang karena majikannya menahannya dengan berbagai alasan, katanya Sumarni tercatat sebagai TKW ilegal dan dokumen-dokumen yang dia miliki tidak sah dan dokumen itupun ditahan sang majikan, disana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan, sempat ia mencoba kabur namun malang, majikannya mengetahui, disiksalah ia, diperlakukan selayak binatang. Selama bekerja Sumarni hanya mengirim uang sebanyak 6 kali, itupun tidak memperbaiki ekonomi keluarga sama sekali, setelahnya jangankan uang, kabarpun tak ada lagi. Sejak mengerti bahwa ibunya tidak kunjung pulang Kiclik selalu mendengungkan impiannya bahwa dia ingin menjadi pilot, mampu menerbangkan pesawat agar dapat menjemput ibunya, membawanya pulang kembali berkumpul bersama keluarga, biar susah asal bersama.

   “Mimih jangan sedih, nanti aku akan ajak mimih..” Kiclik merangkul neneknya dari belakang.

   “Iya iya.. makanlah dulu, agar tak sakit, pilot kan harus sehat..” Mimih mengelus lembut rambut Kiclik, tanpa menunggu lama Kiclik menuju dapur dengan semangat.

Mih Asih memasuki kamarnya, meraih kotak kayu dibawah kolong tempat tidur, dipegangnya sebuah guntingan koran dengan judul “TKW Tewas Tanpa Identitas”. Ia menangis dalam diam, tak ingin Kiclik mendengar, tak ingin ia menghancurkan angan-angan cucu tercintanya bahwa berita itu tentang ibunya.


created by: @ninitatabon

No comments: