Dulu,
guruku pernah mengatakan. “Semakin bertambah usia kita, semakin dekat pula kita
pada moment perpisahan dengan orang tua”. Kalimat beliau mengena hingga ke
hati.
Tepat,
karena setiap harinya Tuhan akan
memotong jatah hidup kita, jatah kebersamaan kita dengan mereka yang kita
cinta. termasuk Ibu dan bapak.
Aku
tidak pernah tahu berapa lama lagi kontrak hidupku, masih lama kah? Atau hanya
hingga besok kah? Tapi kapanpun itu, aku selalu memohon disetiap akhir sujud
dalam sholatku agar Allah mencukupkan waktuku untuk membahagiakan orangtua ku.
Bulan
depan, tepat 19 tahun aku hidup bersama dua orang malaikat yang akrab ku sebut
“mamah dan bapak”, nyaris 19 tahun sudah. Setiap waktunya ku habiskan bersama
mereka, tak tertinggal satu hari pun, dari awal pagi ku membuka mata hingga
malam ku menutup mata. Benar adanya kata banyak orang bahwa semakin tua kita
akan semakin banyak tahu. Setiap harinya, semakin berkurang jatah hidup
ternyata semakin getir rasanya kehidupan. Coretan ku kali ini bukan maksud
mengeluhkan hidup, hanya ingin melegakan sedikit kesesakan.
Aku
fikir tidak ada ukuran usia untuk seorang anak berbakti kepada orang tuanya,
mungkin yang ada hanya ukuran seberapa dewasakah seorang anak membuka
fikirannya.
Iya,
setiap harinya waktu menuntutku untuk tahu tentang banyak hal.
Tentang
harapan yang tidak semuanya dapat tercapai, tetang cita-cita yang hanya akan
menjadi cita-cita, tentang fisik yang harus semakin kuat, tentang hati yang
tidak boleh lelah berjuang, tentang kenyatan yang menyesakan, tentang takdir
yang tak bisa dilawan, tentang rencana-Nya yang tak pernah ada yang mengetahui,
tentang kejutan-kejutan kecil dan besar yang telah Allah siapkan, tentang lisan
yang tak boleh mengeluh. Tentang aku yang harus semakin dewasa.
benar kata orang diluar sana, hidup itu seperti roda, yang berputar keatas pasti akan berputar kebawah. begitulah hidup yang dihadapkan padaku. Dulu, sebelum sampai dititik ini aku masih bisa melihat senyum bahagia kedua orangtuaku, senyum yang terlihat lega walau beban hidup sedemikian berat dipundaknya, namun semakin hari waktu semakin tidak meringankan bebannya, tapi semakin bertambah beban dipundak mereka. entah apa yang sedang Allah rencanakan untuk hidupku, hidup kami, hidup ku dan keluarga ku. entah aku yang memang sudah saatnya untuk mengetahui banyak hal, atau memang kenyataan yang tak bisa disembunyikna dari mata? kenyataan hidup begitu menghimpit, hingga tak jarang aku melihat kedua orangtuaku sesak karenanya, dan disanalah rasanya aku tak berguna. Saat orangtuaku tercekik kenyataan pahit, aku hanya bisa diam saja.
tak berguna.
aku.. tak bisa apa-apa.
aku hanya seorang gadis kecil mamah yang semakin beranjak dewasa, selepas SMA aku memutuskan untuk bekerja dibarengi kuliah, ini tidak mudah, berkali-kali aku berpindah tempat bekerja, dan dengan gaji yang tidak seberapa. jika bisa memilih aku ingin sekali kuliah regular seperti teman-teman kebanyakan yang menggunakan waktunya fokus untuk study saja, namun Allah tak menghendakinya, dan orangtua ku pun tak mampu penuhi inginku, maka biarkanlah semua tetap menjadi keinginan, ku kubur dalam harapan, setidaknya aku masih bisa sekolah :')
aku bertahan disini, didesa ini, tidak seperti teman-teman yang berani merantau ke kota orang, aku lebih memilih tetap tinggal dengan kedua orangtua ku. banyak teman yang sering meledek ku, "mau apa didesa saja? kamu nanti ngga tau apa-apa", katanya. hanya tersenyum saja yang ku bisa untuk menjawab pertanyaan mereka, toh dijelaskan pun mereka tak akan mengerti.
bagiku, rumah adalah tempat terbaik untukku walau kadang jengah menghampiri. tidak ingin munafik, aku sebenarnya ingin seperti mereka yang merantau ke tempat orang, namun fisik ku tak sama kuat seperti mereka, dan alasan utamanya adalah setidaknya walau aku tak seberani mereka tapi saat ibu ku membutuhkan ku, aku ada.
namun, jujur..
Aku iri. Iri
pada mereka yang mampu membantu orangtuanya dengan hasil jerih payah mereka. Manis
rasanya jika ku membayangkan seperti mereka. penghasilan di kota dan di desa jelas amat sangat berbeda. itulah alasan mereka berani merantau ke kota orang, tapi.. Tuhan sudah mengatur rezeki
masing-masing makhluknya, maka iri pun aku untuk apa?
Aku yang hanya pegawai honor disebuah sekolah, yang upah perbulannya 10 kali lipat ebih kecil dari teman-teman di kota sana, yang hanya bisa memberi hasil kerja jauh dari kelayakan kepada orangtua. Mamah selalu mengatakan, "mamah tidak minta kamu beri, sudahlah, kamu simpan saja untuk biaya kuliahmu". tapi, anak mana yang tega membiarkan orangtuanya di himpit kenyataan? walau hanya satu lembar saja, aku selalu berusaha memberi untuk mereka. satu lembar saja, yang mungkin tak ada artinya untuk orang-orang diluar sana, satu lembar yang sangat berharga.
aku hanya seorang anak yang tidak cukup kuat untuk hidup tanpa dibimbing, aku hanya seorang anak yang tidak cukup berani untuk berjalan seorang diri, tapi.. kenyataan memaksaku untuk kuat dan mampu tanpa dibimbing dan didampingi, kenyataan memberitahuku bahwa yang selama ini mendampingi dan membimbingku tak mampu lagi lakukan itu, mereka sudah cukup lemah untuk terus mengajariku.
sekali lagi.. coretanku tak bermaksud mengeluh, dan setiap kata yang ku tulis tak bermaksud menyakiti. aku hanya mencari sedikit kelegaan dari banyaknya sesak yang ku rasa.
Mamah.. aku amat sangat mencintaimu, aku tidak tahu berapa lama lagi kontrak kebersamaan kita, jika aku bisa tentukan aku ingin bisa selamanya, tanpa ada perpisahan, tanpa ada kesusahan.
Mamah.. kau tahu? hati ini sangat sakit melihatmu menangis diam-diam, meihatmu lemah dihimpit kenyataan, melihatmu tak sekuat dan sebahagia dulu, apa ini semua karena ku? maafkan aku Mamah, yang belum mampu menjadi dan memberikan apa-apa, maafkan aku yang hanya bisa mendoakanmu. tapi, ketahuilah aku sangat mencintaimu, terucap atau tak terucap oleh lisanku.
Bapak.. maaf kan aku yang masih merepotkan mu, menjadi beban untuk hidupmu, maafkan aku yang tak mampu memberikan apa-apa padamu. Kau selalu mengeluh sampai kapan kita akan lepas dari jeratan menyakitkan ini, kau selalu berkata "andai saja", aku tak kuat mendengarnya, aku lemah melihat lemahmu pak, kau selalu berikhtiar semampu mu, tapi Tuhan belum menghendaki kita untuk lepas dari jerat kenyataan ini. maaf kan aku pak.. yang belum mampu menjadi apa-apa untuk mu, maaf kan aku yang tak berguna untuk kalian. jika aku tahu cara mengembalikan senyum lega kalian seperti dulu, akan kulakukan sekarang juga walau harus ku bayar dnegan kebahagiaanku sendiri.
bertahanlah Mah..
bertahanlah Pak..
aku ada, walau aku selalu diam, walau hanya satu lembar yang mampu ku berikan, walau kecanggungan membuatku terkesan acuh, tapi aku ada, dan akan selalu ada saat kalian butuh.
teruslah mendokan ku, Semoga Allah mencukupkan waktuku untuk membahagiakanmu, dan meridhoi ku untuk melepaskan kalian dari jerat kenyataan menyakitkan.
dari anakmu..
Yang amat sangat mencintaimu.
5 comments:
nit... *terketuk
sedikit sakit hati juga kalo sy di posisi itu dan ada yg bilang "mau apa di desa saja ? kamu nanti ga tau apa apa"
siapa yg bilang gitu ? terlalu kasar.
Berjuang.. harus sukses.. :)
aamiin :')
yg bilang? ada :)
yaa ga semua orang bisa dapet kelayakan yang dia mau kan suf. lagian, saya juga lebih suka liat banyak pohon dari pada gedung2 tinggi. saya lebih suka liat ilalang dari pada trotoar jalan. saya pikir saya cuma bisa bertahan hidup 2 hari kalo tinggal dikota. serem kayanya, saya lebih seneng dibilang anak desa ^^
#eh loh kok curhat :D
saya bacanya terburu-buru mau sekolah tp tetp keinget sampai pulan sekolah :)
buru-buru pun ngga masalah, yang penting udah mau mampir. makasih. salam kenal ^^
sama-sama ya :)
Post a Comment