“Umi.. Umi..” seorang
gadis kecil berusia 8 tahun itu mengguncang tubuh wanita muda cantik yang
terbujur kaku di hadapannya dengan suara gemetar. Akibat sebuah mobil yang
dikemudikan serang laki-laki muda yang mengemudi dengan seenaknya dan tidak
bertanggung jawab umi dan 5 orang pejalan kaki lainnya menjadi korban tabrak
lari disebuah jalan raya di daerah Bandung. Bian dan uminya sedang berjalan
menuju sekolah yang tidak jauh dari tempat kejadian saat itu.
***
“kaka.. sayang , bangun
ka. Udah siang..” seorang ibu membangunkan anaknya dengan lembut, “Mmmmmh..
masih ngantuk umi” jawab anaknya dengan malas. “tuuuh kan , umi bilang apa..
jangan tidur lagi sesudah subuh, ayo kaka bangun nanti telat” seru uminya
lembut. Dengan masih menutup matanya anak perempuan lucunya ini memaksakan diri
untuk bangkit dari tidurnya, wajahnya manis sekali, pipinya bulat merah bagai
tomat yang baru saja dipetik, mata mungilya memaksa membuka perlahan. Dengan
kesal Bian ngedumel “Bian masih mau tidur umiiiii..” kemudian uminya merintih
sakit memegang perutnya, Bian pun reflex membuka matanya lebar-lebar dan bertanya “Umi kenapa..?”, dengan
tersenyum umi menjawab “Ade bayi ikut ngebangunin kaka nih, nendang-nendang
perut umi. Kaka bangun yu.. mandi”. Bian pun manyun dan dengan cara bicaranya
yang menggemaskan Bian pun marah pada uminya, masih sama dengan
kemarahannya semalam, Bian merasa iri pada ade bayi yang berumur 7 bulan dirahim
uminya itu, Bian merasa uminya tidak menyayangi Bian lagi dan lebih sayang pada
ade bayi yang masih didalam perut uminya. Saat Bian menginginkan suatu barang
pada uminya yang dirasa umi tidak terlalu penting untuk pelajaran sekolahnya
pasti umi menjawab “kaka, nanti saja belinya.. uangnya kan buat biaya lahirnya
ade” terus dan terus kalimat itu diucapkan uminya setiap Bian menginginkan
sesuatu yang uminya tidak dapat mengusahakan saat itu untuk bisa dikabulkan,
dan puncaknya adalah tadi malam ketika Bian mengutarakan keinginannya yang
dipendam sejak lama, dia ingin memiliki sepedah seperti teman-teman lainnya dan
umi tidak sanggup membelikannya karena umi harus mengumpulkan uang untuk biaya
persalinan nanti, umi berbuat seperti ini karena masalah keuangan dikeluarga sedang tidak stabil dan bahkan terus mengalami penurunan, hal itu
disebabkan karena kantor dimana ayah bekerja sedang mengalami masalah keuangan
yang membuat gaji ayah dan beberapa karyawan lainnya dikurangi sepuluh persen
dari gaji biasanya selama 6 bulan belakangan ini yang jika di hitung-hitung
gaji ayah tidak terlalu cukup untuk biaya persalinan dan biaya hidup setipa
hari anak dan istrinya sehingga umi harus memutar otak untuk menggunakan uang
dengan baik. Selalu dan selalu umi memberi pengertian kepada Bian dengan bahasa
yang sesederhana mungkin, biasanya Bian nurut dan tidak membantah sama sekali
jika umi tidak bisa mengusahakan sesuatu yang Bian inginkan, tapi entah kenapa
untuk keinginan memiliki sepedahnya ini membuat Bian berbeda dari biasanya
sampai-sampai merasa iri pada adik dalam kandungan uminya.
“Kaka kalo manyun terus
nanti bibirnya ga bisa balik lagi loh kaya bebek” ledek uminya yang merasa lucu
melihat buah hatinya itu ngambek. Bian pun masih manyun dan dengan kesal menuju
kamar mandi.
Dengan menahan rasa
sakit yang amat sangat pada perutnya, Umi mempersiapkan sarapan untuk Bian
didapur. Kehamilannya yang kedua ini menurut dokter terjadi kelainan
pada rahimnya yang membuat umi harus menahan sakitnya setiap hari, kelainan
pada rahim umi ini diketahui saat usia kehamilan umi menginjak umur 4 bulan,
umi menahan sakitnya setiap hari, menahan sakit pada perutnya untuk
mempertahankan buah hati keduanya itu dan menahan sakitnya hidup ketika
menyadari bahwa keuangan keluarga mereka sangat jauh dari kata cukup. Penyakit
itu membuat keuangan keluarga terkuras lumayan banyak karena untuk biaya check
up umi ke dokter setiap bulan agar adik Bian bisa tetap hidup dan membuat ayah
bekerja lebih kerasa lagi di Jakarta, ayah rela mengambil lembur setiap hari
walaupun tidak ada jadwal lembur tapi ayah selalu meminta lembur
agar mendapatkan gaji tambahan, ayah rela pulang pagi hanya untuk
mempertahankan anak keduanya, adik Bian. Umi dan ayah merahasiakan ini semua
dari Bian karena mereka merasa bahwa Bian masih terlalu kecil untuk mengerti.
Dan sebenarnya setiap Bian menginginkan mainan apapun umi selalu berusaha untuk
mewujudkannya dengan cara membuat mainan dengan tangannya sendiri agar Bian
dapat merasakan kebahagiaan yang anak-anak seumurnya rasakan, meski sering
sekali Bian menanyakan “umi, ko bonekanya tidak sama dengan teman-teman yang
lain?” atau “tangan umi kenapa, ko di plester?”. Yaa, umi selalu membuat mainan
untuk Bian dengan diam-diam, biasanya pada pagi hari setelah shalat tahajud umi
rela meluangkan waktunya hanya sekedar untuk membuat mainan Bian hingga tangan
umi tertusuk jarum saat membuat boneka pun tak apa asal buah hatinya dapat merasakan
apa yang teman-temannya rasakan, memiliki mainan baru. Namun untuk keinginan
memiliki sepedah kali ini umi bingung harus bagaimana, tapi tanpa Bian tau umi
selalu menyisihkan uang untuk keperluan Bian, memutar otak untuk kebahagiaan
Bian dan termasuk untuk membelikan sepedah untuk Bian.
Umi pun terduduk lemas
dibangku meja makan sambil mengatur nafasnya. “Tuh kan umi elus-elus dede bayi
terus..” Bian keluar dari kamar melihat uminya yang sedang duduk sambil
mengelus perutnya , dan Bian pun masih melanjutkan ngambeknya. Umi pun
tersenyum sambil memeluk Bian lembut dan merapikan jilbab Bian, anak itu sangat
cantik. Sambil mengelus-elus perutnya umi pun berbicara dengan lembut “kaka
juga dulu begini didalam sini. Umi elus-elus, umi sayang, umi bawa kemana-mana.
Masak, nyuci, mandi, nyiram bunga, nyapu, tidur, sampai ke pasarpun umi bawa.
Sama ka, tidak dibedakan” umi tersenyum pada Bian, “nama aku Bian, bukan kaka”
sahut Bian cepat. Umi hanya bisa tersenyum melihat anak perempuan cantiknya
ini. “iya iya Ka Bian” umi mencium kening Bian, “dulu waktu kaka masih diperut
umi kaka juga suka nendang-nendang begini seperti ade, makanya umi elus-elus”
kata umi lembut. “apa iyah?” marah Bian mulai mencair dan wajahnya sudah kembali
normal tanpa raut marah, “iya, masa umi bohong” kata umi, “tapikan aku ga minta
jajan kaya ade bayi sekarang, dikit-dikit kalo aku minta jajan umi bilang
uangnya buat ade bayi, aku minta ini minta itu uangnya buat ade bayi” Bian
kembali manyun. “huufffth..” Umi lumayan bingung apa yang harus dia jawab untuk
pernyataan Bian karena umi berfikir Bian tidak akan mengerti walau dijelaskan
nantinya dan rasanya kurang pantas jika anak sekecil Bian harus mengetahui
masalah yang sedang di hadapi orang tuanya. Dengan tersenyum umi pun
langsung mengajak Bian sarapan dan setelah selesai makan mereka bersiap untuk
berangkat menuju sekolah Bian.
Entah kenapa pagi
ini perasaan umi tidak sama seperti biasanya, resah, perasaan umi sangat tidak
enak, jantung umi berdetak kencang, umi menenangkan diri dengan terus
berdzikir. Merekapun bergegas berangkat ke sekolah Bian yang jaraknya sekitar
500 meter dari rumah. Di jalan umi merasakan sedikit mual, perasaan umi sangat
sangat tidak enak, umi menggandeng tangan Bian tapi Bian melepasanya, umi
mengelus kepala Bian tapi Bian tetap saja manyun, setelah berjalan agak jauh
dari rumah Bian mengeluh haus dan umi lupa tidak membawa botol minum yang
biasanya Bian bawa ke sekolah, kemudian umi meminta Bian untuk
menunggu sebentar di pinggir jalan karena umi akan membelikan Bian minum di
warung sebrang jalan sana “Kaka tunggu disini sebentar, jangan kemana-mana
yah..” Bian pun mengangguk. Perasaan umi semakin tidak enak dan tidak karuan
saat menyebrang jalan, setelah sampai diwarung umi duduk diwarung sambil
menunggu ibu penjaga warung mengambil sebotol air mineral di dalam warungnya.
Umi memperhatikan Bian dari kejauhan, entah kenapa umi merasa sangat sedih, umi
merasa tidak ingin sekejap saja lengah melihat Bian, anak itu lucu, degan
jilbab di wajahnya, pipinya tembam, kulitnya putih, matanya bening membuat
siapa saja yang melihatnya tertarik pada anak itu, cantik, lucu.. Bian. Umi
tidak ingin melepas pandangannya sedikitpun dari Bian, umi merasakan seuatu
yang aneh di benaknya, umi merasa tidak ingin jauh dari Bian, umi merasa
dirinya akan terpisah jauh dari Bian, umi tidak tau kenapa umi berfikiran
seperti itu.
Ternyata benar saja
kehawatiran umi terbukti.
Pagi itu cukup tenang
seperti biasanya, namun ternyata ketenangan itu berubah karena teriakan panik sebagian
orang di sekitar jalan itu, umi pun bingung dan kaget mengapa orang-orang disekitar
jalan itu berteriak panik tidak seperti biasanya, dan ternyata dari kejauhan
umi melihat mobil sedan hijau melaju kencang dengan ugal-ugalan menabrak satu
orang pedagang somay keliling dan terpental jauh, kemudian diarah yang lain umi
melihat ada dua orang pejalan kaki yang tertabrak juga oleh mobil sedan hijau
ini, satu orang nenek pun tewas seketika dilindas oleh mobil yang dikemudikan
seorang anak muda tidak tau aturan itu dan umi merasakan bahwa mobil itu
bergerak menuju Bian disebrang jalan sana, umi cemas, khawatir hingga umi tanpa
berfikir panjang dan tidak menghiraukan orang-orang yang mencegah umi ketika
umi ingin berlari menuju Bian, umi tidak merasakan sakit diperutnya, umi tidak
berfikir sebesar apa resiko yang akan dia dapatkan pada bayi diperutnya, umi
sama sekali tidak menghiraukan teriakan orang-orang disekitar tempat kejadian
“buuuu, awas buu!”, Bian sangat
bingung dan ketakutan , tidak tau harus berlari kearah mana, Bian berteriak
sekencang yang dia bisa, menangis dan memanggil uminya yang sedang berlari ke
arahnya dan akhirnya “BRUAAAAAAAAAAAAAK..” pemuda
ugal-ugalan itu menabrak 2 korban lagi dan salah satunya adalah.. umi. Mobil
sedan hijau itu melaju kencang setelah menabrak 6 orang tak bersalah. Kabur,
tak bertanggung jawab.
Masyarakat disekitar
tempat kejadian langsung meriung dan menolong korban-korban yang bergeletakan,
Bian pun berlari menuju uminya yang terbaring di tengah jalan, Bian memeluk umi
dan menangis sejadinya, membuat semua orang yang di dekatnya merasakan haru
yang amat sangat, kemudian datang seorang lelaki yang memegang pergelangan
tangan umi dan kemudian mengatakan “nadi ibu ini sudah tidak berdenyut...” orang itu pun memeluk Bian yang menangis. Bian melepas pelukan
orang itu, Bian memeluk umi, jilbab umi sudah tidak berwarna putih lagi,
merah.. menutupi hampir bagian atas jilbabnya.. umi menutup matanya dan tak
akan pernah membukanya lagi, Bian menangis dan terus menangis mencium uminya,
darah terus keluar dari kepalanya, uminya tidak tertolong, dan Bianpun mengelus
perut uminya dan berkata “Ade bayi, ade bayi.. disini ada kaka de.. disini ada
kaka, suruh umi bangun de, ade bayi suruh umi bangun. Umi.. umi..” sambil terus
menangis dan mengelus perut uminya Bianpun berteriak pada orang sekitar “tolong
bangunkan umi Bian, umiiiii… umiiiii… bangun umiiiiii” Bian pun mengguncang
tubuh uminya dan kejadian itu membuat orang-orang yang ada di tempat kejadian
benar-benar terharu, mereka berusaha menenangkan Bian namun Bian tidak ingin
jauh dari jasad uminya itu, banyak orang yang berusaha menggendong
Bian tapi Bian tetap ingin di tempat itu, di samping uminya.
***
“hah.. hah.. hah” Bian
bangun dari tidur siangnya dengan nafas yang terengah, Bian melihat keadaan di
sekitar kamarnya. Melihat foto dia bersama umi dan ayahnya, Bian menangis.
Keluar dari kamarnya, menuju kamar uminya dan menyadari bahwa orang yang di maksud
tidak ada di kamarnya, Bian menuju kamar mandi, dan tetap tidak ada. Bian
menangis sambil berteriak “Umiiiii.. Bian sayang umi, umi maafin Bian, Bian ga
akan nakal lagi.. bian ga mau bikin umi repot lagi. Umiiiiii.. bian sayang umi”
dengan terus menangis dan terisak Bian terus memanggil uminya, “Umiiii.. Bian
udah ga mau beli sepedah, Bian ga mau marah lagi sama ade bayi, Bian sayang
umi. Umiiiiiii maafin Bian. Bian ga mau sepedah lagi, Bian mau umiiiiii…” Bian
menangis sejadinya karena menyesal dengan apa yang dia lakukan pada umi, Bian
berteriak terus menerus memanggil uminya hingga Bian lelah dan terduduk di
depan pintu kamarnya sambil menangis mengingat uminya. “Bian sayang umi..”
bisiknya.
***
Dari arah dapur Bian
mendengar teriakan seorang wanita yang suaranya sangat Bian kenal “Kaka..
umi di dapur, kaka kenapa?”. Bian tersadar, itu.. Umi.
---
Selesai.
NB:
Disetiap keadaan pasti
ada sebuah alasan, orang tua selalu mengusahakan apa yang anaknya inginkan,
bahkan.. tanpa kita sadari, dan tanpa kita pinta sedikitpun. Karena mencintai
itu.. memberi tanpa alasan dan tanpa perhitungan.. sama sekali. Nikmati dan
gunakanlah waktu yang kita miliki bersama orang tua saat ini, karena rasa dari
“kehilangan” adalah sangat menyakitkan, sekalipun itu.. bermimpi.
Terimakasih.
Maaf kalo ada yang kurang pas, baru
belajar dan pertama kali bikin cerpen ^^v
No comments:
Post a Comment