Thursday, 18 October 2012

"Bian dan Inginnya"


“Umi.. Umi..” seorang gadis kecil berusia 8 tahun itu mengguncang tubuh wanita muda cantik yang terbujur kaku di hadapannya dengan suara gemetar. Akibat sebuah mobil yang dikemudikan serang laki-laki muda yang mengemudi dengan seenaknya dan tidak bertanggung jawab umi dan 5 orang pejalan kaki lainnya menjadi korban tabrak lari disebuah jalan raya di daerah Bandung. Bian dan uminya sedang berjalan menuju sekolah yang tidak jauh dari tempat kejadian saat itu.

***


“kaka.. sayang , bangun ka. Udah siang..” seorang ibu membangunkan anaknya dengan lembut, “Mmmmmh.. masih ngantuk umi” jawab anaknya dengan malas. “tuuuh kan , umi bilang apa.. jangan tidur lagi sesudah subuh, ayo kaka bangun nanti telat” seru uminya lembut. Dengan masih menutup matanya anak perempuan lucunya ini memaksakan diri untuk bangkit dari tidurnya, wajahnya manis sekali, pipinya bulat merah bagai tomat yang baru saja dipetik, mata mungilya memaksa membuka perlahan. Dengan kesal Bian ngedumel “Bian masih mau tidur umiiiii..” kemudian uminya merintih sakit memegang perutnya, Bian pun reflex membuka matanya lebar-lebar dan bertanya “Umi kenapa..?”, dengan tersenyum umi menjawab “Ade bayi ikut ngebangunin kaka nih, nendang-nendang perut umi. Kaka bangun yu.. mandi”. Bian pun manyun dan dengan cara bicaranya yang menggemaskan  Bian pun marah pada uminya, masih sama dengan kemarahannya semalam, Bian merasa iri pada ade bayi yang berumur 7 bulan dirahim uminya itu, Bian merasa uminya tidak menyayangi Bian lagi dan lebih sayang pada ade bayi yang masih didalam perut uminya. Saat Bian menginginkan suatu barang pada uminya yang dirasa umi tidak terlalu penting untuk pelajaran sekolahnya pasti umi menjawab “kaka, nanti saja belinya.. uangnya kan buat biaya lahirnya ade” terus dan terus kalimat itu diucapkan uminya setiap Bian menginginkan sesuatu yang uminya tidak dapat mengusahakan saat itu untuk bisa dikabulkan, dan puncaknya adalah tadi malam ketika Bian mengutarakan keinginannya yang dipendam sejak lama, dia ingin memiliki sepedah seperti teman-teman lainnya dan umi tidak sanggup membelikannya karena umi harus mengumpulkan uang untuk biaya persalinan nanti, umi berbuat seperti ini karena masalah keuangan dikeluarga sedang tidak stabil dan bahkan terus mengalami penurunan, hal itu disebabkan karena kantor dimana ayah bekerja sedang mengalami masalah keuangan yang membuat gaji ayah dan beberapa karyawan lainnya dikurangi sepuluh persen dari gaji biasanya selama 6 bulan belakangan ini yang jika di hitung-hitung gaji ayah tidak terlalu cukup untuk biaya persalinan dan biaya hidup setipa hari anak dan istrinya sehingga umi harus memutar otak untuk menggunakan uang dengan baik. Selalu dan selalu umi memberi pengertian kepada Bian dengan bahasa yang sesederhana mungkin, biasanya Bian nurut dan tidak membantah sama sekali jika umi tidak bisa mengusahakan sesuatu yang Bian inginkan, tapi entah kenapa untuk keinginan memiliki sepedahnya ini membuat Bian berbeda dari biasanya sampai-sampai merasa iri pada adik dalam kandungan uminya.

“Kaka kalo manyun terus nanti bibirnya ga bisa balik lagi loh kaya bebek” ledek uminya yang merasa lucu melihat buah hatinya itu ngambek. Bian pun masih manyun dan dengan kesal menuju kamar mandi.

Dengan menahan rasa sakit yang amat sangat pada perutnya, Umi mempersiapkan sarapan untuk Bian didapur. Kehamilannya yang kedua ini  menurut dokter terjadi kelainan pada rahimnya yang membuat umi harus menahan sakitnya setiap hari, kelainan pada rahim umi ini diketahui saat usia kehamilan umi menginjak umur 4 bulan, umi menahan sakitnya setiap hari, menahan sakit pada perutnya untuk mempertahankan buah hati keduanya itu dan menahan sakitnya hidup ketika menyadari bahwa keuangan keluarga mereka sangat jauh dari kata cukup. Penyakit itu membuat keuangan keluarga terkuras lumayan banyak karena untuk biaya check up umi ke dokter setiap bulan agar adik Bian bisa tetap hidup dan membuat ayah bekerja lebih kerasa lagi di Jakarta, ayah rela mengambil lembur setiap hari walaupun tidak ada jadwal lembur  tapi ayah selalu meminta lembur agar mendapatkan gaji tambahan, ayah rela pulang pagi hanya untuk mempertahankan anak keduanya, adik Bian. Umi dan ayah merahasiakan ini semua dari Bian karena mereka merasa bahwa Bian masih terlalu kecil untuk mengerti. Dan sebenarnya setiap Bian menginginkan mainan apapun umi selalu berusaha untuk mewujudkannya dengan cara membuat mainan dengan tangannya sendiri agar Bian dapat merasakan kebahagiaan yang anak-anak seumurnya rasakan, meski sering sekali Bian menanyakan “umi, ko bonekanya tidak sama dengan teman-teman yang lain?” atau “tangan umi kenapa, ko di plester?”. Yaa, umi selalu membuat mainan untuk Bian dengan diam-diam, biasanya pada pagi hari setelah shalat tahajud umi rela meluangkan waktunya hanya sekedar untuk membuat mainan Bian hingga tangan umi tertusuk jarum saat membuat boneka pun tak apa asal buah hatinya dapat merasakan apa yang teman-temannya rasakan, memiliki mainan baru. Namun untuk keinginan memiliki sepedah kali ini umi bingung harus bagaimana, tapi tanpa Bian tau umi selalu menyisihkan uang untuk keperluan Bian, memutar otak untuk kebahagiaan Bian dan termasuk untuk membelikan sepedah untuk Bian.

Umi pun terduduk lemas dibangku meja makan sambil mengatur nafasnya. “Tuh kan umi elus-elus dede bayi terus..” Bian keluar dari kamar melihat uminya yang sedang duduk sambil mengelus perutnya , dan Bian pun masih melanjutkan ngambeknya. Umi pun tersenyum sambil memeluk Bian lembut dan merapikan jilbab Bian, anak itu sangat cantik. Sambil mengelus-elus perutnya umi pun berbicara dengan lembut “kaka juga dulu begini didalam sini. Umi elus-elus, umi sayang, umi bawa kemana-mana. Masak, nyuci, mandi, nyiram bunga, nyapu, tidur, sampai ke pasarpun umi bawa. Sama ka, tidak dibedakan” umi tersenyum pada Bian, “nama aku Bian, bukan kaka” sahut Bian cepat. Umi hanya bisa tersenyum melihat anak perempuan cantiknya ini. “iya iya Ka Bian” umi mencium kening Bian, “dulu waktu kaka masih diperut umi kaka juga suka nendang-nendang begini seperti ade, makanya umi elus-elus” kata umi lembut. “apa iyah?” marah Bian mulai mencair dan wajahnya sudah kembali normal tanpa raut marah, “iya, masa umi bohong” kata umi, “tapikan aku ga minta jajan kaya ade bayi sekarang, dikit-dikit kalo aku minta jajan umi bilang uangnya buat ade bayi, aku minta ini minta itu uangnya buat ade bayi” Bian kembali manyun. “huufffth..” Umi lumayan bingung apa yang harus dia jawab untuk pernyataan Bian karena umi berfikir Bian tidak akan mengerti walau dijelaskan nantinya dan rasanya kurang pantas jika anak sekecil Bian harus mengetahui masalah yang sedang di hadapi orang tuanya.  Dengan tersenyum umi pun langsung mengajak Bian sarapan dan setelah selesai makan mereka bersiap untuk berangkat menuju sekolah Bian.

 Entah kenapa pagi ini perasaan umi tidak sama seperti biasanya, resah, perasaan umi sangat tidak enak, jantung umi berdetak kencang, umi menenangkan diri dengan terus berdzikir. Merekapun bergegas berangkat ke sekolah Bian yang jaraknya sekitar 500 meter dari rumah. Di jalan umi merasakan sedikit mual, perasaan umi sangat sangat tidak enak, umi menggandeng tangan Bian tapi Bian melepasanya, umi mengelus kepala Bian tapi Bian tetap saja manyun, setelah berjalan agak jauh dari rumah Bian mengeluh haus dan umi lupa tidak membawa botol minum yang biasanya  Bian bawa ke sekolah, kemudian umi meminta Bian untuk menunggu sebentar di pinggir jalan karena umi akan membelikan Bian minum di warung sebrang jalan sana “Kaka tunggu disini sebentar, jangan kemana-mana yah..” Bian pun mengangguk. Perasaan umi semakin tidak enak dan tidak karuan saat menyebrang jalan, setelah sampai diwarung umi duduk diwarung sambil menunggu ibu penjaga warung mengambil sebotol air mineral di dalam warungnya. Umi memperhatikan Bian dari kejauhan, entah kenapa umi merasa sangat sedih, umi merasa tidak ingin sekejap saja lengah melihat Bian, anak itu lucu, degan jilbab di wajahnya, pipinya tembam, kulitnya putih, matanya bening membuat siapa saja yang melihatnya tertarik pada anak itu, cantik, lucu.. Bian. Umi tidak ingin melepas pandangannya sedikitpun dari Bian, umi merasakan seuatu yang aneh di benaknya, umi merasa tidak ingin jauh dari Bian, umi merasa dirinya akan terpisah jauh dari Bian, umi tidak tau kenapa umi berfikiran seperti itu.

Ternyata benar saja kehawatiran umi terbukti.

Pagi itu cukup tenang seperti biasanya, namun ternyata ketenangan itu berubah karena teriakan panik sebagian orang di sekitar jalan itu, umi pun bingung dan kaget mengapa orang-orang  disekitar jalan itu berteriak panik tidak seperti biasanya, dan ternyata dari kejauhan umi melihat mobil sedan hijau melaju kencang dengan ugal-ugalan menabrak satu orang pedagang somay keliling dan terpental jauh, kemudian diarah yang lain umi melihat ada dua orang pejalan kaki yang tertabrak juga oleh mobil sedan hijau ini, satu orang nenek pun tewas seketika dilindas oleh mobil yang dikemudikan seorang anak muda tidak tau aturan itu dan umi merasakan bahwa mobil itu bergerak menuju Bian disebrang jalan sana, umi cemas, khawatir hingga umi tanpa berfikir panjang dan tidak menghiraukan orang-orang yang mencegah umi ketika umi ingin berlari menuju Bian, umi tidak merasakan sakit diperutnya, umi tidak berfikir sebesar apa resiko yang akan dia dapatkan pada bayi diperutnya, umi sama sekali tidak menghiraukan teriakan orang-orang disekitar tempat kejadian “buuuu, awas buu!”,  Bian sangat bingung dan ketakutan , tidak tau harus berlari kearah mana, Bian berteriak sekencang yang dia bisa, menangis dan memanggil uminya yang sedang berlari ke arahnya  dan akhirnya “BRUAAAAAAAAAAAAAK..”  pemuda ugal-ugalan itu menabrak 2 korban lagi dan salah satunya adalah.. umi. Mobil sedan hijau itu melaju kencang setelah menabrak 6 orang tak bersalah. Kabur, tak bertanggung jawab.

Masyarakat disekitar tempat kejadian langsung meriung dan menolong korban-korban yang bergeletakan, Bian pun berlari menuju uminya yang terbaring di tengah jalan, Bian memeluk umi dan menangis sejadinya, membuat semua orang yang di dekatnya merasakan haru yang amat sangat, kemudian datang seorang lelaki yang memegang pergelangan tangan umi dan kemudian mengatakan “nadi ibu ini sudah tidak berdenyut...” orang itu pun memeluk Bian yang menangis. Bian melepas pelukan orang itu, Bian memeluk umi, jilbab umi sudah tidak berwarna putih lagi, merah.. menutupi hampir bagian atas jilbabnya.. umi menutup matanya dan tak akan pernah membukanya lagi, Bian menangis dan terus menangis mencium uminya, darah terus keluar dari kepalanya, uminya tidak tertolong, dan Bianpun mengelus perut uminya dan berkata “Ade bayi, ade bayi.. disini ada kaka de.. disini ada kaka, suruh umi bangun de, ade bayi suruh umi bangun. Umi.. umi..” sambil terus menangis dan mengelus perut uminya Bianpun berteriak pada orang sekitar “tolong bangunkan umi Bian, umiiiii… umiiiii… bangun umiiiiii” Bian pun mengguncang tubuh uminya dan kejadian itu membuat orang-orang yang ada di tempat kejadian benar-benar terharu, mereka berusaha menenangkan Bian namun Bian tidak ingin jauh dari jasad uminya itu, banyak orang yang berusaha  menggendong Bian tapi Bian tetap ingin di tempat itu, di samping uminya.

***

“hah.. hah.. hah” Bian bangun dari tidur siangnya dengan nafas yang terengah, Bian melihat keadaan di sekitar kamarnya. Melihat foto dia bersama umi dan ayahnya, Bian menangis. Keluar dari kamarnya, menuju kamar uminya dan menyadari bahwa orang yang di maksud tidak ada di kamarnya, Bian menuju kamar mandi, dan tetap tidak ada. Bian menangis sambil berteriak “Umiiiii.. Bian sayang umi, umi maafin Bian, Bian ga akan nakal lagi.. bian ga mau bikin umi repot lagi. Umiiiiii.. bian sayang umi” dengan terus menangis dan terisak Bian terus memanggil uminya, “Umiiii.. Bian udah ga mau beli sepedah, Bian ga mau marah lagi sama ade bayi, Bian sayang umi. Umiiiiiii maafin Bian. Bian ga mau sepedah lagi, Bian mau umiiiiii…” Bian menangis sejadinya karena menyesal dengan apa yang dia lakukan pada umi, Bian berteriak terus menerus memanggil uminya hingga Bian lelah dan terduduk di depan pintu kamarnya sambil menangis mengingat uminya. “Bian sayang umi..” bisiknya.

***

Dari arah dapur Bian mendengar teriakan seorang wanita yang suaranya sangat Bian kenal  “Kaka.. umi di dapur, kaka kenapa?”. Bian tersadar, itu.. Umi.


---

Selesai.

NB:
Disetiap keadaan pasti ada sebuah alasan, orang tua selalu mengusahakan apa yang anaknya inginkan, bahkan.. tanpa kita sadari, dan tanpa kita pinta sedikitpun. Karena mencintai itu.. memberi tanpa alasan dan tanpa perhitungan.. sama sekali. Nikmati dan gunakanlah waktu yang kita miliki bersama orang tua saat ini, karena rasa dari “kehilangan” adalah sangat menyakitkan, sekalipun itu.. bermimpi.

Terimakasih.

Maaf kalo ada yang kurang pas, baru belajar dan pertama kali bikin cerpen ^^v

No comments: