Saturday, 10 December 2016

Sejak Desember Tiba

Daun terakhir di dahan pohon November telah gugur, ia jatuh bersamaan dengan ketika senja menyemburatkan jingga pertamanya sepuluh hari yang lalu. November telah usai, banyak sudah kisah yang tertulis di 30 hari kemarin, Desember telah tiba, dan purnama terakhir di tahun ini akan segera menyapa.

Sesungguhnya sejak pernah merasa patah, urusan tanggal dan waktu bagi saya hanya tentang segala rutinitas yang harus tuntas sejak pagi bermula hingga malam saya memejam mata.

Sejak mengerti rasa kecewa, kalender yang terduduk manis di meja kerja, hanya saya sentuh saat menulis agenda atau keperluan titi mangsa.

Namun sejak Desember tiba, setiap melihat arloji di pergelangan tangan, saya selalu merasa gundah, setiap suara detak detik terdengar, saya gelisah.

Sejak Desember tiba, saya selalu dirundung dilema, perihal jawaban segala upaya selama tujuh purnama, yang entah segalanya akan meredup saat purnama kedelapan menyapa, atau justru semakin terang sinarnya hingga sekian dasa warsa.

Sejak Desember tiba, saya terus mengulang-ngulang tanya, mengapa kiranya waktu begitu cepat bergulir, sedang segala tanya perihal kepastian begitu gaduh dalam pikir, dan rasa yakin juga ragu begitu senang menyapa sejak orang asing yang membuat saya lebih akrab dengan purnama itu hadir.

Juga sesungguhnya sejak dahulu, saya bukan orang yang senang membuat wishlist, menyusun resolusi harapan tahun baru, atau membayang perihal apa yang akan terjadi di hari esok. Namun, sejak Desember tiba, saya tetiba menjelma seorang perempuan yang hobby mengira-ngira, menyusun rencana, dan senang memandangi jam di dinding rumah. Kiranya apa yang akan saya terima saat purnama ke delapan datang menyapa?

Sejak pintu perkenalan itu saya buka, kala pertama kita saling bertukar salam dan sapa, banyak nian tanya yang tak terucap meski sehela, tak pula tertulis meski sehuruf. Kini mereka mendesak keluar melalui celah-celah kata "Bagaimana" dan "Kenapa".

Bagaimana...

Bagaimana jika ternyata orang asing itu salah rumah, atau nantinya ia merasa salah menerka, kemudian kita berdua saling merasa sia-sia, atau... Bagaimana jika bukan hanya pintu rumah saya yang satu-satunya dia ketuk? Bagaimana?

Pun, kenapa...

Kenapa pintu rumah saya yang diketuknya, sedang banyak daun pintu yang ukirannya lebih indah, barangkali berkiblat design traadisional vintage atau western misalnya. Juga, kenapa saya berpijak begitu yakin pada hal yang amat rapuh bahkan hanya disentuh.

Kini disetiap malam sejak Desember tiba, saya sengaja mencoba terlelap lebih sore dari biasanya demi membatas tegur sapa, meski yaa, akhirnya saya tak kunjung lelap juga. Pun sejak Desember tiba, saya terus berulang-ulang menyusun niat dan rencana, mencoba bersiap untuk segala yang mungkin terjadi kala bersua pada Desember pekan ketiga.

Dan disetiap pagi sejak Desember tiba, sebenarnya semua berjalan normal dan biasa, namun entah kenapa saya selalu lebih ingin tersenyum di depan kaca, berusaha lebih bahagia saat menyapa embun pagi di dedaunan pada sisi jalan saat berangkat kerja, hingga selalu ingin merasa lebih gembira setiap melihat indah senja diantara hijau sawah yang saya lewati dengan mengayuh sepedah menuju rumah, saya melebihkan semuanya hanya demi satu usaha, adalah agar tidak merasa begitu patah jika akhirnya, barangkali tentang kita ternyata tidak akan pernah ada.

Dan disetiap malam tersisa sepertiga, tidak hanya sejak Desember tiba, saya selalu meminta, agar Tuhan membuat saya ikhlas menerima kepastian apapun yang akan saya terima, bahkan meski seluruh harap yang pernah saya perbaiki susah payah harus kembali patah.



Haurgeulis. Hari ke-10 Desember. 

Tuesday, 29 November 2016

Jangan-jangan

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat kecantikan
Karena di mana-mana, industri komestik, industri artifisial
Dan orang-orang di sekitar kita, terlalu sibuk menciptakannya
Mengabaikan begitu banyak kecantikan sejati di sekitar

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat pendidikan
Karena di mana-mana, sekolah, universitas
Dan orang-orang di sekitar kita, terlalu sibuk memberi nilai, pun mengejar ijasah
Lupa orang-orang dulu tidak punya selembar ijasah
Tapi ilmunya menerangi dunia hingga hari ini

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat politik
Karena di mana-mana, partai, penguasa, kader
Dan orang-orang di sekitar kita, terlalu sibuk mengejar kekuasaan
Menang, menang dan menang
Lupa, meskipun kalah, politik tetap bisa mulia dan bermanfaat

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat cinta
Karena di mana-mana, buku, film, kisah-kisah
Dan orang-orang di sekitar kita, terlalu sibuk berbunga-bunga indah bicara cinta
Lupa, cinta sejati baru terbukti justeru saat kesedihan dan beban hidup datang
Kasih sayang sesungguhnya terbukti ketika kepercayaan dan komitmen sedang diuji

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat kerja keras
Karena di mana-mana, di mana-mana, kita lebih suka jalan pintas
Ingin cepat, kalau bisa besok pagi sudah kaya, sudah terkenal
Lupa, bahwa sesuatu yang mudah datangnya, akan mudah pula perginya

Jangan-jangan,

Kita semua tidak pernah paham hakikat waktu
Karena di mana-mana, semua orang bersantai dengan gagdetnya
Sibuk dengan keajaiban teknologi
Dan kita melupakan, sebagian besar waktu kita terbuang sia-sia
Lupa berhitung dan semua sudah terlanjur pergi

Inilah puisi jangan-jangan
Akan panjang sekali daftarnya jika diteruskan,
Maka sungguh tidak akan pernah merugi
Orang-orang yang selalu menghisab dirinya setiap hari.



- Tere Liye -

Wednesday, 16 November 2016

Jika Aku adalah Cerminmu

Banyak orang kata, aku adalah cermin dari siapa yang selama ini kusebut "kamu", meski Tuhan belum juga memberi kita temu, namun katanya, bagaimana sosok kamu, adalah persis seperti yang selama ini ada padaku.

Dan sejak tahu hal itu, aku dirundung cemas, khawatir bila ternyata kamu justru enggan ditakdirkan memiliki cermin serupaku, karena bagaimanalah mungkin kamu berkenan disamakan sepertiku yang bahkan hanya dalam sepekan saja bisa banyak orang yang kumintai maafnya tersebab segala sifatku yang begitu berantakan telah mengganggu kenyamanannya.

Siapa pula yang sudi bercermin pada aku yang amat pelupa, begitu teledor, cenderung sembrono, mudah panik, dan sangat menyebalkan ini? Tapi bodohnya, aku berharap kamu adalah siapa yang selalu senang hati memaklumi.

Huh, Mimpi!

Harusnya aku mengerti, bahwa jika aku terus meminta untuk dimaklumi, selamanya aku akan menjadi manusia paling tidak tahu diri.

Harusnya aku tidak lupa, bahwa guna cermin adalah untuk melihat kekurangan  yang luput dari pandangan kita, bukan justru memaksa orang lain menerima ketidaknyamanan yang mengganggu pandangan mereka.

Maka perlahan aku mulai sadar, jika memang aku adalah cerminmu, bukan berarti kita adalah dua orang yang susah dibedakan sifat atau parasnya, lebih dari itu, justru aku mencoba menanggapinya dengan hal yang berbeda. Jika aku memang cerminmu, setiap kamu melihatku, harusnya aku membuatmu ingin merapihkan apa yang kamu lihat dihadapanmu, merapihkan yang berantakan dipandanganmu, merapihkanku.

Jadi, jika memang aku adalah cerminmu, sudikah kamu merapihkan yang terlihat berantakan pada aku?

- Nita Bonita Rahman -

Friday, 11 November 2016

Satu Langkah di Belakangmu

Orang bijak bilang, hidup adalah perjalanan, dan perjalanan yang menyenangkan sepatutnya tidak dilakukan sendirian, jika aku boleh berkhayal nantinya Tuhan memintaku menjadi teman perjalananmu, ada yang harus kamu tahu.

Kelak, aku tidak berminat berjalan mendahuluimu, dengan jumawa berada didepanmu, membuatmu merasa tertinggal walau hanya selangkah.

Tidak pula aku berhasrat untuk berjalan beriringan denganmu, melangkah dengan terus menggandeng manja, meminta langkahmu yang tegap mengimbangi gerakku yang lamban. Tidak akan.

Aku lebih memilih untuk selalu membiarkanmu berjalan lebih dulu, memandangi punggung tegapmu, memperhatikanmu dari sisi yang tidak kamu tahu. Bukan karena aku enggan menjadi teman perjalanan yang baik, aku hanya ingin memastikan, jika nantinya kau merasa segala beban begitu berat untuk kau emban, hanya aku yang akan kau temui saat kamu memilih menyerah dan berbalik arah, hanya senyumku yang akan kau temui saat kau butuh di semangati, hingga akhirnya kau lupa pernah ingin berhenti.

Jika Tuhan memintaku menjadi teman perjalananmu, kau benar-benar harus tahu, aku akan memilih terus berjalan dibelakangmu, mempersilahkanmu untuk menunjukkan jalan untukku, bukan karena aku buta arah, pun bukan karena aku tak tahu kita harus kemana, aku hanya ingin membuatmu selalu merasa kubutuhkan, membuatmu merasa bahwa jalan manapun yang akan kau putuskan, aku tak pernah takut kau akan menyesatkan, dari balik punggungmu aku percaya bahwa sejauh apapun perjalanannya, hanya langkahmu yang bisa membawaku pada tujuan yang ku damba. Itu saja.

Lalu, jika kau tanya siapa yang akan terus disampingmu, mendampingi langkahmu, berjaga di kiri dan kananmu? adalah sepasang kekasih yang begitu mengenalmu lebih dari aku, sepasang bibir yang tak lelah merapal doa keselamatan untukmu, kuserahkan posisi itu pada Ibu dan Ayahmu.

Jika Tuhan memintaku menjadi teman perjalanannu, biar aku terus berjalan satu langkah di belakangmu.

- Nita Bonita Rahman -

Photo by: @djonadoel

Tuesday, 8 November 2016

Perihal Definisi Kata Sederhana

Kasih, sebelum Tuhan benar-benar setuju pada doa-doa kita, sambil menunggu segala jawab yang entah kapan datangnya, izinkanku kenalkanmu pada sedikit definisi dari kata "sederhana" yang kupunya.

Misalnya...

Kelak tidak usah repot mengajakku berkeliling Indonesia dengan kendaraan pribadi terbaik yang kamu punya, meski kamu bilang itu hanya hal sederhana, bagiku tidak, aku lebih suka duduk disampingmu dalam gerbong kereta yang membawa kita menuju rumah ibu yang sudah membesarkanmu dengan penuh cinta.

Atau, nanti, saat kukatakan aku lapar atau butuh camilan, tak usah kau repot mengajakku ke tempat makan ternama di kota, meski bagimu itu sederhana, untukku tidak, sebab aku akan pusing dengan nama-nama makanan yang ada pada daftar menu diatas meja, aku lebih suka duduk diteras rumah bersamamu dengan menyesap teh tubruk manis yang kurebus dari panci yang kita beli saat kita mengisi perabotan rumah sambil mengunyah singkong rebus yang kubeli dari tetangga yang memanen hasil kebunnya kemarin lusa.

Kasih, mari kita samakan persepsi, perihal definisi kata "sederhana" yang selama ini kuyakini, agar kelak kita satu visi tentang bahagia yang sejauh ini masih hanya mimpi, meski aku tak tahu pasti siapa sesungguhnya kamu yang kuajak berdialog sedari tadi.

Akhirnya, di malam yang sejuk ini, izinkan kumenyampaikan salam dari singkong rebus yang dimasak ibuku sore tadi. Katanya, selamat malam untukmu yang belum juga Tuhan sebut pasti.

Thursday, 20 October 2016

Ketika Ada Yang Bertanya Tentang Cinta

Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta, 
kau melihat langit membentang lapang.
Menyerahkan diri untuk dinikmati, 
tapi menolak untuk dimiliki.

Ketika kau bertanya kepadaku tentang cinta, 
Aku melihat nasib manusia.
Terkutuk hidup di bumi bersama jangkauan lengan mereka yang pendek 
dan kemauan mereka yang panjang.

Ketika aku bertanya kepadamu tentang cinta, 
kau bayangkan aku seekor burung kecil murung.
Bersusah payah terbang mencari tempat sembunyi 
dari mata peluru para pemburu.

Ketika kau bertanya kepadaku tentang cinta, 
aku bayangkan kau satu-satunya pohon yang tersisa.
Kau kesepian dan mematahkan cabang-cabang sendiri.

Ketika ada yang bertanya tentang cinta, 
apakah sungguh yang dibutuhkan adalah kemewahan kata-kata 
atau cukup ketidaksempurnaan kita?





Oleh: M. Aan Mansyur.
Dalam Buku: Tidak Ada New York Hari ini

Monday, 10 October 2016

Surat Untukmu yang Entah Siapa

Hallo, selamat malam! Ku ucap saja malam ya, sebab aku tidak tahu saat surat ini kau baca, dibagian bumi tempatmu berpijak kini sedang pukul berapa. Tapi kapanpun, saat kau membaca ini, aku harap kau sedang dalam keadaan baik-baik saja. Selalu.

Kau sedang apa? Oh, maaf, sebelumnya, perkenalkan.. Aku adalah perempuan iseng yang saat orang-orang bersiap menuju lelap, aku justru memilih untuk menulis surat ini demi berbincang denganmu yang padahal entah siapa.

Sejujurnya, aku sendiri bingung ingin membahas apa, aku menulis surat ini untuk ikut merayakan hari Surat Menyurat Sedunia yang jatuh pada hari ini, 10 Oktober. Apa kau tahu? Jika belum, tolong simpan info ini baik-baik.

Oh ya, tadi aku bertanya kau sedang apa, kan? Kini biar kuulangi, duhai kau yang akupun tidak tahu siapa, kau sedang apa? Semoga saat kau membaca suratku ini kau sedang tidak mencuri-curi bermain internet saat bekerja, pun semoga kau tidak sedang berkendara, aduh, karena itu sangat bahaya, fokuslah dulu pada apa-apa yang harus segera kau selesaikan, aku harap kau membaca suratku ini diwaktu senggang, saat menikmati teh diteras rumah misalnya, merebah dikasur kamarmu, atau kapanpun asal tak mengacaukan schedule harianmu.

Sebab surat ini, duhai, kau yang entah siapa, kau harus tahu, selain demi sebuah perayaan, juga adalah rindu yang menjadi alasan untukku menuliskannya. Maka aku tidak ingin, rindu yang kupunya, menjadi hal merepotkan untukmu yang padahal tidak tahu apa-apa.

Sebelumnya, hampir setengah tahun yang lalu rasanya aku pernah menuliskan hal yang sama, sebuah surat yang juga tak memiliki penerima namun berharap bisa kau baca, omong-omong, sudah kau baca, kan? Jika belum, aku sangat mempersilahkan jika memang kau mau telusuri, silahkan kau cari dokumenku di bulan April, 6 bulan lalu.

Kepada kau yang entah siapa, tadi, aku sudah katakan padamu bahwa aku menulis ini beralaskan rindu, kan? Namun sebelumnya aku ingin bertanya padamu, menurutmu, rindu itu sesungguhnya apa? Karena untukku, rindu begitu menyiksa meski aku tidak pernah menemukan definisinya.

Kau harus tahu, tersebab rindu, aku bisa uring-uringan seharian tak jelas alasan, mudah lupa menaruh barang yang belum lama kuletakkan, mencari dan menyetel lagu-lagu sendu pada playlist komputer kerjaku, menatap sendu gerimis yang terlihat dari samping jendela tempat dudukku, hanya mengaduk-aduk minuman yang kupesan dari  kantin 2 jam lalu, ah, rindu... Aku tak menyangka hadirnya bisa membuatku menjadi seberantakan itu. Dan aku penasaran, apakah si Rindu juga melakukan hal yang sama padamu?

Dan, atas nama rindu pula aku ingin menyampaikan segala resahku kepadamu yang entah siapa dan dimana. Aku resah, sangat resah. Semakin lama, semakin sangat resah. Ini parah, dan akupun jengah. Aku meresahi pertemuan kita, apakah ada, atau tidak? Perihal bagaimana kelak rasanya, dimana tempatnya, kapan waktunya, dan apa yang kita perbincangkan, apa kita satu selera? Akankah percakapan kita akan berlangsung lama atau hanya lima menit saja? Apakah akan ada pertemuan kedua atau akan langsung berhenti pada pertemuan pertama? Baju apa yang akan kau kenakan? Bagaimana postur tubuhmu, suara bicaramu, siapa kamu. Aku resah menanti segala jawabannya. Apa kau meresahkan hal yang sama?

Namun ada yang lebih kuresahkan sesungguhnya, aku cemas kau tidak bisa terima, bahwa yang harus kau temui adalah hanya seorang aku. Gadis yang kini menuju umur dua puluh dua namun berperawakan seperti siswa SMP kelas dua, aku cemas sebelum kita diharuskan bertemu oleh waktu, disana kau telah menyusun harap begitu tinggi, sedang aku disini, tak sejelita bidadari.

Aku hawatir, disana, kau mengharap aku adalah perempuan yang darahnya berwarna biru, keturunan raja dengan perangai halus khas putri-putri dalam istana, atau kau memimpikan aku adalah anak seorang saudagar yang namanya mahsyur seantero desa karena budi dan perilaku baiknya.
Pun aku takut, disana, kau bermimpi bertemu denganku yang bergelimang harta, ingin apa saja tinggal meminta, travelling atau sekedar berkeliling negara tetangga menjadi hal yang lumrah, miliki rekening yang bukan sekedar gendut namun obesitas isinya, bersandang gaun dengan taburan mutiara, berpapan istana dengan emas sebagai pelapis dindingnya.

Atau, kau juga berharap aku adalah perempuan yang bisa melakukan segala hal? mengangkat galon ke dispenser saat memang harus segera di isi, membetulkan genteng saat hujan deras membuatnya bergeser hingga beberapa ruang dalam rumah menjadi basah kebocoran, memperbaiki keran yang sudah seharian tidak mengeluarkan air, memasak masakan senikmat chef hotel bintang lima, menjahit gaun untuk gadis kecil yang akan menjadi orang ketiga antara kita, atau kau harap aku kuat fisik hingga tak pernah merasa sakit dengan virus apapun yang menyapa.

Aduh.. Duhai kau yang entah siapa, sungguh, demi apapun, jika memang iya itu semua yang kau harap, malang nian aku di rundung gelisah, resah, cemas, dan segala ketakutan. Sebab aku, perempuan yang menulis surat iseng untukmu ini, amat-sangat-sangat-sangat jauh dari yang kau damba. Aku tak jelita, bukan anak raja, tidak berlimpah harta, tak sekuat baja. Aku hanya gadis akhir jaman yang berusaha menjadi sebaik wanita yang kubaca dari kisah-kisah sahabiyah, walau sungguh itupun hanya secuil yang bisa aku terapkan sejauh ini.

Ah, rasanya sesak memikirkan jika memang benar segala tentangmu adalah sesuai dengan segala keresahanku selama ini. Pun rasanya terbayang sudah betapa getir setiap rindu yang harus ku terima jika hadirnya selalu membawa keresahan tentangmu. Namun kau harus tahu, disetiap waktu mustajab yang bisa aku temui, aku selalu meminta pada yang Maha Cinta, semoga, kau yang entah siapa, bukan seorang pria yang selalu mebuatku resah, semoga kau yang entah siapa adalah bukan pria yang hanya berharap dibersamakan dengan wanita yang jelita, berharta, pun bertahta, namun aku harap kau adalah seorang pria yang bersedia untuk berjuang bersama membangun istana, berharta untuk berguna bagi sesama, juga aku harap kau bukan pria yang mendamba kita menjadi raja dan ratu yang rupawan hanya dari yang terlihat dari mata saja, namun lebih dari itu, aku harap kita bisa berjuang bersama, menjadi baik dimata Sang Maha. Semoga.

Wahai, engkau yang entah siapa, apakah terasa segala resahku setelah kau mebaca suratku ini? Aku harap, iya.

Kini saat kalimat ini kutulis, di bumi bagianku berpijak, malam semakin larut. Alangkah baiknya jika surat ini tak lagi ku lanjut.

Duhai, engkau yang entah siapa, terimakasih sudah membaca suratku sampai pada kalimat ini, aku harus tidur karena esok ada kewajiban yang sudah menanti, tidak elok jika aku tak segera rehat. Kini, dari sudut ruang ini, kuharap kau disana selalu sehat, tidak lalai sholat, dan selalu berusaha menjadi manusia yang bermanfaat.

Untuk seseorang yang sedari tadi kusebut "Kau", terimakasih sudah bersedia menjadi objek perayaan hari Surat Menyurat versiku.

Untuk kau, Selamat hari Surat Menyurat, Selamat malam, dan kau harus tahu, Aku rindu.

Indramayu, 10 Oktober 2016. Malam.
Nita Bonita Rahman

Sunday, 2 October 2016

Barangkali

Jika malam ini terasa sendu, barangkali itu adalah sebab dari luap haru yang merindu namun tak kunjung jua bertemu.

Jika malam ini terasa dingin, barangkali itu adalah sebab dari hampa relung yang sudah puluhan purnama memendam ingin.

Jika malam ini terasa senyap, barangkali itu adalah sebab dari segala harap yang dipaksa diam meratap.

Dan...

Jika malam ini bibirmu tiba-tiba ingin menyebut namaku, barangkali itu dalah sebab dari lirih doaku yang dengan amat hati-hati masuk melalui celah jendela kamarmu.

Barangkali.




Haurgeulis, Waktu Indonesia bagian Menduga.
Nita Bonita Rahman.


Photo From Google

Friday, 30 September 2016

Ketika September Berakhir

Tentang hidup yang tidak pernah bisa kita tebak, ia miliki banyak cerita yang alurnya bagai labirin, berliku dan membingungkan. Kita bisa merencanakan apapun sebebas yang kita mau, namun hidup tidak selalu tentang apa yang kita ingin, tapi selalu tentang apa yang kita butuh namun kita tidak tahu. Hari ini adalah hari terakhir dibulan September, setelah sejak awal bulan ini dimulai, banyak berita bahagia dari teman yang sampai kerumah saya, sebab menurut perhitungan orang tua yang entah bagaimana cara menghitungnya, katanya, bulan ini adalah bulan yang baik untuk mengadakan perayaan, dan ternyata banyak teman-teman saya mengamini hal itu, buktinya adalah hingga kemarin total sudah ada 12 undangan perayaan bahagia dari teman-teman yang saya terima dibulan September ini, 11 undangan pernikahan, dan 1 undangan lamaran.


Sungguh jalannya waktu tidak ada yang tahu, Ah.. rasanya kalimat ini amat sering saya tulis, jika kalian tidak percaya coba saja telusuri postingan-postingan saya, nyatanya saya memang selalu takjub dengan apa-apa yang dibawa oleh waktu, ke 12 undangan yang saya terima berasal dari teman jaman SD hingga berasal dari teman yang baru kenal beberapa bulan lalu. Saya turut bahagia, pun tidak menyangka, sebab ada beberapa diantaranya yang terlalu mengejutkan kabarnya, seperti tentang si A yang sudah lama tidak saya dengar kabarnya, kemudian tetiba mengetuk pintu rumah saya mengantarkan undangan pernikahannya, juga tentang si B yang saya tahu tidak pernah dekat dengan lawan jenis dan amat mejaga kesucian cintanya, tetiba tersebar kabar pernikahannya di sosial media, pun soal si C yang menikah dengan si D yang saya dan teman-teman lainnya tahu bahwa sejak kami masih berada di masa putih abu-abu dulu mereka tidak saling kenal, amat jauh, bahkan diluar prediksi kami, tidak terbayang sama sekali, entah bagaimana alurnya, mereka mengabarkan hari bahagianya.


Saya selalu kagum dengan segala rencana Allah yang dibawa oleh waktu, apapun itu, soal suka atau duka, kecewa atau bahagia, lara atau tawa, saya selalu senang memperhatikannya. Dan kini, perihal September, setelah banyak undangan saya terima dan hadiri, banyak berpose anggun bersama sepasang pengantin dipelaminan, menebar banyak ucap selamat berbahagia, dan saling bertukar doa tentang siapa yang akan lebih dulu menyusul dari siapa, kini.. September mau tidak mau harus saya akhiri dengan kabar duka yang datang dari teman jaman SMK, yang kami semua tahu, dia memang baik-baik saja, tengah bekerja dan merantau dikota seperti teman lainnya, hanya bertukar sapa dan canda melalui sosial media, namun sepekan lalu dia dikabarkan koma karena kecelakaan yang dialaminya, dan hari ini tepat di hari terakhir September, dia menghembuskan nafas terakhirnya.


Lagi-lagi, saya selalu takjub dengan apa-apa yang dibawa oleh waktu, setelah 29 hari kemarin saya lalui dengan bahagia sebab menerima kabar perayaan cinta dari teman-teman lama, ternyata bulan ini mau tidak mau harus saya tutup dengan duka. Sungguh soal takdir, siapa yang tahu?
Bahagia dan berduka sungguh kontras adanya, dan benar kiranya bahwa bahagia dan sedih jaraknya hanya setipis benang saja. Seperti yang sudah saya tulis diawal, kita bisa merencanakan apapun sebebas yang kita mau, namun ada yang harus kita sadari, siapalah sesungguhnya diri ini? hanya wayang di bumi-Nya, harus patuh pada apapun yang diingin-Nya, bisa jadi saat kita bahagia, disaat yang sama, dibumi bagian lain ada yang sedang dibuat terluka oleh-Nya, pun sebaliknya.


Dan kemudian, kini saya penasaran, undangan apa yang akan saya sebarkan lebih dulu kepada kalian, tentang perayaan cinta yang membahagiakan, atau tentang kabar duka yang menyakitkan? tentang saya yang akan segera menjalani hidup baru, atau berhenti menjalani hidup? Wallahualam bishowab.
Apapun itu, terimakasih Allah untuk September-Mu.

Photo: Doc. Pribadi



Haurgeulis, di penghujung September.
Nita Bonita Rahman

Sunday, 25 September 2016

Ada yang Harus Dipaksakan

Kau bisa saja datang,
Aku suka rela menerima,
Kita tidak canggung bertukar canda.

Kau bisa saja hadir,
Aku senang hati menyambut,
Kita terbuai harapan lembut.

Kita suka rela tertawa,
Kita senang hati berharap,
Tidak sesiapun memaksa siapa.

Tapi ada yang harus kita paksakan,
Segala yang belum waktunya dirasakan,
Semua yang belum saatnya dilakukan.

Ada yang harus dipaksakan,
Sebab Tuhan meminta kita mencari alasan,
Untuk apa sesungguhnya kita menaruh harap dan balasan?



Haurgeulis, Minggu Ba'da subuh.
Nita Bonita Rahman.

Tuesday, 20 September 2016

Jangan Jadikan Aku Istrimu

Juli  2015 lalu, saya pernah memposting tulisan serupa dengan yang akan saya posting kali ini, bisa dibaca di: http://coretansinita.blogspot.co.id/2015/07/jangan-pilih-aku-jadi-istrimu-jika.html , tapi kali ini yang akan saya post lebih rinci. Masih tentang suara perempuan yang butuh didengar. Selamat diresapi.  

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan bosan kamu berpaling pada perempuan lain. Kamu harus tahu meski bosan mendengar suara dengkurmu, melihatmu begitu pulas, wajah laki-laki lain yang terlihat begitu sempurna pun tak mengalihkan pandanganku dari wajah lelahmu setelah bekerja seharian.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu enggan hanya untuk mengganti popok anakmu ketika dia terbangun tengah malam. Sedang selama sembilan bulan aku harus selalu membawanya di perutku, membuat badanku pegal dan tak lagi bisa tidur sesukaku.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kita tidak bisa berbagi baik suka dan sedih dan kamu lebih memilih teman perempuanmu untuk bercerita. Kamu harus tahu meski begitu banyak teman yang siap menampung curahan hatiku, padamu aku hanya ingin berbagi. Dan aku bukan hanya teman yang tidak bisa diajak bercerita sebagai seorang sahabat.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti dengan alasan sudah tidak ada kecocokan kamu memutuskan menyatakan cerai padaku. Kamu tahu betul, kita memang berbeda dan bukan persamaan yang menyatukan kita tapi komitmen bersama.

Jangan jadikan aku istrimu, jika nanti kamu memilih tamparan dan pukulan untuk memperingatkan kesalahanku. Sedang aku tidak tuli dan masih bisa mendengar kata-katamu yang lembut tapi berwibawa.

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti setelah seharian bekerja kamu tidak segera pulang dan memilih bertemu teman-temanmu. Sedang seharian aku sudah begitu lelah dengan cucian dan setrikaan yang menumpuk dan aku tidak sempat bahkan untuk menyisir rambutku. Anak dan rumah bukan hanya kewajibanku, karena kamu menikahiku bukan untuk jadi pembantu tapi pendamping hidupmu. Dan jika boleh memilih, aku akan memilih mencari uang dan kamu di rumah saja sehingga kamu akan tahu bagaimana rasanya.

Jangan pilih aku sebagai istrimu, jika nanti kamu lebih sering di kantor dan berkutat dengan pekerjaanmu bahkan di hari minggu daripada meluangkan waktu bersama keluarga. Aku memilihmu bukan karena aku tahu aku akan hidup nyaman dengan segala fasilitas yang bisa kamu persembahkan untukku. Harta tidak pernah lebih penting dari kebersamaan kita membangun keluarga karena kita tidak hidup untuk hari ini saja.

Jangan pilih aku jadi istrimu, jika nanti kamu malu membawaku ke pesta pernikahan teman-temanmu dan memperkenalkanku sebagai istrimu. Meski aku bangga karena kamu memilihku tapi takkan kubiarkan kata-katamu menyakitiku. Bagiku pasangan bukan sebuah trofi apalagi pajangan, bukan hanya seseorang yang sedap dipandang mata. Tapi menyejukkan batin ketika dunia tak lagi ramah menyapa. Rupa adalah anugerah yang akan pudar terkikis waktu, dan pada saat itu kamu akan tahu kalau pikiran dangkal telah menjerumuskanmu.

Jangan pilih aku jadi istrimu, jika nanti kamu berpikir akan mencari pengganti ketika tubuhku tak selangsing sekarang. Kamu tentunya tahu kalau kamu juga ikut andil besar dengan melarnya tubuhku. Karena aku tidak lagi punya waktu untuk diriku, sedang kamu selalu menyempatkan diri ketika teman-temanmu mengajakmu berpetualang.

Jangan buru-buru menjadikanku istrimu, jika saat ini kamu masih belum bisa menerima kekurangan dan kelebihanku. Sedang seiring waktu, kekurangan bukan semakin tipis tapi tambah nyata di hadapanmu dan kelebihanku mungkin akan mengikis kepercayaan dirimu. Kamu harus tahu perut buncitmu tak sedikitpun mengurangi rasa cintaku, dan prestasimu membuatku bangga bukan justru terluka.

Jangan buru-buru menjadikanku istrimu, jika saat ini kamu masih ingin bersenang-senang dengan teman-temanmu dan beranggapan aku akan melarangmu bertemu mereka setelah kita menikah. Kamu harus tahu akupun masih ingin menghabiskan waktu bersama teman-temanku, untuk sekedar ngobrol atau creambath di salon. Dan tak ingin apa yang disebut “kewajiban” membuatku terisolasi dari pergaulan, ketika aku semakin disibukkan dengan urusan rumah tangga. Menikah bukan untuk menghapus identitas kita sebagai individu, tapi kita tahu kita harus selalu menghormati hak masing-masing tanpa melupakan kewajiban.

Jangan buru-buru menikahiku, jika saat ini kamu sungkan pada orang tuaku dan merasa tidak nyaman karena waktu semakin menunjukkan kekuasaannya. Bagiku hidup lebih dari angka yang kita sebut umur, aku tidak ingin menikah hanya karena kewajiban atau untuk menyenangkan keluargaku. Menikah denganmu adalah salah satu keputusan terbesar di hidupku yang tidak ingin kusesali hanya karena terburu-buru.

Jangan buru-buru menikahiku, jika sampai saat ini kamu masih berpikir mencuci adalah pekerjaan perempuan. Aku tak akan keberatan membetulkan genting rumah, dan berubah menjadi satpam untuk melindungi anak-anak dan hartamu ketika kamu keluar kota.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini kamu berpikir mempunyai lebih dari satu istri tidak menyalahi ajaran agama. Agama memang tidak melarangnya, tapi aku melarangmu menikahiku jika ternyata kamu hanya mengikuti egomu sebagai laki-laki yang tak bisa hidup dengan satu perempuan saja.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini masih ada perempuan yang menarik hatimu dan rasa penasaran membuatmu enggan mengenalkanku pada teman-temanmu. Kamu harus tahu meski cintamu sudah kuperjuangkan, aku tidak akan ragu untuk meninggalkanmu.

Hapus aku dari daftar calon istrimu, jika saat ini kamu berpikir menikahiku akan menyempurnakan separuh akidahmu sedang kamu enggan menimba ilmu untuk itu. Ilmuku tak banyak untuk itu dan aku ingin kamu jadi imamku, seorang pemimpin yang tahu kemana membawa pengikutnya.

Jangan jadikan aku sebagai istrimu, jika kamu berpikir bisa menduakan cinta. Kamu mungkin tak tahu seberapa besar aku mengagungkan sebuah cinta, tapi aku juga tidak akan menyakiti diriku sendiri jika cinta yang kupilih ternyata mengkhianatiku.

Jangan jadikan aku sebagai istrimu, jika kamu berpikir aku mencari kesempurnaan. Aku bukan gadis naif yang menunggu sang pangeran datang dan membawaku ke istana. Mimpi seperti itu terlalu menyesatkan, karena sempurna tidak akan pernah ada dalam kamus manusia dan aku bukan lagi seorang gadis yang mudah terpesona.

Jangan pernah berpikir menjadikanku sebagai istrimu, jika kamu belum tahu satu saja alasan kenapa aku harus menerimamu sebagai suamiku.



Saya pikir yang tertulis diatas penting untuk di pahami, karena komitmen akan rapuh jika hanya beralaskan siapa yang harus lebih untung dari siapa, harusnya bisa lebih dimengerti bahwa komitmen adalah janji untuk saling melengkapi hingga lupa jika ada kekurangan pada masing-masing diri.

Semoga bermanfaat.

Saturday, 3 September 2016

Ada yang Baru Saja Berakhir

Ada yang baru saja berakhir...

Tetes hujan dari daun yang menguning di teras rumah,
Basah bunga di kebun tak berpenghuni,
Teduh awan yang berarak,
Sejuk hawa menguar.

Ada yang baru saja berakhir...

Ramai menghening,
Senyap membising,
Senyum pura-pura menyungging,
Isi kening tiba-tiba bergeming.

Ada yang baru saja berakhir...

Tanya hanya sekedar tanda,
Segala asa memudar makna,
Dari ada menuju tiada,

Nyatanya...

Kini...

Tak ada kita untuk kita.


Haurgeulis, saat pagi masih terlalu pagi untuk berpuisi.
Nita Bonita Rahman

Wednesday, 17 August 2016

Pelik

Jika cinta hanya tentang tahu diri,
Lalu apa yang bisa dilakukan lumpur pada hujan?
Lumpur mencintai jernihnya air,
Sedang bercak lumpur tak di inginkan sesiapun untuk hadir.

Jika cinta hanya soal pantas dan tidak pantas,
Lalu apa yang bisa memadamkan api saat kobarnya mematikan,
jika bukan air yang menjadi jawaban?
Sedang kita semua tahu,
air dan api tak bisa menyatu,
tapi mereka bisa saling membantu,
tengok saja secangkir kopi dimejamu.

Duhai, begitu pelik perihal cinta,
Padahal si tuli butuh si buta,
Legam batu bara sama berharga dengan mutiara,

Tapi manusia adalah makhluk paling sok tahu dan selalu merasa paling benar pendapatnya,
Hingga membuat si tuli tak berani mengasihi suara,
Si bisu tak punya nyali mengenal kata,
Si buta memilih untuk tak peduli pada warna,
Dan si bingung semakin akrab dengan kebingungannya.

Lalu apalagi kiranya yang ingin dikata manusia,
Jika mereka tahu bahwa si bingung, si tuli, si bisu, dan si buta, adalah satu jiwa?





Haurgeulis, mencari kantuk.
Nita Bonita Rahman

Monday, 15 August 2016

Penasaran


Tak kubayangkan kau selayak pangeran, sebab aku tahu, aku tak serupa putri kerajaan

Tak kubayangkan kau sesholeh para nabi, sebab aku sadar diri, imanku tak setinggi para shalihati

Tak kubayangkan kau sesempurna malaikat, sebab aku paham sangat, bahwa aku tak selalu taat

Aku tak cukup berani menebak bagaimana indah rupamu, teduh tatapmu, sejuk tuturmu

Yang aku tahu, aku hanya harus menjadi sebaik-baik diriku, untuk bersanding dengan sebaik-baik kamu.

Tapi aku penasaran,

Siapa sesungguhnya yang sedari tadi kusebut "Kamu"?





Haurgeulis, awal pagi.
Nita Bonita Rahman










*Sumber foto: Salah satu post di Inspirasi.co

Sunday, 14 August 2016

Menjelang Pukul Tiga

Menjelang pukul tiga

Ini bukan kali pertama,
Di detik yang sama,
Lebih dari sekali dua,
Tetiba mata dan atap bersua.

Menjelang pukul tiga

Langit-langit kamar bergeming,
Derik jangkrik membising,
Harum malam merebak,
Detik jam merdu berdetak.

Menjelang pukul tiga

Kupikir gigit nyamuk adalah sebab,
Atau sebab dingin menjadi lembab,
Nyatanya salah,
Segalamu dipikirkulah yang berulah.

Menjelang pukul tiga

Aku merapal resah,
Mengurai gelisah,
Tentang segala indah,
Tentang kita yang entah.

Menjelang pukul tiga

Saat kelopak seluruh mata terlelap,
Aku larut sendu dalam senyap,
Tersebab rindu yang merayap,
Dalam sujud penuh harap,
Terasakah duhai, engkau, yang namanya lirih ku ucap?

Menjelang pukul tiga

Aku berdialog dalam simpuh,
Berharap segala tanya tak lagi ambigu,
Ku coba urai segala sendu,
Dalam mihrab rindu,
Tentang kau, yang barangkali jua tengah mengadu,
Atau tengah larut dalam lelapmu.

Menjelang pukul tiga

Saat segala doa yang diucap serupa panah yang dilepas dari busurnya,
Melesat cepat lajunya,
Menancap tepat pada titik sasarannya,
Semoga tentang kita demikian pula adanya,
Dipanjat untuk di Ridhoi-Nya.

Semoga.



Haurgeulis, menjelang pukul tiga.
Nita Bonita Rahman

Thursday, 28 July 2016

Yang Mengenal Paling Lama Tidak Menjamin Mengenal Paling Baik

Dulu, sebagaimana pandangan orang pada umumnya, saya percaya bahwa salah satu modal penting sebuah pernikahan adalah saling mengenal. Sebab, dari saling mengenal itulah bisa diukur kira-kira cocok atau tidak ketika si A menikah dengan si B. Dari saling mengenal itulah bisa lahir satu keyakinan bahwa si A dan si B bisa membangun rumah tangga yang harmonis. Putus-nyambung-putus-nyambung dalam sebuah hubungan yang disebut pacaran pun dianggap wajar sebagai ikhtiar untuk saling mengenal. Seolah sulit sekali mencari pasangan hidup yang—dirasa—tepat.

Setelah berbulan-bulan menjalani pernikahan, jatuh bangun membangun rumah tangga, saya rasa ide tentang ‘kewajiban saling mengenal sebelum menikah’ itu bukan satu hal yang mutlak. Apalagi sampai bertahun-tahun. Rasanya berlebihan sekali.

Dalam arti, saya kira hal itu sebenarnya bisa jadi urutan kesekian.

Saya pertama kali mengenal Vidia Nuarista di akhir tahun 2009. Saat itu, sekadar tahu nama, wajah, jurusan dan segelintir aktivitasnya di kampus. Lalu menjadi semakin kenal di tahun 2011, ketika kami sama-sama menjadi badan pengurus harian di sebuah organisasi. Saya wakil dan ia sekretaris. Tahun 2014, kami menikah.

Jadi, kalau dihitung-hitung, jarak yang terbentang dari jumpa pertama ke pernikahan lebih kurang lima tahun. Sementara jarak antara perkenalan yang lebih dalam ke pelaminan adalah tiga tahun.

Selama tiga tahun itu, ada banyak hal yang saya catat dari seorang Vidia Nuarista: bagaimana caranya bicara, bekerja, tertawa, menghadapi masalah, dan sebagainya. Termasuk jilbab warna apa yang membuatnya terlihat lebih anggun. Diam-diam dan sedikit demi sedikit saya mengumpulkan informasi itu. Hingga, akhir tahun 2013 bulatlah tekad saya untuk mendatangi ayahnya. Dalam proses itu juga kami berusaha untuk semakin mengenal lagi secara lebih terbuka. Sebagian informasi pribadi ditukar melalui tulisan, sebagian disampaikan secara lisan dalam pertemuan-pertemuan.

Semakin banyak informasi yang saya punya tentang Vidia Nuarista. Semakin saya percaya diri menghadapi pernikahan, karena merasa sudah sangat mengenalnya. Sampai ketika pernikahan telah berjalan beberapa minggu, kami sadar bahwa ada hal lain yang lebih penting dari saling mengenal: saling menerima.

Apa yang saya kenal dari seorang Vidia selama tiga tahun, rupanya tidak terlalu berarti. Berbagai catatan yang saya kumpulkan selama bertahun-tahun ternyata tak terlalu membantu saat kami berumah tangga. Sebab pernikahan selalu begitu. Ia akan memaksa sifat buruk kita keluar satu persatu, membongkar aib-aib yang telah lama kita simpan, hingga pelan-pelan kita sadar kita tak punya apa-apa lagi untuk disembunyikan.

Kami benar-benar merasa seperti dua orang asing yang baru bertemu.

Maka saya setuju sekali dengan apa yang dikatakan Salim A. Fillah, pernikahan adalah proses saling mengenal tanpa akhir. Dalam proses saling mengenal itu, tentu ada hal yang menyenangkan ada yang tidak. Ada yang membanggakan ada yang tidak. Sehingga proses saling mengenal yang tak didahului oleh kesiapan untuk menerima hanya akan melahirkan perasaan kecewa, yang jika ditumpuk lama-lama akan sangat berbahaya.

Jadi, jika saya yang hina dan penuh dosa ini boleh memilih satu nasihat untuk disampaikan kepada teman-teman yang hendak menikah, barangkali pesan saya seperti ini:

Daripada kita habiskan waktu bertahun-tahun untuk saling mengenal, padahal itu tidak menjamin apa-apa kecuali peluang untuk melakukan dosa, lebih baik kita membangun kesiapan untuk menerima. Sehingga siapa pun yang kelak menjadi teman kita dalam membina rumah tangga, apakah kita sudah begitu mengenalnya atau baru sekadar tahu nama, ia akan bahagia karena kesediaan kita menerima ketidaksempurnaanya. Bahwa di dalam diri kita ada jiwa yang begitu lapang, yang siap menampung berbagai cerita, mimpi, amarah, keluh, kesah, luka dan air mata.

-Azhar Nurun Ala-

Insyaallah ada ilmu yang bisa diambil.

Haurgeulis, menjelang petang.

Friday, 1 July 2016

Patah

Selamat malam, Juli.
Mengapa kau murung tertutup mendung?
Sedang harusnya malam ini serupa malam seribu bulan. Kau semestinya indah tak terperikan.

Selamat malam, Juli.
Malam ini aku susah terpejam, entah sebab buku yang kubaca menarik untuk terus ku jelajah,
Atau karena ada harap yang pelan-pelan sekali menuju patah.

Selamat malam, Juli.
Malam ini kau begitu dingin,
Entah sebab memang mendung diluar sana,
Atau karena tak ada juga notifikasi favorit pada ponsel yang berulang-ulang kubuka.

Selamat malam, Juli.
Sejak 9 minggu lalu, aku mengancam diri agar tak berharap kecuali pada Yang Satu,
Sejak ada yang datang tiba-tiba di malam itu, aku galak menyuarakan hatiku untuk tidak jatuh.
Sayang, Juli.. aku, kau tahu, mudah meluluh.

Kini, Juli..
Setelah merapal segala tanya, nampaknya Tuhan mulai menjawab.
Tentang kita, Ia jawab sudah.

Kini, pantaskah tentangnya kusebut layu, sedang Ianya belum sempurna berkembang?

Juli.. Aku, patah..

Haurgeulis. Malam 27 Ramadhan 1437 H.

-Nita Bonita Rahman-

Monday, 6 June 2016

Sebuah Maaf dari Lisan yang Lancang Bicara

Malam ini adalah malam kedua Ramadhan, dan seperti Ramadhan biasanya, semua hati menyambut dengan suka cita, sebab pintu maaf milik-Nya terbuka selebarnya, dan pintu neraka tertutup serapatnya, umat muslim bergembira menyambutnya, tapi sayangnya, suka dan cita milik saya terasa hambar rasanya.

Beberapa hari sebelum bulan nan suci ini datang, lazimnya orang-orang bermaafan, saling bertukar senyum sapa penuh kehangatan, tapi bodohnya, yang saya lakukan justru berlawanan, saya menyayat sebuah hati dengan lancangnya saya berlisan.

Bodoh, sekejap saja, lisan saya melukai sebuah kepercayaan, orang bijak berpikir sebelum bicara, sedang saya, bicara tanpa berpikir, pedih rasanya ketika menyadari sebuah kesalahan justru setelah kesalahan itu terjadi, dan semakin pedih ketika kalimat darinya saya baca ulang,

"Mulai saat ini, kepada kamu, saya tidak akan bicara tentang segala kepedihan saya lagi!"

Remuk. Saya merasa menjadi manusia paling tidak punya guna.

Rasanya tidak perlulah kalian tahu perihal apa yang kami debatkan, sebab saya hawatir kalian ikut sepakat bahwa saya memang tidak pantas untuk dimaafkan, kalian hanya cukup tahu, bahwa saya sedang merasa berantakan.

Di malam kedua Ramadhan ini, saya memberanikan diri menuang resah lewat tulisan ini.

Kepada kamu yang tersayat sebab lancangnya mulut ini bicara, lebih dari tiga hari sudah nama kamu tidak muncul di notifikasi ponsel saya, lebih dari tiga hari sudah kita tak bertukar sapa, lebih dari tiga hari sudah saya merasa amat hina.

Ramadhan tahun lalu saya pernah berkata: "Setelah kamu pergi Ramadhan tahun depan rasanya pasti tidak akan sama lagi", dan sekarang, pedihnya, prediksi saya benar sekali.

Saat menjejakkan kaki dan memilih shaff untuk sholat tarawih, pedih itu menjalar ke dalam hati, kini tidak ada lagi kamu disamping saya yang terus menguap sebab kelelahan bekerja seharian, tidak ada lagi kamu yang bercerita tentang baru saja kamu melihat sebuah mukena yang kamu sebut indah dengan katun jepang sebagai bahannya, tidak ada lagi sms soal akan berangkat tarawih jam berapa, sudah di masjid atau perlu dijemput, kamu dinas pagi atau masih di klinik, butuh camilan atau sudah kenyang dengan menu berbuka dirumah, akan kemana setelah usai urusan ibadah malam ramadhan kita, adakah hal yang mengganjal dihatimu untuk dituang meski hanya sedikit saja. Tidak ada lagi.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, dimalam kedua Ramadhan ini cukuplah sudah segala resah yang saya paksa untuk terlihat baik-baik saja, cukuplah sudah segala dingin sikap kamu yang saya terima, cukuplah sudah segala rasa bersalah yang saya rasa.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, mohon maafkan saya yang tidak memiliki telinga sebaik telinga yang kamu punya, mohon maafkan saya yang tidak bisa menjadi pendengar yang sebaik kamu minta, maafkan saya yang tidak becus menjadi seorang teman seharusnya.

Kepada kamu yang sudah saya lukai hatinya, sebenarnya bisa saja saya memposkan sebuah surat ke Jogjakarta, sebuah surat berisi kalimat manis penuh permintaan maaf, tapi saya lebih memilih untuk menuliskannya disini, bukan karena tidak berani, tapi hanya demi orang tahu bahwa saya adalah teman yang tidak tahu diri.

Kepadamu yang sudah saya buat sedih, semoga kamu sudi menerima permintaan maaf ini.

Selamat Ramadhan, dan lekas pulang dengan gelar sarjana yang kamu perjuangkan, Rul.

Haurgeulis, 1 Ramadhan 1437 H.

-Nita Bonita Rahman-

Saturday, 21 May 2016

Sepenggal Kisah (Sejuk dalam Terik)

Sabtu malam ini berjalan seperti malam biasanya, hanya agak berbeda dengan hujan yang menyapa sejak senja, dan saya memilih menghabiskan malam ini bersama buku yang belum rampung dibaca. Buku karya Fahd Pahdepie, judulnya agak ekstrim untuk di ambil kesimpulan, tapi dont judge a book by its title yaa. Judulnya "Rumah Tangga", dan dont judge me by what i read, ini cuma semacam buku persembahan dari seorang suami (yang adalah si penulis) buat istrinya, saya sih ngoreh-ngoreh ilmunya aja. Dan malam ini saya tiba di part yang berjudul "Suami yang Paling Menyejukan Hati", aduh, lagi-lagi jangan nilai dari judulnya, karena ada sesuatu yang menurut saya menarik untuk dibagi tentang part ini. Penasaran? Lets read!

Book title: Rumah Tangga
Part: Suami yang Paling Menyejukan Hati
Page: 196-197

Istriku, ini kisah Nabi Muhammad dan istrinya.

Selazimnya, para istri yang menunggu suami mereka selepas perjalanan perang, di musim panas itu, Aisyah menunggu Rasulullah di perbatasan kota Madinah. Setelah beberapa lama menunggu lelaki yang paling dirindukan Aisyah pun tiba di hadapannya.

Setibanya di rumah, setelah Baginda Nabi melepas baju perang, lalu menurunkan perbekalan, Aisyah menyuguhkan segelas minuman manis nan segar untuk suami yang begitu dicintainya. Tanpa menunggu lama, Rasulullah pun meminumnya.

Sambil memperhatikan kekasihnya minum, Aisyah tampak menunggu sesuatu. Biasanya Muhammad Rasulullah akan menyisakan setengah gelas minuman yang disediakan Aisyah untuk diminum berdua bersama istri kesayangannya itu.

Namun, kali ini sang Nabi tampak menenggak gelasnya lebih lama dari biasanya. Hingga lewat setengah gelas, Aisyah tetap menunggu, tetap menunggu, barangkali suaminya lupa sesuatu... namun, ternyata Rasulullah terus saja meminumnya sendirian.

Sebelum minuman di gelas sang Nabi habis, Aisyah yang gelisah tak bisa lagi menyimpan pertanyaannya, "Ya Rasul, biasanya engkau menyisakan minumanmu untuk kuminum?"

Mendengar pertanyaan istrinya, Muhammad Rasulullah berhenti sejenak. Dengan gelas yang masih di bibirnya, sang Nabi hanya melirik Aisyah dengan ujung matanya, lalu melanjutkan lagi minumnya dengan lahap.

Aisyah tampak gusar, kali ini ia merasa ada yang berbeda dengan suaminya itu. "Wahai Rasul, mengapa engkau tidak berikan gelas itu agar aku bisa minum dari gelasmu, seperti biasanya?"

Mendengar istrinya yang terus merajuk, Rasulullah Muhammad akhirnya berhenti, lalu menyisakan sedikit air di gelasnya. Tanpa menunggu lama, Aisyah segera mengambil gelas itu, lalu mulai meminum airnya.

"Rasanya asin sekali!" Aisyah seketika memuntahkan air yang baru saja diminumnya. Ternyata, hari itu Aisyah keliru memasukkan garam ke dalam minuman suaminya!

Aisya yang merasa bersalah segera meminta maaf, Rasulullah menganggukkan kepalanya sambil menatap istrinya dengan penuh kelembutan.

Sementara lelah belum hilang dari punggung sang Nabi, siang itu terik matahari menampar-nampar kota Madinah. Namun, dirumah Muhammad dan Aisyah, akhlak seorang suami telah menjadi sesuatu yang paling menyejukkan hati.

Demikianlah, meski masih jauh dari akhlak Muhammad, mudah-mudahan aku bisa meniru jejaknya untuk menjadi sebaik-baik manusia, dengan perangai dan budi pekerti yang paling menyejukkan hati. Sebagaimana sabdanya, "sebaik-baik kalian adalah yang terbaik bagi istrinya dan aku adalah yang terbaik antara kalian terhadap istriku".

Demikian.

Sepenggal kisah dalam sebuah part buku yang saya baca malam ini. Menurut saya ini baik untuk dishare dan dibaca banyak orang, sebab kisah nabi selalu lebih dari baik untuk di ambil ilmunya. Semoga tulisan ini bukan sekedar bikin baper tapi juga bermanfaat.

Nita Bonita Rahman.
Haurgeulis, menjelang tidur.

Selamat Malam!

Tuesday, 5 April 2016

Surat Cinta untuk Seseorang dalam Lamunan

Apalagi yang bisa dikata jika lisan sudah nyaris kebingungan harus merapal apa, pada hati yang terus bergumam, aku harus memohon maaf, sebab kuputuskan gumamannya kini ku suarakan dalam sebuah surat dengan penerima tanpa nama. Surat ini, untukmu.

Selamat malam kamu yang kelak menjadi imam di masa depanku..

Apa kabar? Aku harap kamu baik-baik saja, karena aku belum bisa merawatmu jika memang kamu sedang kenapa-napa, aku hanya bisa berharap kamu sehat dan baik-baik saja dari sini, dari sudut yang entah saat ini kita berjarak sejauh mana, jarak yang masih menjadi rahasia yang kelak akan terkuak saat kita dipertemukan pada jamuan sakral setelah jabat tanganmu terlepas dari tangan bapakku seusai akad. Untuk saat ini biar jarak antara kita tetap menjadi rahasia. 

Selamat malam, kamu..

Malam ini entah kenapa aku amat ingin berbincang denganmu, berdiskusi tentang kita. Malam ini aku sedang rindu ber-aku-kamu dengan seseorang, diluar juga cuaca sedang bersahabat, sebab kini dibumi bagian kuberpijak semestinya sudah usai dari musim penghujan, namun semakin hari, alam semakin sulit ditebak, hingga beberapa hari lalu, hujan masih saja menyapa membuat bingung para ibu yang ingin mengantar anak mereka kesekolah dan para bapak yang sudah bersiap berangkat kerja, namun malam ini berbeda, bulan mengintip malu-malu, gemintang berkelip genit tersipu, mereka bertebaran membentuk gugusan yang syahdu, malam amat cantik diluar sana, dan jika kau ingin tahu, aku menikmati keindahan malam ini dengan ditemani segelas bajigur hangat yang tak pernah bosan ku sesap, dan rasanya terlalu mubazir jika malam seromantis ini hanya ku nikmati seorang diri, sebab ibuku sedang menemani adik bungsuku mengerjakan PR, adik perempuanku tengah sibuk dengan tugas sekolah di kamarnya, dan bapakku tak mungkin mau kuajak duduk berdua menikmati malam, televisi lebih menarik perhatiannya. Bingung ingin berbincang manis dengan siapa, maka ku tulis saja surat ini untukmu, untuk kamu seseorang yang kelak akan ku panggil “Kanda”, untuk kamu seseorang yang genggamannya saat ini amat ku rindu sekalipun belum pernah ku sentuh, kamu yang kelak tatapannya menjadi tempat favoritku untuk berteduh, kamu yang senyumnya aku yakin akan selalu berhasil membuatku mati kutu, kamu yang kelak dihatimu aku terpaku, kamu yang akan menjadi nahkoda dalam bahtera yang kunaiki untuk menuju Jannah-Nya. Seseorang itu kamu. Ya, kepadamu surat ini dituju.

Saat ini kamu sedang apa? Aku harap kamu tidak sedang sibuk, dan kamu memiliki waktu untuk sejenak membaca surat cinta dariku ini untukmu, tidak banyak yang akan ku utarakan, karena bukankah lebih manis jika kita membahas banyak hal saat tidak ada lagi jarak yang menghalangi mata kita untuk saling menatap, dan saat tidak ada lagi waktu yang mengganggu kita untuk duduk berdampingan dengan jemari yang saling bertaut?  Dan dalam surat ini pun aku tidak ingin banyak bertanya, karena toh akhirnya semua pertanyaan hanya akan menggantung dilangit-langit kamarku seperti malam-malam biasanya, kan? tapi bukan berarti tidak ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, surat ini hanya tentang sedikit resahku, resah yang sudah hampir sesak kuperbincangkan seorang diri.

Untuk kamu yang sungguh aku belum tahu siapa dan bagaimana kamu berupa, saat ini aku amat ingin melegakan sedikit sesak, sesak yang aku rasa hanya kamu yang bisa melegakannya walau kita sama-sama belum pernah bersua, ah...  jangankan berjumpa, membayangkan parasmu seperti apapun aku tak bisa, namun bagaimanapun kamu, kelak aku yakin aku adalah wanita paling beruntung dimiliki olehmu, menjadi pendampingmu, menjadi ibu dari anak-anakmu, dan menjadi permaisuri di istana kita. Aku yakin itu.

Oh ya, tentang resahku, entah mengapa aku selalu hawatir kelak saat jarak bukan lagi masalah untuk kita, saat kita selalu bersama dari awal membuka mata hingga malam kembali memeluk kita, aku resah dan khawatir kamu tidak bisa menerimaku, menerima aku dengan segala kurangku, kamu perlu tahu beberapa hal tentangku, akan ku ceritakan disini, tapi yaa beberapa hal saja, banyak hal lainnya biar nanti saja ku ceritakan, saat kita sudah hidup dibawah atap yang sama, menatap bintang dari tempat yang sama dengan menyesap dua cangkir bajigur, berdampingan. Kamu perlu tahu, aku adalah orang yang ceroboh dan mudah lupa, sering sekali saat ku taruh sebuah barang, 5 menit kemudian sudah lupa kuletakkan dimana, selalu harus dua kali mengerjakan sesuatu karena pasti ada saja  kesalahan pada hal yang kulakukan di kali pertama, kau juga harus tahu, aku adalah orang yang sulit fokus pada suatu hal, tapi jika sudah sekali kufokuskan, aku akan lupa pada banyak hal, dan aku adalah wanita yang mudah sekali panik, misalnya saja aku bisa panik jika ada teman yang kehilangan sesuatu, kerena aku juga seorang yang perasa, aku akan panik karena berpikir apakah aku yang menghilangkannya? sebab aku yang selalu mudah lupa menaruh sesuatu? Huft.. seberantakan itulah aku, dan yaa kamu memang harus tahu itu, resah rasanya menyadari segala hal ceroboh yang bersarang ditubuhku ini.

Itu sedikit “bocoran” tentang apa yang melekat ditubuhku, “bocoran” yang terlihat dan orang lainpun dapat menilainya dengan cepat. Kini saatnya aku bawa kamu mengenal sedikit tentang apa yang tidak bisa terlihat dengat kasat mata oleh orang lain tentang aku, kuajak kamu berbincang sedikit tentang urusan batinku, lagi lagi, sedikit saja, aku tidak ingin kamu tahu terlalu banyak, sebab aku hanya ingin menceritakan semua jika kita sudah bersama, agar aku bisa melihat bagaimana sorot matamu saat tahu bahwa aku memang jauh dari sempurna. Ini perihal perasaan, tentang hal itu kamu harus tahu bahwa kelak saat kita dipertemukan, kamu bukanlah yang pertama singgah dihatiku, aku miliki kisah lalu, sama sepertimu, aku yakin begitu. Sebelum bertemu denganku aku yakin pernah ada nama lain yang singgah dihatimu, bukan?

Ya, aku pernah jatuh cinta pada seseorang sebelum kamu, sungguh maafkan aku atas apa yang telah ku lakukan itu, ku akui aku hanya perempuan biasa yang mudah luluh, walau aku tahu tidak semua perempuan begitu, namun nyatanya aku memang bagian dari mereka yang selalu tersipu mendengar puji, dan selalu mudah terbuai jika di suguhkan janji. Selain surat cinta, bolehlah surat ini disebut sebagai sebuah surat pengakuan terbuka, dan aku harap kamu tidak jengah membacanya. Selain pernah jatuh cinta, sebelum bertemu denganmu aku juga pernah amat sangat terluka, pernah ada diposisi kebingungan dalam harapan yang ku buat sendiri, perlu kamu tahu, bahwa aku adalah wanita yang sangat sensitif dengan komitmen, dan aku harap kamu bukan orang yang menyepelekan hal itu. Aku pernah disuguhkan segunung janji, dan bagiku, janji adalah hal yang tidak main-main untuk di ucapkan, sekali ia terlisan, hatiku akan membangun tinggi sebuah harapan, bisa kau bayangkan setinggi apa harapan yang kubangun untuk janji yang kuterima sebesar gunung? 
Oh, duhai, Kanda... sebentar, aku membahas tentang ini sama sekali bukan bermaksud membuatmu cemburu, aku menulis ini hanya agar kamu tahu apa-apa yang aku rasa sebelum ada kamu, dan aku sangat berharap kamu bukan orang yang demikian mudah mengucap janji, aku harap kamu adalah pria yang menjaga betul lisanmu dan menghargai kaumku. 

Pun bukan, aku menulis ini untukmu bukan untuk membahas tentang masa laluku, justru aku ingin membuat kamu tahu bahwa sekarang aku sudah baik-baik saja, hatiku sudah sembuh dari patahnya, surat ini kutulis untukmu pun demi kamu tahu bahwa aku telah siap mengarungi masa depan bersamamu, teramat siap bahkan, hingga aku amat berani dengan gamblang menulis surat ini untukmu, membiarkan dunia ikut membaca keresahan dan inginku padamu padahal aku belum tahu siapa kamu. Bahkan lebih dari itu, kamu harus tahu, dan bolehlah aku kau sebut gila, sebab sangking siapnya aku menapaki masa depan bersamamu, aku sudah miliki nama untuk seorang bayi perempuan mungil yang akan meramaikan rumah kita. Kau ingin tahu siapa? Bisalah jawaban dari pertanyaan ini kau jadikan semangat untuk menjemputku segera ;)

Namun aku sadar, kita tak boleh tergesah, sebab kata Murabbiyahku tergesah adalah sifat setan yang tak patut kita mengikut, aku tak sedikitpun bermaksud memaksa atau memintamu datang segera tanpa persiapa apa-apa, aku tahu Allah sebaik-baik pembuat rencana, Dia tahu kita sama-sama belum mampu, kita sama-sama masih rapuh. Maka lewat surat ini, dengan segenap cinta yang kupunya aku sungguh memintamu tetap istiqomah, sebab kata orang jodoh itu persis sama, jika sang arjuna terluka, maka sang permaisuripun tidak akan merasa baik-baik saja, maka kuminta kau tegar dalam keistiqomahan, tidak mudah goyah pada segala prinsip baik yang kamu yakini, kuat dalam memegang aqidah yang agama kita atur, agar disini, aku, tulang rusuk kirimu yang bengkok ini turut merasakan segala kuatmu, segala keteguhanmu, walau aku tidak tahu bagaimana caranya keteguhan kita bisa saling terhubung, tapi aku yakin janji Allah itu benar, bahwa perempuan baik untuk pria baik, maka pria teguhpun untuk wanita yang teguh, kan?

Dan lewat surat cinta ini, selain karena ingin menyampaikan sedikit resah, juga ada batin yang teramat ingin berbincang denganmu menguak satu tanya, dan ada fisik yang kelelahan sebab tersiksa dipaksa untuk terlihat baik-baik saja sedang rindu berserakan dalam dada, menanti jawab penasaran, sesungguhnya kapan kita akan bersua? 

Entah rasa ini harus kusebut apa, jika rindu, orang bilang itu hanya untuk yang pernah saling temu, namun kita berbeda, aku merasa kita belum pernah bersua, tapi akan tetap kusebut segala keresahan ini sebagai rindu, jika tetap ada yang tidak terima, kan kuberitahu mereka bahwa kita pernah berjumpa, kita pernah satu dilauhul mahfudz-Nya, sebelum akhirnya Allah memisahkan kita, demi menguji radar rindu kita didunia sekuat apa.

Maka harusnya kini aku bebas berkata tanpa cemas dengan komentar mereka, aku bebas menyuara segala resah lewat surat yang tiap aksaranya kususun sedemikian rupa, demi menyampaikan satu rasa, aku rindu hadirmu, duhai, Kanda.

Haurgeulis, Ba'da Isya.

-Nita Bonita Rahman-

Friday, 1 April 2016

Kejutan Awal April

3 tahun yang lalu, saat aktif-aktifnya di dunia twitter, saya menemukan akun First Online Self Publishing yang benar-benar care dengan mereka yang bermimpi menjadi penulis, adalah nulisbuku.com tempat para calon penulis berani mempublish mimpinya. Saya masih hafal, dulu, setiap hari Selasa malam, mereka mengadakan event #FF2in1 setiap pukul 21.30 WIB, sebuah event menulis 2 buah Flash Fiction dalam 1 jam dengan tema yang ditentukan oleh mereka, bisa dari judul lagu, juga puisi. 

Dulu saya hanya sebagai silent reader dan secret admire dari mereka yang rajin mengikuti event itu, sampai pada satu masa dengan segala ketidak pantasan, saya memberanikan diri berkenalan dengan beberapa penulis disana yang rajin menulis dan mengirimkan karya-karya hebatnya, hingga akhirnya saya berkenalan dengan Mbak Destini Puji Lestari (semoga mbaknya nggak lupa), penulis FF terbaik pada event #FF2in1  saat itu, dan ternyata perkenalan kita masih berlangsung hingga hari ini didunia maya. 

Ah, rasanya tidak ada habisnya berbincang tentang masa lalu, sebelum tulisan ini di posting, sejak 3 tahun yang lalu tidak ada yang tahu bahwa saya hanya bisa menjadi pembaca dan pengagum, serta berharap suatu saat akan menjadi bagian dari salah satu penerbit yang bereputasi baik dikalangan penulis best seller itu. Dan nayatanya, kejutan yang dibawa waktu benar tidak ada yang tahu, setelah 3 tahun berlalu, hari ini saya diberi kabar bahwa karya saya bersama 9 penulis terpilih lainnya dalam Antologi Cerpen bertema Ibu berjudul "Perempuan Merah" selain bisa didapatkan dengan cara mendownloadnya dalam bentuk e-book di Google Play, ternyata juga buku dalam bentuk fisiknya menjadi bagian dari Nulisbuku.com dan dijual disitus resminya!!

Ada haru yang diam-diam saya sembunyikan sendiri untuk kemudian saat ini saya bagi. Nyatanya sungguh benar bahwa ucapan adalah doa dan kita adalah apa yang kita pikirkan. Dan bonusnya adalah cerpen saya duduk manis diurutan nomor 1. Alhamdulillah aala kulii haal :")

Terimakasih untuk teman-teman yang sudah suka rela mendukung cerpen saya saat itu, tanpa dukungan kalian cerpen saya hanya berakhir dalam draft :) 
Dan terimakasih juga untuk kalian yang sudah berkenan membaca tulisan ini, semoga tidak dinilai berlebihan (re: lebay atau pamer).

Penasaran dengan cerpen saya? selamat berkunjung dan berbelanja di: http://nulisbuku.com/books/view_book/8472/perempuan-merah 
dan jangan lupa download e-booknya di: https://play.google.com/store/books/details?id=jXhzCwAAQBAJ



Saturday, 26 March 2016

Seindah doa. Kamu.

Mereka bilang, aku pandai meramu kata,
Tapi anehnya, setiap mencoba mengeja tentangmu, aku tetiba buta.

Mereka sebut, aku mahir berima,
Tapi ajaibnya, aku selalu linglung setiap mencoba mendeskripsi bagaimana indahnya kamu berupa.

Aku pernah mencoba menyamakanmu dengan pelangi, namun nyatanya kamu lebih indah.

Aku pernah mengistilahkanmu dengan embun pagi, namun nyatanya kamu lebih teduh darinya.

Lalu aku bingung harus menyerupakanmu dengan apa, maka kucoba menjelaskanmu dengan sederhana, kusebut kamu adalah doa, yang indahnya hanya bisa kumengerti saat masa depanku tiba.

Aku yakin, kamu seindah itu kan, Kanda?



-Nita Bonita Rahman-


Photo by: Fan page Facebook Yogyakarta

Monday, 15 February 2016

Tentang Malam di Mata yang Patah Hati

Bagi sebagian orang yang telah lelah berkutat pada aktivitasnya sepanjang hari, malam selalu menjadi waktu yang paling mereka tunggu, sebab punggung akan merebah pada nyamannya tempat tidur, langit-langit kamar akan menghipnotis mereka untuk terpejam, desah angin halus membisik senandung yang membuat kelopak mata sungguh berat untuk ditahan, meminta diri mereka untuk terlelap demi melepas segala beban yang mereka pikul hari ini, memasrahkan diri untuk terbuai dalam mimpi, terasa nikmat sekali bagi mereka yang sudah dengan amat rela menukar keringat mereka demi sesuap nasi dan kebahagiaan orang-orang yang mereka cintai.

Namun padaku, malam terlihat ketus, ia memaksa diri mengingat banyak kenangan. Malam membuat hening menjadi lebih asing dari biasanya, membuat suara detik jam yang menempel pada dinding menjadi amat memuakkan kedengarannya.

Orang bilang, waktu akan berbaik hati mengobati hati yang patah dan terluka, namun nyatanya bagi hati yang terlanjur patah, malam adalah waktu paling memuakkan, pada diri yang patah hati, saat ingin segera terlelap, malam membuat tubuh merespon sebaliknya. Malam selalu tidak berbaik hati kepada mereka yang baru saja patah hati, dinding kamar menjadi terlihat lebih suram dari biasanya, langit-langit kamar menjelma menjadi layar tempat pikiran memproyeksi banyak kenangan, lampu ditengah ruangan memendarkan cahaya ke setiap sudut ruang membuat mata yang digelayuti mendung kesenduan dan raut yang amat berusaha menutupi gurat kecewa menjadi terlihat amat jelas, suara detik jam yang menempel pada dinding pun menjadi nyanyian yang begitu menusuk keheningan.

Ceritaku masih sama, topiknya masih itu-itu saja, tentang waktu dan kamu, yang padahal aku sering berbisik dalam hati, berucap bahwa kelak bersamamu aku yakin aku tidak akan membutuhkan siapa siapa lagi, namun justru kini aku membutuhkan banyak orang, siapapun, untuk membantuku sedikit saja lupa, sedikit saja tak perlu muluk-muluk, membantuku lupa bahwa kamu pernah ada, bahwa kita pernah saling menaruh harap.

Ah, malam.. seketus apapun ia padaku, kamu harus tahu bahwa kepadanya aku menitip salam untukmu, dalam heningnya, aku bercerita tentang kamu, kepadanya aku berkata, bahwa namamu pernah menjadi diksi yang paling indah untuk ku tulis, sebelum kini menjadi kata paling memuakkan untuk ku dengar.

Aku harap malam segera berakhir, sebab ada daun-daun hijau yang ingin segera kusapa, ada kicau burung yang ingin segera ku dengar. Aku harap malam segera berakhir, sebab ada asa baru yang ingin segera kujemput, ada segar wangi kelopak bunga yang ingin segera kuhirup.

Dan aku harap malam cepat usai, sebab aku ingin segera melepasmu dari menjengahkannya malamku, aku ingin melepasmu seperti bunga yang merelakan embun pagi mengering dikelopaknya saat mentari mulai menyapa, tak lagi terlihat, meresap dalam senyap. Aku harap kamu menguap bersama banyak harap.

Indramayu, tengah malam, dilatar suarai derik jangkrik.

Nita Bonita Rahman