Monday, 22 December 2014

Pesawat Impian Kiclik

   Kaki-kaki mungil berlari dengan telanjang kaki dijalanan desa tak beraspal yang ditumbuhi rumput alang-alang liar dikanan kirinya, mereka berlari dengan terus mendongak ke atas sambil berteriak riang memanggil burung besi yang melintas diatas awan, tak peduli terik matahari juga kerikil yang menusuk kaki, suara sengau bersahutan beradu satu sama lain mencoba menyeru paling keras walaupun yang dipanggil tetap melaju dengan gagah, hanya meninggalkan garis bekas lajunya diawan, namun mereka tidak peduli, mereka tetap merasa riang, begitulah masa anak-anak, bagaimanapun keadaannya mereka hanya melakukan apa yang membuat mereka bahagia. Pesawat terus melaju membawa kaum elit yang sedang menikmati perjalanan dengan dilayani pramugari cantik nan jelita didalamnya, kaum yang bahkan pedulipun tidak pada teriakan-teriakan dibawahnya. Kiclik, si bocah berbadan kurus berlari paling depan memimpin teman-temannya, dia berlari bak komandan membawa prajurit, “Pesawaaat... Pesawaaat...” hingga yang dipanggil-panggil hilang tertutup awan, bahagia sekali raut muka mereka, terlebih Kiclik.. sering dia bercerita pada teman-temannya jika sudah besar nanti dia ingin menjadi pilot, begitupun saat gurunya menanyakan soal cita-cita, Kiclik akan berdiri dengan yakin dan menjawab “Saya ingin menjadi pilot, bu!”.

   Begitulah Kiclik dan obsesinya terhadap pesawat, dia amat ingin mengemudi burung besi itu, selain terkagum dengan kehebatan pesawat yang dia tahu, sesungguhnya ada alasan lain mengapa dia ingin menjadi pilot. Alasan manis dari anak seusianya, dia belum memahami cita-citanya akan sesulit apa untuk diraih, dia hanya tahu dia memiliki cita-cita dan dia sangat ingin mewujudkannya. Pesawat mulai hilang tertutup awan, Kiclik dan pasukannya menghentikan lari mereka, merelakan sang gagah terbang melanjutkan perjalannya.

   “Assalamualaikum..” Kiclik membuka pintu rumah dengan nafas tersengal.

   “Wa’alaikumsalam, dari mana nang? Capek sekali rupanya..” Panggilan nang adalah panggilan untuk anak laki-laki kecil didaerah Kiclik tinggal. Perempuan berumur senja menyambutnya. Dia adalah Mih Asih, nenek yang akrab Kiclik panggil “Mimih”. Kiclik tinggal bersama nenek, kedua kakak dan juga ayahnya dirumah kecil berdinding anyaman bambu disebuah desa diujung barat Indramayu.
           
   “Tadi aku mengejar pesawat bersama teman-teman Mih, pesawat itu terbang tinggi sampai menembus awan..” Kiclik bercerita dengan penuh antusias, matanya membulat menampakkan kekaguman.

   “Makan dulu nang, sudah siang. Lalu istirahat, jangan lupa jam 3 kamu harus berangkat mengaji ke madrasah..” Mimih tersenyum, sedikit menahan getir mendengar alasan mengapa Kiclik pulang dengan tersengal, mimih sangat hafal jika Kiclik sudah melihat pesawat maka dia akan terus bercerita, mimih tidak bosan, justru mimih bahagia cucunya pandai berbicara, senang bercerita dan amat riang, namun mimih sedih jika mendengar Kiclik bercerita tentang cita-citanya yang pasti sepaket dengan alasannya. Dari pada hanyut dalam sendu mimih lebih memilih megganti topik, berharap Kiclik berganti fokus, namun sayang segala hal tentang pesawat yang Kiclik tahu sudah terlanjur menempel tak bisa lepas dari angannya.

   “Pesawat itu besar sekali mih, lebih besar dari yang aku lihat saat pulang sekolah kemarin! Nanti saat menjemput ibu aku ingin memakai pesawat sebesar itu agar ibu bisa duduk santai dan nyaman didalamnya, agar ibu tidak kelelahan..” Benar saja, bagaimanapun mimih mencoba mengalihkan pembicaraan Kiclik tetap menyerocos,  kemudian menenggak  segelas air setelah menyelesaikan ceritanya, dia berucap amat yakin seakan esok rencana itu pasti terjadi, dia sangat semangat hingga air yang diminum menumpahi bajunya.

   “Pelan-pelan clik, nanti kamu tersedak..”

   “Pokoknya aku harus jadi pilot!” Kiclik berlarian dengan membentangkan tangan berimajinasi layaknya pesawat, mimih menunduk sedih dengan tangannya tidak berhenti membungkus keripik yang akan dijajakan dipasar esok hari.

   “Aamiin..” Mih Asih berucap lirih hampir tak terdengar. Mata senjanya berkaca-kaca, terasa sedih hatinya karena setiap mendengar cita-cita Kiclik mengingatkan pada Sumarni, ibu Kiclik yang tak lagi ada kabar beritanya, kabar terakhir yang datang langsung darinya adalah saat Kiclik berumur 5 tahun. Saat itu Sumarni mengabarkan belum juga bisa pulang.

   Kiclik adalah anak seorang TKW yang bekerja diluar negeri, 6 tahun sudah dia berpisah dengan sang ibu. Ibunya meninggalkan Kiclik sejak dia berusia 3 tahun, hingga kini dia duduk dibangku kelas 4 SD ibunya tak kunjung pulang. Tidak ada orang yang ingin terpisah jauh dari keluarga, jangankan berbeda negara, berbeda kotapun rasanya tak kuasa jika rindu datang melanda, tapi apalah daya jika faktor ekonomi adalah alasan utama, toh untuk kebahagiaan keluarga juga. Kiclik adalah bungsu dari 5 bersaudara, kakak pertamanya sudah berkeluarga dan hidup didesa sebelah, kakak keduanya meninggal dunia menderita penyakit langka, kedua kakak lainnya seharusnya masih duduk dibangku SMA namun mereka memutuskan untuk berhenti sekolah karena kurangnya biaya, salah satunya memilih untuk bekerja menjadi buruh kasar dipasar, sedang kakak terakhirnya menjadi kuli cuci dirumah tetangga. Mereka hidup sangat sederhana, bahkan cenderung susah.

   Tidak terpikir sebelumnya dibenak Mih Asih harus terpisah jarak yang begitu jauh dengan anak yang dicintainya, awalnya Sumarnipun tak berniat menjadi TKW, namun ekonomi keluarga yang sangat menghimpit dengan tanggungan yang banyak dan suami yang hanya pedagang asongan dengan penghasilan tidak menentu membuatnya berani mengambil keputusan, 6 tahun lalu dia mendengar berita bahwa temannya setelah pulang dari negeri orang hanya dalam 2 tahun mampu membeli sawah, bahkan berhaji, dari situ Sumarni tertarik untuk mengikuti jejak temannya, namun rezeki setiap manusia berbeda-beda, Sumarni tidak seberuntung temannya, perjanjian kontrak kerja hanya 2 tahun namun nasib berkata lain, hingga kontrak kerja berakhir Sumarni tak juga pulang karena majikannya menahannya dengan berbagai alasan, katanya Sumarni tercatat sebagai TKW ilegal dan dokumen-dokumen yang dia miliki tidak sah dan dokumen itupun ditahan sang majikan, disana ia diperlakukan dengan tidak menyenangkan, sempat ia mencoba kabur namun malang, majikannya mengetahui, disiksalah ia, diperlakukan selayak binatang. Selama bekerja Sumarni hanya mengirim uang sebanyak 6 kali, itupun tidak memperbaiki ekonomi keluarga sama sekali, setelahnya jangankan uang, kabarpun tak ada lagi. Sejak mengerti bahwa ibunya tidak kunjung pulang Kiclik selalu mendengungkan impiannya bahwa dia ingin menjadi pilot, mampu menerbangkan pesawat agar dapat menjemput ibunya, membawanya pulang kembali berkumpul bersama keluarga, biar susah asal bersama.

   “Mimih jangan sedih, nanti aku akan ajak mimih..” Kiclik merangkul neneknya dari belakang.

   “Iya iya.. makanlah dulu, agar tak sakit, pilot kan harus sehat..” Mimih mengelus lembut rambut Kiclik, tanpa menunggu lama Kiclik menuju dapur dengan semangat.

Mih Asih memasuki kamarnya, meraih kotak kayu dibawah kolong tempat tidur, dipegangnya sebuah guntingan koran dengan judul “TKW Tewas Tanpa Identitas”. Ia menangis dalam diam, tak ingin Kiclik mendengar, tak ingin ia menghancurkan angan-angan cucu tercintanya bahwa berita itu tentang ibunya.


created by: @ninitatabon

Wednesday, 17 December 2014

Sureprise di 2014!

   Dalam hitungan kurang lebih 2 minggu lagi tahun 2014 akan segera berakhir, sudah siapkah melepas tahun 2014 dengan berbagai kenangannya? Dan hey.. masih ingatkah resolusi-resolusi yang kita rencanakan diawal tahun 2014 kemarin? Tercapaikah? Ah, saya sendiri sebenarnya bukan orang yang suka membuat resolusi disetiap awal tahun, saya belum berani menargetkan sesuatu, saya lebih memilih membiarkan semuanya mengalir, membiarkan semuanya berjalan sesuai ketetapan-Nya dengan  tak lepas untuk berusaha agar setiap harinya menjalani hidup yang Tuhan beri hari ini tidak sama seperti hari-hari kemarin. Itu saja..

   Jadi, tahun 2014 adalah tahun kedua saya menjalani hidup sebagai seorang yang bukan lagi “anak berseragam”, dan tahun pertama saya dipanggil “ibu” oleh kurang lebih 270 siswa berseragam putih merah yang sikap lugunya mudah membuat saya rindu, dan kadang juga menjengkelkan tapi tetap lucu, bukan.. saya bukan guru, saya hanya staff honorer disalah satu SD negeri didekat rumah saya tinggal, nanti saya ceritakan selengkapnya yah, tapi tidak sekarang hehe, karena untuk sekarang ada hal lain yang ingin saya bahas, ini soal bagaimana senangnya mendapatkan sesuatu yang tidak diduga ditahun 2014 ini, yay! ^^v.

    Kalian pernah melakukan sesuatu atas dasar suka saja? atau jelasnya adalah melakukan sesuatu tanpa sedikitpun berniat untuk mendapatkan bonus atau imbalan? pernah? setelah melakukan hal itu, tapi.. ternyata ada sesuatu yang kalian dapatkan jauh dari yang kalian bayangkan? pernahkah? NAH itu dia! ditahun 2014 ini saya merasakannya, Sureprise!! ^^

   Sejak lulus dari bangku SMA saya jadi keranjingan baca buku, entah itu komik ataupun cerpen, tapi terutama yang saya gilai adalah novel, ditambah lagi selepas dari SMA saya jadi mudah menggalau, sampai-sampai teman-teman menyebut saya Mrs. Galau, -julukan paling nggak banget sepanjang umur saya sejauh ini-, bagaimana tidak? saya merasa "kaget" dengan hidup yang harus berubah drastis dari seorang pelajar menjadi seorang yang entah akan melangkahkan kaki kemana selepas lulus SMA (antara kerja atau kuliah? tapi akhirnya 22nya saya lakoni hihi), belum lagi ada konflik soal hati yang... (emm tidak perlu dibahas hehe), dilatar belakangi semua itu dan dengan modal perbendaharaan kata yang seadanya saya menuangkan semua kegalauan saya dengan nekad sok-sok'an mencoba untuk menulis, entah itu di note facebook ataupun diblog ini, tapi diluar dugaan ternyata alhamdulillah banyak teman yang mungkin se-perasaan dengan saya atau mungkin juga mereka hilaf  (hahaha) mengatakan bahwa tulisan saya mengena untuk mereka, dan mereka suka, jadi atas dasar alasan itu pula sekarang setelah senang membaca saya jadi suka menulis, yang kata orang ini adalah efek dari suka membaca, benarkah? Entahlah ini disebut efek, iseng atau apa tapi yang jelas setelah menulis saya selalu merasa lebih lega dan merdeka, kenapa ya?

Nah, setelah 1 tahun bergelut dengan ke isengan -yang selalu membuahkan ketenangan setelahnya- itu saya mulai tertarik menantang diri saya untuk tidak hanya menulis tentang curhatan-curhatan galau tapi juga mampu menulis cerita fiksi, sebelumnya selama masih menjadi anak berseragam dulu jika pada pelajaran Bahasa Indonesia ada materi mengarang rasanya saya berat sekali mengerjakannya, selalu buntu, tapi entah kenapa setelah mencoba masuk ke "dunia" ini justru saya ingin mengerjakannya tanpa disuruh, yaa everybody changing yah kawan-kawan haha.

   Keinginan saya itu berawal dari mengikuti akun @nulisbuku di twitter yang merupakan sebuah media online self-publishing, tempatnya orang-orang yang bermimpi menjadi penulis bisa dengan mudah mewujudkannya, dan tempat menerbitkan buku tanpa perlu merasakan pahitnya penolakan saat menerbitkannya, baik banget kan merekaaa? setiap Rabu malam mereka mengadakan event  #FF2in1 dimana peserta diminta untuk menulis sebuah cerita flash fiction di note facebook atau blog lalu mengirim linknya dengan cara mention akun twitter @nulisbuku , peserta menulis cerita dengan tema yang telah disediakan, biasanya tema itu berbentuk lagu atau puisi, mungkin ini terlihat biasa, tapi bagaimana jika yang diminta adalah  membuat 2 buah cerita fiksi mini dalam 1 jam?!! yang berarti 1 cerita adalah 30 menit! wow! DAN setiap minggunya event itu SELALU dibanjiri peserta yang SELALU mampu menulis 2 cerita dalam 1 jam! huuuuuw kebayang nggak tuh gimana keren dan kreatifnya peserta-peserta yang ikut? (menurut saya sih nggak keren, tapi KEREN BANGET! *capslok jebol*), bahkan ada yang bisa menyelesaikan 1 ceritanya dalam 10 menit, (Lah? saya? butuh waktu berjam-jam untuk menulis, padahal hanya menulis nonfiksi haha) Nah.. dari karya-karya mereka yang saya baca melalui link yang dishare oleh adminnya itu saya semakin tertarik untuk menuliskan cerita-cerita hayalan (biasanya selalu diselipi curhatan sih hahahaha tetep -_-), dan dari event itu juga saya bertemu dan berkenalan dengan teman-teman yang hebat :)

   Singkat cerita (yang padahal nggak ada singkat-singkatnya dari tadi haha) setelah mulai sedikit berani sok-sok'an nulis fiksi, saya juga jadi sedikit berani untuk ikut-ikut event, berawal dari saya baca note salah satu temen di media sosial yang isinya tentang info event menulis diawal Februari 2014 lalu yang diadakan oleh salah satu penerbit indie yaitu Penerbit Harfeey saya iseng-iseng mengadu peruntungan dengan mengikuti persyaratan yang ada di dalam note dan kirim naskah. IYA kirim naskah, itu berarti awal saya ikut event menulis untuk pertama kalinya ^^
saat itu event perdana yang saya ikuti mengharuskan saya membuat sebuah flash fiction story bertema "Kopi", dan menurut info yang saya baca rencananya naskah-naskah yang lolos akan dimuat dalam buku kumpulan cerpen, tanpa pikir panjang saya mulai menulis dan mengirim sebelum deadline batas pengiriman berakhir, hey.. ternyata senang yah melihat nama kita tertera didaftar peserta yang sudah kirim naskah,  padahal hanya sekedar "sudah mengirim", niat saya saat itu hanya sekedar ikut berpartisipasi dan asah kemampuan saja, saya tidak berharap banyak, karena saya yakin karya peserta lain pasti lebih baik dari yang saya buat, jadi yaa sudah.. tidak berharap banyak :")

Dan, kawan.. tahukah? saat itu saya tidak begitu memperdulikan kapan pengumuman naskah yang lolos untuk dibukukan itu akan diumumkan, tapi seingat saya 2 minggu setelah deadline event berakhir saat itu ketika saya membuka akun facebook, Penerbit Harfeey men-tag (menyebut) akun saya dalam kiriman notenya, penasaran, saya buka, saya baca perlahan, dan........ Aw! ternyata tulisan saya LOLOS untuk dibukukan!!Dan dengan pertimbangan urutan abjad awal judul naskah, maka tulisan saya dimuat di jilid ke 5! Waw..!! senangnyaaaa, berawal dari hanya mencoba peruntungan dan tidak berharap banyak ternyata saya terpilih sebagai kontributor penulis. Yipiiiiy ^_^ dan ini dia penampakan cover Buku Kumpulan Cerpen "Kopi Bercerita jilid 5" yang diterbitkan oleh Penerbit Harfeey:


Genre: Kumcer
Penulis: Boneka Lilin et Boliners
Editor & Layout: Boneka Lilin
Design Cover: Bolin
Penerbit: Harfeey
ISBN: 978-602-1200-36-0
Tebal: 165 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga: Rp. 40.000,-


Dan saya bersyukur banyak yang mengapresiasi tulisan saya dengan membeli buku ini ^^

   Setelah euforia kebahagiaan lolos event menulis perdana, saya mulai tertarik untuk ikut event lagi dan lagi, hehe ketagihan. Dari pertengahan tahun 2014 ada beberapa  event yang saya ikuti lagi hingga bulan November kemarin, diantaranya masih event dari Penerbit Harfeey dengan tema "Hujan", dan yang lainnya adalah event perdana dari Penerbit Ellunar dibulan November dengan tema "Bulan", perasaan saya setiap mengikuti event menulis selalu sama, deg-degan, dan tidak berani berharap banyak, hanya berharap yang terbaik, yaa syukur-syukur sih juara :D dan Alhamdulillah dari beberapa event yang saya ikuti (lagi) saya LOLOS menjadi kontributor penulis lagi, Sureprise!! ^_^

Event yang bertemakan Hujan dari Penerbit Harfeey menjadikan saya kontributor penulis di buku Antologi "Hujan Bercerita" dan dimuat dijilid 3, event perdana yang diadakan oleh Penerbit Ellunar menjadikan saya kontributor penulis di Antologi cerpen berjudul "Beneat The Same Moon" Volume 2.

ini penampakan cover Antologi Cerpen "Hujan Bercerita" yang diterbitkan oleh Penerbit Harfeey


Genre: Kumcer Nonfiksi Inspiratif
Penulis: Bonek Lilin et Boliners
Editor & Layout: Ary Harfeey
Penerbit: Harfeey
ISBN: 978-602-1200-97-1
Tebal: 210 Hlm, 14,8 x 21 cm (A5)
Harga: Rp. 44.000,-

Ini penampakan cover buku "Beneath The Same Moon" Vol. 2 yang diterbitkan oleh Penerbit Ellunar


Penulis: Johar Dwiaji Putra, dkk
Penerbit: Ellunar
Jumlah Halaman: 166 Hlm
ISBN: 978-602-71825-6-1
Harga: Rp. 40.000,-


Bagi saya, event perdana dari penerbit Ellunar dan terpilihnya lagi saya menjadi kontributor penulis adalah  menjadi penutup akhir tahun 2014 saya yang manis ^^, dan demikianlah Sureprise yang saya dapatkan di tahun 2014 yang sudah hampir habis ini, berawal dari hanya mencoba dan ingin menantang diri ternyata mendapatkan bonus dari Allah diluar dugaan, memang ketetapan Allah selalu indah yah kawan ^_^, walau hanya sebagai penulis kontributor dan belum berhasil menjadi juara tapi saya cukup bangga karena dari hal itu saja dalam waktu yang sebenarnya kurang dari 1 tahun ini saya sudah berkontributor di 3 buku sekaligus, Alhamdulillah ^_^ saya akan menjadikan ini sebagai acuan untuk terus berkarya dan semakin kreatif agar terus mampu menulis karya yang lebih baik lagi, siapa tahu kelak bukan hanya cerpen tapi saya mampu membuat sebuah novel. Aamiin ^_^

Terimakasih yah kawan-kawan atas segala apresiasinya, terimakasih untuk kalian yang rela menyisihkan uang jajan untuk membeli buku-buku ini, semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan uang jajan yang dilipat gandakan lagi agar bisa membeli buku saya yang lain haha Aamiin :D
Dan saya juga belum berterimakasih kepada kalian yang Istiqomah dalam ngepoin blog saya ini hihi :D terimakasih sudah setia berkunjung, mengapresiasi kegalauan dan ke-entahan saya ini. Terimakasih banyak yah teman-teman. Kini tahun 2014 akan segera berakhir, setiap hari yang Allah beri harus menjadikan kita pribadi yanag lebih baik lagi, semoga bukan hanya tahun saja yang baru tapi semangat dan cara berpikir kita menjadi lebih baik lagi. Saya jadi tidak sabar dan penasaran ada kejutan apa lagi yah di 2015 nanti? Semoga lebih baik! Aamiin ^^v

Eh, ngomong-ngomong, saya mohon maaf sebelumnya jika ada yang tidak berkenan dengan postingan saya ini dan merasa ini terlalu berlebihan, saya hanya sedang belajar untuk menghargai diri saya sendiri, karena bukankah jika kita ingin dihargai orang lain harus mampu menghargai diri kita sendiri terlebih dahulu? begitupun sebaliknya? dan saya menulis ini untuk menjadikan motivasi bagi saya pribadi bahwa saya mampu mengalahkan keraguan dan sikap pesimis yang selama ini "nongkrong" di badan mungil saya ini, terimakasih untuk kalian yang sudah menyempatkan waktunya demi membaca postingan saya kali ini, semoga ada pelajaran yang bisa didapat yah ^^v

Created by: @ninitatabon

Monday, 15 December 2014

Jembatan Kaca (Pertaruhan Kepercayaan)

   "Rasa percaya itu layaknya sebuah kaca, jika sudah pecah berantakan, dengan usaha sebagus apapun tak akan lagi bisa kembali utuh", dia mengingatkanku. Aku mengangguk tanda sepakat.

"Namun aku bukan Tuhan", ujarku padanya.

   "Kau hanya harus memaafkannya, bukan mempercayainya lagi!", nada bicaranya meninggi.
Aku menunduk, tak berani melihat sorot kemarahannya, aku mengalihkan pandangan pada jari-jari kakiku, meyembunyikan raut ketakutanku.

   "Tak usah berpura-pura baik hati bagai malaikat, menyusun alasan untuk membenarkan semua yang kau lakukan", dia merendahkan lagi suaranya. "Aku tahu kau orang baik, tapi kau bukan orang bodoh", lanjutnya. "Kau hanya belum bisa berpaling dari segala hal dimasalalumu, kau menikmati lukamu". Aku hanya bisa diam. Sesaat aku dan dia ada dalam keheningan.

Kemudian aku melihat melalui ekor mataku, aku menyadari bahwa dia mulai melangkahkan kakiknya, aku buru-buru mengangkat kepalaku. "Tunggu..", lirihku. Dia menengok ke arahku, "Tetaplah disini, dampingi aku", kataku dengan raut muka sayu.

   "Yang kau butuh bukan aku, tapi hati yang tak mudah lagi dibodohi. Aku hanya ambisimu yang memang tak seharunya kau pedulikan", ucapnya penuh penekanan, menyakitkan untukku.

   "Aku hanya ingin menyembukan sakitku. Ku mohon, tetap dampingi aku, sekeras apapun kau, aku tetap  butuh", aku memohon.

   "Melangkahlah, aku tak bisa.. namun aku yakin kelak saat kau tengah menyusuri jembatan ini kau akan sadar bahwa kau telah mempertaruhkan kepercayaan pada dia yang pernah mempermainkanya", ucapnya dengan tatapan tak peduli, dia membalikan badan melanjutkan langkahnya. perlahan menjauhiku, aku hanya mampu menatap punggungnya yang mulai menjauh dengan sendu. "Oh ambisiku.."

***

   Aku berada didepan sebuah jembatan kaca panjang, dibawahnya adalah jurang yang jika aku jatuh maka kegelapannya akan membuat tak seorangpun akan menemukanku. Jatuh, hilang, tak bisa ditemukan, jikapun ditemukan mungkin hanya seperkecil bagian tubuhku, mungkin hanya satu bola mataku, atau salah satu dari kesepuluh jari-jariku, dan itupun dengan kemungkinan yang amat kecil. Jurang yang mengerikan.

Kaca, untuk menahan setengah berat tubuhku saja dia terlalu rapuh, maka bisakah kau bayangkan bagaimana jika dia menahan seluruh beban tubuhku? tapi seseorang meyakinkanku bahwa ini bukan sembarang kaca, aku tidak hanya bisa melangkah, namun bahkan bisa berdansa diatasnya.
Aku percaya saja, mengangguk mengiyakan. Bodohnya...

Dan kau tahu dialog awal pada tulisan ini? Itu adalah dialogku dengan ambisiku, aku baru saja kehilangannya, dia pergi karena dia merasa tak berhasil membujukku untuk tidak melangkahkan kaki diatas jembatan ini.

Mungkin tepatnya bukan dia yang pergi meninggalkanku, namun aku yang membiarkannya pergi, sebenarnya aku bisa menahannya, dan dia bisa tetap disini, namun atas dasar kepercayaan pada kebahagiaan diujung jembatan kaca ini aku membiarkannya pergi, padahal aku membutuhkannya karena aku bukan malaikat, karena aku harus hidup degan melihat banyak sisi, salah satunya adalah sisi egois mata ambisiku.

   Didunia ini apakah yang lebih bodoh dari seekor keledai yang jatuh berulang-ulang dilubang yang sama? Adalah aku yang menaruh kepercayaan berulang-ulang pada hati yang sama, hati yang tidak hanya sekali menghianati kepercayaanku. Bodohnya..

Hati itu adalah milik dia yang dulu pernah amat kupercaya, dia yang pernah memberiku sebuah apel manis namun ternyata beracun hingga aku harus tak sadarkan diri berbulan-bulan lamanya, pernah juga kuberi kepercayaanku padanya untuk membawaku terbang namun belum sampai ku ke langit ke tujuh, sudah dia hempaskan di langit ketiga, dan dia adalah orang yang sama yang membuatku kini melangkahkan kaki dijembatan kaca ini, seseorang yang berkata bahwa berdansa diatasnya pun jembatan kaca ini tidak akan melukaiku, dia menjanjikan sebuah kebahagiaan jika aku berhasil melewatinya, dia melihat bekas luka dan segala sakit yang ada pada tubuhku bekas ku terjatuh dari langit ke tiga kala itu, dia menyadari bahwa itu adalah hasil dari penghianatannya dulu, maka kini dia berniat menyembuhkannya dengan segala kebahagiaan yang ada diujung jembatan kaca ini.

***
   Kini, kakiku sudah kujejakkan pada jembatan yang amat mengerikan ini, demi obat-obatan yang dijanjikannya diujung sana aku melangkah, walau perlahan, amat perlahan bahkan, aku butuh dua hari hanya untuk berjalan sejauh 5 meter, aku butuh 1 jam berfikir untuk melangkahkan satu kakiku, padahal aku belum jauh berjalan, aku tak tahu jembatan ini berukuran speanjang apa, tapi seingatku dia pernah berkata bahwa ini tidak terlalu panjang, aku akan menemukan ujung jembatan ini dan bertemu dengan segala penyembuh lukaku secepatnya. 

Setiap pergerakan kakiku sepersekian senti saja ku pikir dengan amat lama, dengan segala ketakutan yang merasuki tubuhku, aku ragu-ragu, aku melangkah dengan segala perasaan cemas, hawatir, curiga, was-was, aku hawatir jembatan ini tak sekuat yang dia katakan, tak mampu menahan beban tubuhku, terutama beban kegelisahanku. aku takut dia mempermainkan lagi kepercayaanku, katanya aku hanya harus berjalan tanpa harus menoleh ke arah jurang yang berada tepat dibawahku, aku hanya harus berjalan lurus, namun aku terlalu takut untuk menatap kedepan, menatap ke arah yang aku tak tahu dimana ujungnya, aku hanya mampu berjalan dengan terus menundukan kepala menatap jurang dibawa sana dengan segala rasa yang berkecamuk dalam dada, apa aku akan mati ditelan kegelapannya? aku gemetar.

Aku terus berdiri dijembatan kaca ini seorang diri, yaa.. seorang diri, kau heran? aku seorang diri sedari tadi, tiada siapapun menemani kecuali perasaan-perasaan tak yakin ini. Kau mencari dia yang memintaku menyusuri jembatan ini? Oh kawan, sejak meyakinkanku dimulut jembatan sebelum aku meletakkan kakiku diatas jembatan ini dan seusai dia meyakinkaku dengan segala cerita manisnya tentang yang ada diujung jembatan ini dia terbang, kawan.. terbang..

"Aku menunggumu diujung jembatan, aku tak bisa membawamu terbang, kau harus menyusuri jembatan karena ini salah satu persyaratan  untuk menyembuhkan lukamu, agar angin yang berhembus saat kau melewati jembatan ini bisa menyapu lukamu lembut, dan kelak saat kau sampai diujung jembatan ini obat itu akan lebih ampuh menyembuhkan sakitmu karena bantuan angin itu", katanya dengan yakin sebelum dia mengepakan sayapnya, dengan tatap penuh ketegasan, dengan tatapan kesastrianya, tunggu dulu.. apa orang yang pernah berhianat pantas disebut kesatria?

   Sungguh, setelah sejauh ini jangankan kulihat ujung jembatan, bayangannyapun sama sekali belum mampu ku pandang, kini.. di setiap pergerakan kakiku aku tak bisa menutupi perasaan raguku, aku tak bisa mengendalikan kecemasanku, hawatirku semakin menggebu, inginku kembali ke mulut jembatan namun ia pun tak lagi terlihat, aku kebingungan, sudah sejauh manakah sesungguhnya langkahku? kenapa mulut dan ujung jembatan ini tak bisa ku lihat? Dan.. Uhuk.. setinggi apakah jarak antara jurang dan jembatan kaca ini sesungguhnya? kenapa angin semakin kencang saja menerpaku? aku rasa bukan hanya luka ku yang disapunya, namun tubuhkupun bisa dihempaskannya, maka kini aku harus bagaimana? Nafasku mulai tersengal, leherku mulai terasa tercekik.

Adakah ujung jembatan ini sesungguhnya? Tetiba aku teringat lagi kepada ambisi yang tak lagi menemani, tentang yang dia ucap sebelum pergi, bahwa aku telah mempertaruhkan kepercayaan kepada orang yang pernah dengan mudah menghianatinya. Pertaruhan Kepercayaan, benarkah? apakah itu berarti sesungguhnya aku telah melangkahkan kaki pada hal yang aku tidak tahu akan berujung dimana? bahagia atau kecewa pada akhirnya? dan rela terombang-ambing ditengah jembatan ini untuk obat yang keberadaannya entah ada atau tidak sebenarnya? Kenapa aku bisa begitu saja menyetujui untuk meyusuri jembatan ini tanpa jaminan bahwa aku akan bahagia atau tidak pada akhirnya? ataukah aku telah mempertaruhkan kepercayaan untuk lagi kepercayaan itu dibuat mainan olehnya?

Kedua kakiku perlahan melemah, lemas bagai tak bertulang demi menyadari hal itu, keraguanku lebih besar dari kekuatanku untuk kembali melangkah, aku harus apa? maju ragu, mundur tak mampu, jatuh tak mau, sedangkan angin semakin tak lembut menyentuhku. Oh ambisiku.. maafkan aku.. harusnya aku menyadari itu. Dan kini aku kebingungan bagaimana nasibku pada akhirnya, apakah aku kuat untuk melangkah lagi hingga ujung jembatan ini ku temui, atau tetap disini hingga akhirnya dia datang menjemput karena dia menyadari bahwa aku tak kunjung keluar dari jembatan ini, atau... aku bisa terbang.. terbang meninggalkan segala kemuakan tentang jembatan ini? entahlah, aku tak tahu, harapan ketiga nampaknya amat menggiurkan untuk tubuhku yang kini mulai digerogoti bodohnya perasaanku. 

Akankah aku terus disini hingga habis tubuhku dimakan keraguanku?



created by: @ninitatabon

Saturday, 13 December 2014

Harga Sebuah Masalalu

Semua orang menyadari bahwa waktu tidak akan pernah bisa diulang, 1 detikpun, menggunakan berjuta carapun, tapi sayang, tidak banyak orang yang mampu menggunakannya dengan baik, aku adalah salah satunya. Waktu terus melangkah maju, pergi tak akan pernah kembali, namun kepergiannya tidak membawa serta cerita yang pernah dibuatnya, maka selama apapun detik sudah berlalu tidak berarti mampu menghilangkan yang pernah ada, yang akrab kita sebut kenangan.

Sudah banyak kata yang pernah kutulis hanya sekedar untuk mendeskripsikan arti sebuah kenangan, yang aku sadari adalah bahwa bagaimana hatiku hari ini adalah hasil dari yang pernah terjadi kemarin.

Ini tentang kisah yang tidak akan pernah bisa kembali, tentang kenangan yang terlanjur ada, dan tentang penyesalan yang aku rasakan pada akhirnya.

Kau pernah terluka? aku juga.
Kau pernah kecewa? aku pun.
Bedanya, kau melupakan? aku tidak.

Sekalipun, tidak.

Maka, apa arti masa lalu untukku? Adalah kamu yang membawa pergi ambisiku, adalah aku bersama luguku, adalah jarak yang teramat jauh.

Waktu, tak bisa diulang, tak bisa kembali.
jika sudah murah kau buang, mahal untuk kau dapat lagi..

created by: @ninitatabon

Monday, 8 December 2014

Mengakhiri yang pernah Diawali

Hidup selalu erat dengan 2 hal yang bersimpangan, seperti saat kita lahir kedunia sudah dihadapkan pada kenyataan yang kita hanya harus menerimanya, antara hidup karena berhasilnya perjuangan seorang wanita yang dengan ikhlas mempertaruhkan nyawanya, atau mati tak diperkenankan melihat dunia.

Hidup selalu tentang 2 pilihan, seperti: bahagia atau merana, memaksa atau menerima, berusaha atau putus asa, dan pada akhirnya berujung di Surga atau Neraka.

Hidup ini hanya jeda antara 2 gelap, berawal digelap rahim ibunda hingga berakhir digelap dekapan bumi-Nya, dan hanya iman yang mampu menerangi akhirnya.

Hidup hanya soal bagaimana kita memulai dan sesiap apa kita mengakhiri, namun ingatlah bahwa 2 buah kata tidak akan berarti tanpa ada spasi, begitupun hidup, tidak akan bermakna tanpa history.

Kita selalu memulai sesuatu dengan bahagia, tapi sayangnya lupa bahwa setiap yang pernah dimulai akan selalu diakhiri, dan sayangnya lagi, semua yang kita awali dengan bahagia selalu diakhiri dengan perasaan tidak rela, itulah mengapa dalam hidup ada yang dinamakan kecewa, karena kita tidak mengakhiri sesuatu sebahagia kita memulainya. Bukankah jika sesuatu tidak berakhir bahagia maka belum dikatakan berakhir? Demikian mengapa kita selalu merasa hidup tidak adil, dan lisan mudah sekali megeluh pada sang pemilik tubuh, padahal kitalah yang tak mampu menggunakan waktu dan terlena dengan hal-hal yang semu. Ingatkah bahwa hidup hanyalah sebuah jeda?

Maka, aku berkata pada sebuah awal yang kelak berakhir.. Kau.. jika harus berakhir, berakhirlah seperti daun hijau yang lupa bahwa dia pernah kering saat kemarau tiba, seperti pelangi yang tidak menyadari bahwa dia datang setelah hujan deras menjemputnya, berakhirlah seperti waktu tidak pernah terisi kenangan sebelumnya.

Jika harus berhenti, berhentilah seperti kaki itu tidak pernah dilangkahkan, seperti ingatan tak akan pernah dihadirkan, seperti kalimat-kalimat manis nan romantis itu tak pernah dilisankan. Berakhirlah seperti semua tidak pernah dimulai, dan lupa bahwa telah diakhiri.

Tunggu dulu, apakah aku baru saja mendefinisikan arti ikhlas?


Created by: @ninitatabon

Thursday, 27 November 2014

Tentang Yang Tak Juga Sembuh

Aku masih tidak baik-baik saja, sejak kamu pergi hari itu, sejak aku tahu kamu tak lagi disisiku. Hingga hari ini, luka itu masih terlihat jelas membekas, tak lagi sakit memang, tapi mengganggu rasaku, apa kamu peduli itu?

Aku tersenyum kecut mengingatmu, mengingat kebodohanku, menyusuri kenangan yang berdebu, menyentuh lagi jejak-jejak penghianatanmu. Aku tersenyum bodoh didepan cermin masa lalu yang didalamnya terpantul jelas bayangan ketika kamu membodoh-bodohiku.

Aku terpejam, ada bisik halus menyentuh relung terdalam, "Maaf".. bisikmu lirih sekali, hingga sendunya menyentuh kedasar hati. Dasar wanita! mengusahakan pengabaian sekeras apapun tetap saja luluh. padahal, aku masih mengingatnya, jelas! ketika kamu minta aku menunggumu, dengan nada lirih yang sama, "Tunggu aku.. aku mohon..", lirih itu merobek perasaanku, ditambah dengan semakin eratnya jemari itu menggenggam tanganmu, jemari lentik dia yang bersanding di sisimu.

Gila! siapa yanga tidak waras sebenarnya? aku yang mudah luluh ini, atau kamu yang tega mempermainkan perasaan ini? Kamu pikir aku ini apa harus menunggumu yang masih digenggam erat oleh sebuah hati. Aku tidak semurahan itu, bung!

***

"Akan ku obati setiap sakit yang telah ku buat, akan ku tebus setiap air mata yang telah kau keluarkan, akan ku hapus semua kenangan buruk yang pernah ku tulis, aku kembali tanpa kaki, tanpa apapun yang mampu membuatku pergi, karena aku kembali tanpa berniat kemanapun lagi, aku akan menetap disatu tempat, dihidupmu, dalam masa depanmu",

Bergetar keteguhanku, meluruh setiap pertahananku, melemah semua kuatku, melonggar kepalan tanganku yang sungguh siap menyerangmu, aku tersedu, kamu menikamku, kaku. Aku luluh, tersedu. Menunggu.

***

Tertunduk, enggan rasanya menatap layar 14 inch didepanku, namun rasa penasaran itu menjalar menggebu. Ku buka lagi kenangan itu, tentang ke-entahan itu. Rasanya masih tetap sama, masih menyakitkan, trauma.. aku yakin begitu, karena disetiap moment yang ku ingat, setiap kata yang tersirat, aku menggigil kedinginan, keringat mengucur tak diminta, desiran itu masih sama rasa sakitnya seperti awal aku memahaminya, maka aku sadar bahwa sakitnya mengenang tentangmu dan kebodohanku tak juga sembuh, hingga hari ini setiap aku mengenang lukaku. Jadi, baikkah jika aku terus menantimu?

Saturday, 22 November 2014

Ada Apa Dengan Malam Minggu?

Saya baru saja membaca postingan salah satu teman di media sosial, dia menulis "Malam minggu datang lagi.. huffft", sebenarnya status itu bukan status yang terlihat WAH atau mengandung informasi didalamnya, karena tanpa diingatkan pun siapa sih yang lupa pada malam minggu? namun karena diberi imbuhan "Huffft" dibelakang kalimatnya saya agak beda menafsirkannya, mungkin dia lelah. kenapa dia?  -__-

Saya bingung, sebenarnya apa beda malam ini dengan malam-malam yang lain? satu-satunya yang saya pahami dari malam minggu atau sabtu malam adalah esok hari setelah solat subuh saya bisa bersantai lebih lama dari hari biasanya, bisa mandi lebih siang dari hari biasanya, dan bisa membungkus diri didalam selimut tanpa gelisah terus menerus melihat jam yang jarumnya terus bergerak menuju angka 7, karena esok hari adalah hari minggu, hari libur internasional! Hanya itu yang saya pahami dari malam minggu. Maka saya bingung, kenapa setiap malam ini datang dijejaring sosial manapun, seperti di facebook atau twitter rasanya malam ini amat spesial, amat sakral, dan bahkan ada yang menganggapnya menyeramkan, terutama untuk para jomblo yang terkesan amat hina ketika malam ini tiba. Ada apa dengan malam minggu?

Selalu dan selalu, dimana-mana setiap malam minggu datang, setiap anak muda dan bahkan orang tua sekalipun menganggap malam minggu begitu spesial, anak-anak sekolah terutama remaja tanggung sepertinya begitu antusias "menyambutnya", mereka yang setiap malam saya tahu hanya melihat TV dirumah atau (mungkin) mengerjakan tugas sekolah dikamar masing-masing, dan berpakaian biasa saja, jika malam minggu datang mereka berubah menjadi anak-anak muda dengan pakaian paling necis dengan dandanan tidak seperti biasanya ditambah dengan wangi-wangian yang membuat setiap orang yang menciumnya merasa seperti melewati toko parfum. Kenapa mereka? yang lebih mengherankan adalah kenapa para orang tua pun ikut "berbeda" menyikapi datangnya malam minggu? seperti pernah pada satu waktu ketika tetangga saya melihat saya menghabiskan malam minggu dengan hanya berada dirumah, mereka begitu heran melihatnya dan mereka bertanya "Mbak nita nggak malam mingguan?", dengan mengernyitkan dahi dan senyum sewajarnya saya menjawab "Nggak, bu.. hehe". walaupun saya agak bingung juga memangnya kegiatan "malam mingguan" itu harus melakukan apa? salah jika memutuskan dirumah saja? Ada apa sih dengan malam minggu? se-spesial itukah malam minggu sampai-sampai beliau-beliau yang gemar sekali berdaster itupun keheranan melihat ada anak muda yang tidak ikut "memperingatinya"?

Hufft.. anehnya lagi, jalanan jadi lebih ramai dari malam-malam biasanya, pernah saya keluar rumah saat  malam minggu untuk hanya sekedar beli lauk makan malam atas mandat kanjeng ratu ndoro mamah, dan apa yang saya temui? macet!! pfffft... belum lagi dipinggir-pinggir jalan ramai sekali kendaraan yang berhenti seenaknya, dan parahnya diatas kendaraan itu selalu ada dua sejoli yang menaikinya, yang merasa seakan dunia milik mereka berdua seakan malam minggu adalah malam kebebasan mereka. Naudzubillah..

Jadi, begitukah hakikatnya malam minggu? menjadi ajang anak muda unjuk bergaya, menghabiskan malam sesukanya dengan si dia, tangkrang-tongkrong bergerombol dengan teman, meramaikan jalanan? salahkah bagi mereka yang memutuskan untuk berdiam dirumah, mengahbiskan waktu dengan keluarga, menjaga diri dari hal-hal yang tidak seharusnya?

Saya suka dan selalu suka berkumpul dengan teman-teman, menjalin silaturahmi, bersenang-senang dengan mereka semua, tapi.. tidak harus malam minggu bukan? hanya karena esok hari adalah hari libur maka malam minggu menjadi malam yang tepat untuk berkumpul? tidak.. menjalin silaturahmi bisa kapan saja, tidak mengenal waktu, maka alasan menyambung silaturahmi rasanya kurang tepat untuk alibi seseorang "merayakan" malam minggu. Apalagi yang menghabiskan malam minggu dengan makhluk yang bernama "pacar", menurut saya itu amat buang-buang waktu. Priahatin.. ketika saya mendengar berita bahwa menurut survei setiap malam minggu kondom terjual lebih laris dari malam biasanya dan saya dengar disuatu daerah, disalah tempat dimana anak muda biasa nongkrong katanya setiap minggu pagi saat para petugas kebersihan membersihkan area mereka merayakan malam minggu itu ditemukan banyak sekali benda yang tidak sepantasnya ada diarea tersebut (re: kondom). Astaghfirullahaladzim..

Ada Apa Dengan Malam Minggu? Haruskah dilewati dengan melakukan hal-hal yang sepert itu? Memang, tidak semua menghabiskan malam minggu dengan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan, diantara sekian banyak yang berprilaku negatif saya selalu yakin bahwa pasti ada juga yang melakukan kegiatan positif, dan saya harap jumlah mereka lebih banyak. Aamiin.

Untuk adik-adikku tersayang yang memahami bahwa hakikat malam minggu hanya soal berkumpul dengan teman dan berpacaran, izinkanlah kakak yang masih terus belajar memperbaiki diri ini untuk sekedar mengingatkan bahwa ada hal yang lebih baik yang bisa dilakukan saat malam minggu datang, menonton tv bersama keluarga sekalipun jauh lebih baik dari sekedar nongkrong dijalanan. Berpacaran? oh dear, terus berusaha memperbaiki diri adalah lebih baik dari mendekati hal-hal yang setan suka sekali jika kalian melakukannya, jagalah hati untuk seseorang yang nanti tidak hanya malam minggu saja kita akan bersamanya, namun setiap malam bahkan setiap waktu bersama dia adalah ada Ridho Allah didalamnya. ingatlah selalu bahwa yang halal dimata Tuhan selalu menentramkan.

Untuk ibu dan para orang tua yang terlanjur menganggap malam minggu adalah "malamnya anak muda", izinkan saya seorang anak yang masih haus ilmu ini memberitahu bahwa seharusnya anak-anak ibu dan bapak tidak dibebaskan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilakukakn begitu saja, dan pahamilah bahwa malam minggu adalah malam yang sama seperti malam-malam biasa, berhentilah memberi makna bahwa malam minggu berarti malam yang bebas untuk berhura-hura.

Untuk kalian yang lebih memilih dan menganggap tidak ada yang spesial dimalam minggu atau lebih memilih untuk melakukan hal-hal bermanfaat dalam menghabiskannya saya ucapkan selamat bahwa kalian sudah memilih langkah yang tepat, walau dampaknya tidak terlihat dengan cepat namun sadarilah hal-hal baik yang kalian pilih pasti ditulis pada buku amalan baik oleh malaikat. Aamiin o:)

Dan akhirnya dengan segala kerendahan hati saya menulis ini bukan bermaksud menggurui, hanya sekedar mengkritisi hal-hal yang tidak seharunya terjadi. Salam hangat dari saya seorang insan yang masih terus berusaha memperbaiki diri.

created by: @ninitatabon

Tuesday, 18 November 2014

Those Eyes

Sering kali banyak hal yang kadang kita lihat, tapi orang lain tidak lihat, begitupun sebaliknya. Seperti halnya persepsi, orang lain kadang tidak mengerti apa yang kita pahami..

Seperti tentang rindu.. Entah sudah sebanyak apa aku menerjemahkannya kedalam banyak kalimat, dari yang berbentuk pernyataan hingga tanya yang tak terjawab. Setiap orang punya kenangan, entah yang terlahir dari hujan yang meninggalkan genangan, atau dari malam yang hanya berisi keheningan. Setiap kita punya cerita tentang rindu yang kita rasa..

Menurutku tidak semua rindu harus diobati dengan bertemu, karena bukannya dia akan sembuh justru akan melahirkan rindu yang baru, kecuali memang pertemuan itu bukan pertemuan semu, bukan pertemuan yang hanya mampu melihatnya dari jauh, namun pertemuan yang tidak akan dipisahkan sedetikpun oleh waktu, yang Allah pun Ridho pada setiap detik yang bergulir kala itu.

Sejujurnya aku bukan orang yang suka hidup dalam kenangan, untuk apa merisaukan hal yang sudah terlewatkan, bukankah lebih baik terus memperbaiki diri untuk masa depan?
Aku bukan orang yang rela terus disakiti oleh hal yang aku buat sendiri, tidak sama sekali. siapa yang sudi terus diikuti oleh hal yang seharusnya sudah lama dibiarkan pergi?

Namun aku selalu lemah melawan rindu.. seperti saat itu.. momen yang hanya berjalan beberapa detik saja seingatku namun mampu membuat semua tentang  masalalu yang telah kaku dihidupku perlahan luluh,  tentang sepasang mata yang setelah 3 tahun tak lagi pernah lagi kulihat kembali menatapku, melelehkan yang telah membeku dihatiku.

Sepasang mata itu..

Dulu.. aku selalu suka memandanginya diam-diam dari sudut yang tidak dia tahu, menatapnya malu-malu, bergelut dengan angkuhku, sepasang mata itu pernah bersenandung dihatiku, dulu.. saat semua tentang kita masih terasa merdu.

Sepasang mata itu..

Aku tidak asing dengannya, bahkan pernah ku lelehkan butiran bening didalamnya, simbol kuatnya sang raga, aku pernah membuat keduanya tak berdaya, habis sudah kuobrak-abrik kekuatannya, aku mampu melumpuhkannya, dulu.. saat semua tentang kita masih punya makna.

Sepasang mata itu..

Aku pernah berlama-lama menatapnya, memasuki relung terdalam hatinya melalui celah yang terpantul dari sorotnya, pandangnya pernah mengatakan bahwa aku serupa bintang dihidupnya, senyumku serupa obat untuk sakitnya, dan disampingku serupa menatap dunianya.

Sepasang mata itu..

Dua bola mata yang pernah berbicara bahwa mereka adalah miliku seutuhnya, kuat dan lemahnya, lebih dan kurangnya, baik dan buruknya, semua tentang apapun yang dilihatnya selalu ada aku yang membingkai setiap indah yang dipandangnya, dulu.. saat semua tentang kita masih kita anggap benar adanya.

Kini.. setelah 3 tahun lamanya tatap itu tak lagi ku jumpai, dan sudah ku asingkan disudut hati, tatap itu hadir lagi, ditengah hujan deras, saat pandangan tak lagi awas, aku melihatnya, aku menatapnya, walau hanya beberapa detik saja karena aku tak mampu memandanginya lama-lama, karena pandang ini sudah seharusnya dijaga, aku kembali melihatnya, merasakan sorot hawatirnya, menangkap tatapan cemasnya.

Sorot itu, tatapan itu, melelehkan yang membeku, melemahkan yang sudah kaku, mengingatkanku pada yang sudah berlalu, menghangatkan dinginnya rindu, memporak porandakan pertahananku, menyesakan penantianku.

Mata itu, matamu..

Sorot yang orang lain sebut lemah,
namun bagiku tersimpan ketenangan didalamnya.
Tatap yang mereka bilang tak berarti,
namun pernah diam-diam ku curi.

Those eyes are yours, biy..

created by: @ninitatabon

Tuesday, 7 October 2014

Idealis

"Jangan sok sempurna,  berlakulah sebagaimana umumnya", kalimat itu memuakkan untuk saya, sering sekali kalimat tersebut terucap dari beberapa mulut yang bahkan saya kenal baik siapa pemiliknya.

Kata orang, hidup itu harus punya prinsip agar tak di bodohi, agar tak terbawa arus. Kata mereka, menjadi manusia harus punya pendirian, karena hidup kita yaa kita yang menjalankan, tapi.. saya heran, teramat heran bahkan, saat ada yang berpegang teguh pada apa yang dia yakini kenapa justru orang-orang itu, mereka, yang menggurui untuk memiliki hidup yang tak boleh mudah dihasut justru yang paling nyaring mencibir tentang prinsip yang diyakini?

Heran.. Entahlah..

Mereka bilang, "jangan sok idealis", padahal dari mereka saya memahami bahwa hidup memang kita yang menjalani, jadi kita harus berdiri pada kaki kita sendiri, kita tidak bisa berjalan menggunakan kaki orang lain, bukan? kecuali "menginjak" kaki orang, itupun jika tega melakukannya. Namun, mengingat jaman yang semakin ambradul bahkan adegan "injak-menginjak"pun menjadi satu hal yang bahkan terlihat biasa saja. orang-orang tidak lagi peduli siapa yang di injak, siapa yang menginjak, karena yang mereka nilai hanya hasil, bukan proses. Begitulah penilaian manusia, apa yang nampak yaa itu yang dihakimi.

Masih tentang sebuah prinsip yang mereka sebut idealisme, apa sih salahnya seseorang berpikir ideal untuk dirinya sendiri? selagi tidak merepotkan orang lain, sah bukan? Tapi, yaa namanya juga manusia, rasanya kurang sedap jika tidak menyantap aib manusia lainnya (naudzubillahmindzalik semoga saya bukan bagian dari orang yang demikian), apa lagi jika si orang berprinsip yang mereka hakimi itu melakukan kesalahan yang disebabkan oleh prinsip yang mereka pegang kuat-kuat, itu moment "empuk" untuk mereka melontarkan kalimat "Makanya jadi orang jangan sok idealis". Hey.. salah dan hilaf itu wajar, kan? Jika tidak pernah salah ya bukan manusia namanya tapi Tuhan. Dan anehnya, setelah di hakimi, masih juga diberi imbuhan kalimat "Sombong sih..".

Lucu kan?

"Hidup itu Tuhan yang menentukan, kita yang menjalankan, dan orang lain yang membincangkan", sepakat! entah siapa yang menulis kalimat itu untuk pertama kali, saya sepakat dan sependapat. Namanya juga manusia, benar disalahkan, salah yaa menjadi bulan-bulanan.

Tapi, sabarlah wahai hati-hati yang berpegang teguh pada prinsip dan apapun itu yang menurutmu baik, yakinlah bahwa Tuhan tidak menilai hasil namun menilai proses yang kita jalani, tabahlah mendengar ocehan mereka, hidup ini Tuhan yang punya kuasa, dan Syurga-Neraka bukan ditentukan pada mulut mereka.

Idealisme, prinsip, atau apapun itu yang mereka sebut saklek, pertahankanlah jika memang yang dipegang kuat-kuat itu berlandaskan Titah Tuhan. karena menjadi "berbeda" adalah bukan tentang arogan, tapi tentang pendirian.

created by: @ninitatabon


Wednesday, 1 October 2014

Salah aku atau salah rindu?

Entah apa sebenarnya yang aku cari, setiap malam, menatap layar laptop, menyusur dunia maya, berniat ingin menemukan hal baru yang belum aku tahu, berniat ingin melihat dunia tapi selalu berujung pada akun sosial media yang sama, profil sosial mediamu.

Selalu dan selalu, tidak hanya sekali dua kali, tapi setiap malam saat suara-suara gaduh perlahan tak terdengar, saat malam semakin beranjak larut, saat hanya detik dan deru mesin laptop yang menemani, saat rindu semakin menjadi.. aku selalu menuju ke arahmu, mengintip cerita hidupmu dari akun sosial mediamu, yang padahal sudah pernah ku baca sebelumnya, tapi masih saja aku menyusuri history, moment, status, tweet, yang pernah kamu buat.

Entahlah, aku pun tak paham, lagi-lagi setiap aku tersadar bahwa aku berselancar di dunia maya karena berniat ingin melihat dunia, justru aku malah bertanya-tanya, mengapa kini aku melihat foto yang kamu bagi beberapa minggu yang lalu?
Aku ingin melihat dunia, tapi selalu berujung pada akunmu, berharap kamu menulis sesuatu yang baru, memperlihatkanku segala kegiatan yang sedang kamu lakukan.
Aku ingin melihat dunia, tapi kenapa lagi lagi kini aku ada diakun sosial mediamu?
Aku ingin melihat dunia tapi mengapa selalu berujung padamu, apa alam bawah sadarku merasa bahwa kamu adalah duniaku?

Entah ini salah jemariku, atau memang otakku yang telah terlanjur membawamu masuk kedalam anganku, angan yang hanya terdiri dari beberapa sudut ini, sempit, dan terbatas, tapi tentangmu sudah mengisi separuhnya. Jadi salahkah aku, atau ini salah rindu?

created by: @ninitatabon

Tuesday, 30 September 2014

Da Aku Mah Apa Atuh

Sudah sejauh ini berjalan menuju dewasa ternyata masih juga sering merasa kelelahan, padahal ini baru proses, bukan hasil. Absurd, banyak sekali hal-hal absurd yang ada dipikiran saya yang sebenarnya tidak seharusnya terpikir, yang paling sering muncul adalah "meremehkan diri sendiri". Setiap kita harus punya label untuk diri, kita harus punya nilai dimata orang lain, ini bukan tentang pencitraan, ini tentang bagaimana kita seharusnya diperlakukan baik oleh orang lain, dari beberapa kalimat yang pernah saya dengar dan saya baca katanya jika kita ingin dihargai oleh orang lain maka hargailah diri kita sendiri dahulu, disinilah letak keabsurdan pikiran saya, kadang saya merasa saya bukan apa-apa, tidak mampu apa-apa, tidak tahu harus berjalan kemana, bahkan kadang kebingungan menjawab pertanyaan "saya ini siapa?". Maka bagaimanakah orang lain menilai saya jika saya tidak bisa menilai diri saya sendiri.

Saya sadar saya ada diusia pengenalan diri, tahap dimana seorang anak tumbuh untuk mengenal segala hal tentang dirinya sendiri dan mengenal orang lain, orang-orang sekitarnya, tapi.. sejauh ini, tahap yang saya lalui belum menemukan titik "menenangkan", abu-abu, masih sangat samar-samar. Menurut saya pribadi saya terlalu passive, saya tidak mampu untuk keluar dari hidup yang sudah terlanjur membuat saya nyaman ini, dicintai oleh kedua orang tua yang masih utuh, hidup bersama adik dan kakak yang amat saya sayangi, memiliki teman-teman yang asik, menurut saya itu semua lebih dari cukup. Nyaman, mungkin itu kata yang menenangkan tapi jika di rasakan lagi nyaman adalah awal dari segala kepasifan, bukan berarti saya tidak suka berada pada keadaan yang nyaman, tapi sejauh ini, smeua hal nyaman di hidup saya sudah menjadikan pemikiran saya menjadi passive. entahlah..

Zona nyaman, begitulah orang-orang sering menyebutnya, mungkin saya ada dititik itu, dan titik itu pula lah yang membuat saya meremehkan diri saya sendiri, "Da aku mah apa atuh", sebuah kalimat perpaduan antara kosa kata sunda dan bahasa indonesia yang artinya, "Ya apa lah saya ini", meremehkan diri sendiri. Karena terlalu sering ada didalam zona nyaman, saya jadi tidak berani untuk keluar, setiap ingin mencoba sesuatu saya selalu merasa tidak bisa, menurut buku yang saya baca tipe-tipe manusia seperti saya ini adalah tipe manusia orak kiri, yang setelah saya pahami lagi ternyata orang-orang kiri (re: orang tipe otak kiri) biasanya sulit berkembang, minder, mudah menyerah. ah menyeramkan. Selalu takut mencoba, selalu kalah sebelum berperang. "Kenapa saya ini?", pertanyaan itu selalu saya pikirkan, sekarang saya sudah merasa aneh dengan diri saya sendiri, dan itulah alasan kenapa saya tulis note ini. Saya ini kenapa? "Ya apalah saya ini, hidup saya terus berputar disini, lalu mau kemana lagi?", ini kalimat yang sering juga terlintas dipikiran saya. benar-benar manusia pasif.

Karena senang membaca, saya ingin menjadi penulis. menurut saya penulis adalah manusia-manusia pilihan Tuhan yang selalu mampu mendeskripsikan hal-hal yang padahal terasa biasa saja namun mereka mampu menjelaskan lewat kata-kata dengan indahnya. Dari situ saya coba-coba untuk menulis, tapi selalu saja pikiran tentang "Ya apalah saya ini" menggelayut dipikiran saya, jadi antara mimpi dan kalimat itu berdampingan amat sejajar. itulah mengapa saya kelelahan, itu yang saya sebut absurd. Kenapa saya ini?

Menurut mereka, saya bisa, tapi menurut saya pribadi apa yang lakukan hanya sebuah hal yang tidak ada apa-apanya, tidak patut diapresiasi. Padahal ketentuan Allah adalah bagaimana prasangka kita, Allah sudah menutup aib saya didepan mereka, tapi saya malah meremehkan diri saya sendiri hanya dengan alasan "ya apalah saya ini cuma orang yang tidak bisa apa-apa". Astaghfirullah..

Malu rasanya. Aneh, merasa bodoh.

Maka, mulai saat ini, saya dengan segenap hati saya berniat untuk berubah, ingin melabeli diri dengan hal-hal yang bisa saya lakukan dengan sebaik mungkin, ingin keluar dari zona nyaman, ingin sebaik yang mereka nilai, dan ingin berterimakasih pada Allah atas tertutupnya aib ini selama ini.

Saya ingin mencabut kalimat "Da aku mah apa atuh" pada pikiran saya, dan menggantinya dengan kalimat "Aku mah sesuatu" (Re: saya adalah sesuatu). Sesuatu yang punya nilai, sesuatu yang pantas dihargai, sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Aamiin.

created by: @ninitatabon

Sunday, 28 September 2014

Bahwa Perbuatan Harus Sama dengan Yang diucap Lisan

Kelak saat hari perhitungan, semua anggota tubuh akan bersaksi atas apapun yang selama didunia sudah mereka lakukan, sedang mulut dibungkam tidak akan dibiarkan menjawab segala pertanyaan. Tahukah kenapa hal itu dilakukan? karena lisan pandai beralasan.

Saat hati tak karuan, amarah tak tertahankan, kenapa para orang bijak menyarankan kita harus diam? Karena lisan tak mengenal aturan, dia akan menyuarakan apapun tanpa sebelumnya dipikirkan.

Tahukah kenapa lisan di ibaratkan bagai pedang? Karena sekali menyakiti, tembus hingga ke dasar hati.

Dan terkahir, apapun yang terlisankan harus dipertanggung jawabkan melalui perbuatan, kenapa? Karena itu menunjukan sebaik apa hati telah menghubungkan lisan dan fikiran.

Jangan bicara jika tidak mampu mempertanggung jawabkannya,
Jangan melisan jika tidak mampu mempraktikannya,
Jangan berucap jika tidak mampu melakukannya.

Ini bukan menggurui, bukan pula menasihati, ini tentang Muhasabah diri, tentang saya pribadi.

Seperti sebagaimana semestinya, setiap hari yang Dia beri harus lebih baik dari hari sebelumnya,
setiap hari yang Dia beri harus berisi perubahan yang lebih baik didalamnya.

Hari itu, saya.. dibangunkan dari tidur panjang, disadarkan dari sebuah kesalahan.
Hari itu, seseorang memberi obat penyembuhan atas penyakit munafik paling menakutkan. Pahitnya amat menyakitkan, hingga membuat air mata jatuh tak mudah dihentikan.
Dan hari ini, saya sadar.. bahwa manusia butuh manusia lain untuk saling mengingatkan, sekalipun dengan cara yang menyakitkan.

"Kini.. Diamlah, jangan terlalu banyak bicara. Karena "bijak" tidak dinilai dari sebanyak apa kalimat mutiara yang manis didengar banyak telinga, tapi sepatut apa tingkah laku kita untuk dicontoh mereka."

Terimakasih untuk seseorang yang telah membuat saya menyadari bahwa betapa selama ini, lisan ini, sudah amat sangat tidak tahu diri, banyak bicara namun tanpa isi.

created by: @ninitatabon

Friday, 26 September 2014

Ketika Hati Merindu

Rasanya tak pantas lisankan lelah karena belum jauh kaki ini melangkah, 
Rasanya tak pantas ucap letih hanya karena hati yang terus dirundung sedih,
Bukankah seharusnya diri hening dalam taat, hingga lemah itu menjadi kuat? 

Berbincang soal rindu harusnya tak selalu berujung sendu,
Namun apalah daya bagi jiwa yang merah jambu, penantian selalu terasa haru. 
Diri ini bukan malaikat, hanya manusia yang ingin taat.
Namun sendu terlanjur melekat, wajar jika bayangnya tak hilang walau sesaat,
Rasa itu tak mudah lenyap walau dalam senyap, sebab sebuah nama terlanjur menetap dalam harap.

Wahai kamu yang selalu ku sebut dalam akhir sujud, sadarlah bahwa diri ini berharap setiap doa yang dengan lirih ku sebut dapat terwujud.
Wahai kamu yang membuat rasa ini berdenting, bantulah diri ini menyusun serpihan rindu yang lantak berkeping dengan doa dalam hening.
Wahai kamu yang terlanjur membuat luluh, mampukah kamu mendampingiku agar dien ini menjadi utuh?

Atas nama rindu yang tertahan sebab demi Ridho-Nya ia tak terungkapkan,
Biarkan rindu terbingkai dalam keistiqomahan, 
hingga semua berujung pada pertemuan yang waktupun tak akan pernah berani memisahkan, 
bermuara pada kebersamaan yang jarakpun tak bernyali mempermasalahkan, 
dan biarkan semua terasingkan, hingga ridho Allah menghalalkan.

Sabarlah wahai hati, cinta selalu datang tepat waktu, tidak pernah datang terburu-buru, selalu hadir dengan cara yang anggun lagi ayu.

Ini coretan tentang rindu untuk kamu, dari ku yang berharap dapat berjamaah satu shaff dibelakangmu.

Created by: @ninitatabon

Saturday, 20 September 2014

Masih

Menurut mereka mungkin ini hal yang biasa, tapi bagiku ini terlalu kaku.
entah ini kali keberapa ku tulis tentang hal yang sama,
tentang dalamnya sebuah luka, tentang bagaimana aku mengenangnya.
tentang kamu yang mencoba memperbaikinya.

Luka..

Perubahan bukan sekedar soal janji, tapi apa daya jika hati sudah terlanjur berharap lebih.
entah siapa yang lebih bodoh dari siapa, soal cinta semua jadi tak lagi rasional rasanya.
kamu teramat sering menjatuhkanku, ditempat yang sama pula menganga luka itu, dan ingatkah jika luka itu tidak hanya satu?
maka jangan lupa bahwa aku pernah terluka, dan bekas luka itu masih ada.

katamu bersama waktu kamu berjanji menyembuhkan, namun sadarlah bahwa waktu tidak mampu menghilangkan bekas yang ditinggalkan.
bukan bermaksud terus mengenang dalam fikir, aku sudah biarkan semuanya mengalir, tapi bolehkan untuk hatiku sendiri aku merasa khawatir?
sudah kubiarkan semua hanyut terbawa massa, tapi luka tetap luka, tak bisa ku tutupi rasa traumatiknya
katakanlah sudah tak ada lagi rasa memar tapi aku masih hafal betul bagaimana sakit itu menjalar.
maka jangan lupa bahwa aku pernah terluka, dan bekas itu sungguh masih terasa jika kamu sentuh bahkan hanya sedetik saja.

kini, dalam penantian yang katamu tak lama ini, tidak ada yang bisa kulakukan selain berharap dalam senyap.
meyakinkan diri tentang apa yang ku pilih, terus bernegosiasi dengan hati.
haruskah aku bermakmum padamu? yakinkah aku ikhlas di imami oleh orang yang terlalu dalam melukaiku?
entahlah, sejauh ini aku hanya ingin  mengambil keputusan satu kali,
dan aku masih terus meyakinkan diri untuk tidak jatuh berkali-kali dilubang yang sama lagi.

Aku beri kesempatan padamu lagi
Tapi jangan lupa bahwa aku pernah terluka.
Dan.. masih terlihat jelas bagaimana luka itu membekas.

Monday, 15 September 2014

Selamat Ulang Tahun Mbak

Saat tangan tak mampu menjabat, pun peluk tak bisa terangkul dengan erat, sebab kebersamaan terpisah oleh jarak yang tak dekat, maka hanya doa yang mampu terucap lirih, tulus sedalamnya hati.

Ini tentang seseorang yang menempati rahim ibu lebih dulu sebelum aku, tentang kawan bermain pertamaku, tentang lawan berebut perhatian bapak dulu, tentang seorang gadis kecil yang gaya menguncir rambutnya selalu ku minta untuk dibuatkan sama pada ibu, tentang seorang yang dulu selalu dibelikan dan dibuatkan baju yang sama dengan yang ku punya, tentang seorang gadis kecil yang kini beranjak menjadi wanita dewasa. 

Untuk seorang wanita yang akrab ku sebut "mbak".. 

Hari ini adalah tanggal 15 september yang ke 22 untukmu, semakin hari kontrak hidup semakin berlalu, aku hanya bisa berharap semoga Allah mengijabah semua doamu.

Untuk seseorang yang ku panggil "mbak"..

Sekeras apapun hidup menjatuhkan jangan pernah rela jika ego menertawakan, karena hidup lebih indah dari sekedar menjadi egois, karena ada sepasang manusia yang sudah menunggu untuk menyambut kedatanganmu membawa kebahagiaan bagi mereka dengan senyum amat manis. 

Selamat ulang tahun mbak, selamat memasuki usia 22. Maaf untuk hal-hal merepotkan yang sudah adik manismu ini lakukan. Semoga Allah ridho pada apapun yang kau rencanakan.


*NB: Suwun pulsa modem'e. Enggal nikah. Trims



Monday, 8 September 2014

Selamat Ulang Tahun Bapak

Ini tentang seseorang yang aku nyaman duduk dibelakangnya saat dia mengemudi, yang dengan rela mengantar jemput kemanapun ku pergi, sekalipun pagi masih terlalu muda untuk dinikmati hingga senja di ufuk barat membawa pergi matahari.

Ini tentang laki-laki paruh baya yang sederhana pembawaannya, tambun perawakannya, dan kini mulai memutih rambutnya. Tentang laki-laki pertama yang ku cinta. Bapak..

7 September, 50 Tahun yang lalu. Tepat ditanggal yang sama seperti hari ini, lahir seorang bayi laki-laki yang kini menjadi tempatku bersembunyi saat aku butuh dilindungi, laki-laki yang dengan rela susah payah berpeluh dan lelah mengais rezeki sekalipun hingga kaki menjadi kepala, kepala menjadi kaki.

Bapak.. kini usianya separuh abad sudah, peluh akrab menempel pada bajunya hingga basah, hidup yang keras dan haru tak lagi dibuatnya susah, baginya melihat anak istri bahagia adalah lebih dari indah, walau semakin hari semakin terasa bahwa fisiknya mudah lelah dan kadang hidup sering membuatnya berfikir untuk menyerah, namun kegigihannya merubah nasib belum juga punah.

Bapak.. Walau ibu memiliki kedudukan yang lebih mulia, tapi darinyalah aku belajar bagaimana cara memuliakan ibu dengan sebaik-baiknya, darinya aku memahami bahwa kita harus menerima apapun yang Allah beri, sekalipun getir terasa hingga ke hati.

Bapak.. Dihari lahirmu ini tidak ada yang mampu ku beri selain doa setulusnya hati, tidak ada yang lebih manis selain melihatmu tersenyum malu-malu saat ku bawakan bolu malam itu, dan tidak ada yang lebih bahagia bagiku hari ini selain masih bisa merasakan nyamannya dilindungi seperti saat kau menggandengku menyebrang jalan tadi pagi.

Selamat ulang tahun bapak, maafkan aku yang belum mampu menjadi berguna dan hanya mampu menyusahkan saja. Aku tidak pernah tahu kapan akhir dari kontrak kebersamaan yang Allah berikan, siapa yang lebih dulu harus meninggalkan, dan siapa yang akan lebih merasa kehilangan, yang aku tahu jatah kebersamaan yang Allah beri selalu berkurang setiap hari, maka semoga Allah berkenan memberkahi setiap kebersamaan yang kita miliki.

Dan kapanpun Allah menghentikan kebersamaan itu semoga Allah mengijabahi doaku bahwa aku hanya ingin menjadi berguna untukmu, membuatmu bangga sudah membersarkanku, dan menjadi salah satu alasan dari senyum bahagia di wajahmu.
Selamat ulang tahun bapakku, semoga Allah memberkahi sisa umurmu.

Dari anakmu yang tak henti berharap mampu membahagiakan masa tua mu.


*Nb: Terimakasih kawan-kawan yang sudah bersedia ikut mendoakan :)



Sunday, 13 July 2014

Besar Mulut

Malu.. Kaget..
Hari ini benar-benar tertunduk menangis sedalam-dalamnya tangisan. Aku tidak pernah menyangka sama sekali. Deretan makian itu satu persatu mengena hingga ke hati. Bukan, bukan makian.. Obat penyembuhan.

Berawal dari salah paham yang terlalu banyak, dari perdebatan yang tak pernah bertemu akhir, dari sebuah hati yang menuntut penghargaan, dari sebuah lisan yang dengan lantang mulai berani bicara.

"Mereka bilang kamu terlalu sering termakan lisanmu sendiri, ilmumu terlalu tinggi hingga kamu sendiri keberatan memikulnya. Kamu tahu? bahwa selama ini aku selalu membelamu! didepan teman-temanmu yang menjelekanmu, didedepan teman-temanku yang muak melihat sikapmu, dan didepan keluargaku aku selalu membela kamu. Tapi hanya kekecewaan yang selalu kamu beri untuk membalas setiap pembelaan yang aku lakukan untukmu!"

Kalimat itu mengenang, hari ini, dihati, sampai nanti.. mungkin hingga nafas ini berhembus untuk terakhir kali,

"MUNAFIK!!"
"MUNAFIK!!"
"MUNAFIK!!"
"MUNAFIK!!"
"MUNAFIK!!"

Kata-kata itu berdengung terus menerus ditelingaku, menancap dihatiku, melelehkan air mataku.

Aku.. si manusia besar mulut.
Aku.. si manusia yang terlalu banyak bicara tapi tak pernah tahu cara mempraktikannya.
Aku.. si manusia munafik kelas tinggi, yang tidak pernah bisa menempatkan apa yang dilisankannya ditempat yang seharusnya.
Aku.. yang terlalu banyak bicara.

Aku benar-benar tertunduk sadar, bermuhasabah diri, menangis meminta pengampunan.

Hari ini aku dibuat sadar akan banyak hal, bahwa selama ini lisanku tak sesuai perbuatanku, dalamnya hatiku amat bobrok saat ku tahu, akhlakku amat buruk dimata orang-orang terdekatku.
Selama ini, yang aku tahu hanya tentang bagaimana berusaha menjadi sebaik-baik teman untuk semua teman yang ku punya, berharap mampu mejadi berguna bagi sesama manusia, tapi.. hari ini.. aku dibuat sadar bahwa aku bukan siapa-siapa, mereka tak suka.

Sadar..
Amat sadar.
Aku munafik. Lisanku tak sama dengan tingkah laku ku.
Aku munafik. Ucapku tak sesuai perbuatanku.
Aku munafik. Mulutku terlalu mudah untuk membicarakan apapun yang ada dipikiranku.

Bodoh.. Hina.. Malu..

"Jika tak bisa praktikannya, kenapa kamu berkoar-koar mengumandangkannya?!"
"Jika tak tahu cara melakukannya, kenapa kamu mengajak orang-orang untuk mengikutinya?!"
"Jika tak mampu mempertanggung jawabkannya, kenapa kamu mengucapakannya?!"

Hatiku bertanya, mata yang menjawabnya.
Meleleh, air mata dengan segala penyesalannya.

"Ini alasan kenapa selama ini aku hanya diam tak melisankan apapun yang ingin kamu dengarkan, karena aku tahu bahwa lisanku akan mengundang air matamu"

Dan hari ini kamu membuktikannya.

Terimakasih untuk kamu, yang sudah menyadarkan bahwa hati ini sudah tertidur terlalu lama, terlena dalam zona nyamannya. Aku hanya mampu meminta sebanyak-banyaknya maaf yang kamu punya.


created by: @ninitatabon 

Friday, 11 July 2014

Kontras

Orang bilang, berbeda itu biasa. Jika sebuah bangunan dibangun dengan satu materi saja, dia tidak akan pernah berdiri kuat atau bahkan tidak akan pernah selesai dibuat.
Kata mereka, berbeda itu soal harmoni, jika hanya satu warna, yang indah menggantung diatas sana setelah hujan reda itu bukanlah dinamakan pelangi.
Bahkan seseorang bicara padaku, bahwa berbeda itu tak boleh menjadi alasan untuk ragu, karena perbedaan dapat menjadi pemersatu.

Aku lelah..
Lelah pada apa yang orang bilang.
Lelah pada apa yang mereka kata.
Dan, lelah pada apa yang seseorang itu bicarakan.

Aku bukan pecinta hal monoton, bukan pula penyuka hal yang konstan. Tapi aku benci perbedaan, karena terlalu sering dipermasalahkan. Awalnya, aku tidak peduli pada apa yang disebut "berbeda". Menurutku, toh hidup memang lebih berwarna jika tidak hanya berkutat dihal yang sama. Tapi.. kini, aku terpaku ketika perbedaan itu mengusik hidupku. Karena itu.. tentang aku dan kamu.

Sadarkah perbedaan ini terlalu kontras rasanya?

Pada sisi kiri aku melaju, sedang lajur kanan adalah zona nyamanmu,
Dalam tubuhku mengalir budaya Gajah Mada, sedang hidupmu berbau khas Dyah Pitaloka,
Kepribadianku adalah sanguinis yang periang, sedang kamu plegmatis yang pendiam.
Aku senang berdialog untuk menyelesaikan masalah, sedang kamu adalah tipe orang yang lebih memilih diam seribu bahasa membiarkan semua selesai dengan sendirinya. Dan aku tak pernah memahaminya.
Katamu aku terlalu cuek dan tak peduli, sedang kataku kamu terlalu membuatku merasa terkekangi.

Ah sudahlah, bahkan sebanyak apapun aksara aku rasa tak akan cukup untuk menuliskan segala perbedaan kita. Semua orang berkata bahwa "Berbeda itu biasa..", tapi setelah sejauh ini ku rasa, amat sulit aku menerimanya.

Didunia ini banyak yang tidak dapat di paksakan karena terlalu banyaknya perbedaan, maka.. mungkin kita adalah salah satu dari sekian banyak hal yang amat rumit jalannya untuk bertemu dalam satu persamaan.

Untuk aku yang belum mampu menerima, untuk kamu yang masih juga memberi hal yang sama.

Untuk kita yang berbeda.



created by: @ninitatabon

Thursday, 10 July 2014

Untuk Mereka yang Darahnya Tercium Wangi Hingga ke Syurga

Mata tak mampu terpejam,
Pikir tak mampu tenang,
Jerit ketakutan terdengar menyakitkan menyelusup hingga kepersendian.

Mereka menyerang dari udara.
Tak satupun daratan yang tak hancur diluluh lantakannnya.
Wanita, bahkan balita tak luput dari kekejamannya.

Mencekam..

Malam tak lagi tenang.
Siang tak lagi terang.
Setiap detik adalah berjuang.

Tak gentar..

Ini tanah kami, warisan para nabi, kami bertahan menjaga Al-Aqsa demi Islam kami yang suci, untuknya kami rela mati.
Kami tidak gentar, walau berdentum-dentum bom bersuara bak halilintar,
Sekalipun roket-roket meluncur, iman ini tidak hancur.
Pun saat rudal diledakan tak mengenal lelah, keyakinan kami tetap "Lillah".

Ini bukan kali pertama, sudah sekian tahun lamanya, tapi tak juga usai kisahnya.
anak-anak lupa pada masa kecilnya.
para ibu berjuang melindungi buah hati dan keluarga mereka.
Usia tak membatasi mereka menjadi Syuhada.

Lillah. Satu..

Syahid adalah cita-cita.
Jihad fisabilillah adalah keyakinan setiap nyawa.
ALLAH adalah alasan setiap hati tak mudah goyah.
Lelah didunia, beristirahat di Syurga selamanya.


Ini untuk saudara-saudaraku tercinta..
yang darahnya wangi tercium hingga ke Syurga.

Ini untuk Palestina..
Dan seluruh negara yang diuji keimanannya oleh Allah dengan cara mempertaruhkan nyawa.

Ini untuk mereka..
yang atas nama ALLAH dan Islamlah semata-mata perjuangannya.

Dariku yang tak henti berdoa dan membantu semampu yang ku bisa.
Berjuanglah para Syuhada.

#SaveGAZA
#SaveSyria
#PrayForPalestina



created by: @ninitatabon

Tuesday, 8 July 2014

Kepastian Abu-Abu

Aku pikir ini mudah, hanya tinggal menunggu dan terus memperbaiki semua sebaik yang ku bisa. 
Aku pikir ini sederhana, hanya tinggal menerima dan terus berusaha berubah demi menjadi sebaik-baik manusia. Tapi, ini tidak mudah, ini tidak sederhana. Menunggu itu lelah, menerima itu demikian sulitnya.

Kadang, aku tidak mengerti atas apa yang Dia beri, tapi setelah ku ubah cara pandangku, baru aku pahami.
Kadang, aku takut pada semua yang ku temui, tapi setelah dari berbagai sisi ku pandangi, baru aku sadari.
Dan, kadang aku tak peduli pada apapun yang orang maki, tapi setelah ku lihat isi hati, baru aku sadar diri.

Maka, apakah penatian ini sama? Butuh cara pandang yang berbeda untuk menyikapinya?
apakah penerimaan ini juga tidak beda? butuh berbagai sisi untuk mengartikannya?
Dan apakah aku harus terus diuji, demi mendapat jawaban dari semua yang kutanyakan selama ini?

Aku tidak tahu, ini terlalu abu-abu.
Aku hanya mampu tertunduk sendu.
Menangisi semua yang masih terasa ragu-ragu.

Untuk semua yang belum pasti dihidupku,.
Aku hanya mampu menangis diatas hamparan sajadah beludru kusam, ditemani detik jam yang tidak diam, dengan sendu yang larut bersama hening malam, memohon pada pemilik semesta alam. 
Tolong.. Mohon dengan sangat, jelaskan semua yang masih ambigu dihidupku, terangkan semua yang terlalu gelap untuk ku tahu. Jikapun harus lama ku menunggu, Aku mohon.. Jangan biarkan lisanku mengeluh.
Untuk semua yang sudah terlanjur kusut dihatiku, aku mohon.. Bantu aku merapihkannya satu persatu.

Dan kini,. dengan amat merendah diri karena menyadari betapa lemahnya diri ini.
Berucap lirih, hingga yang terdengar hanya sunyi..
Bahwa aku dengan segala pandangan yang samar ini, menunggu berbagai kepastian, setengah kelelahan menanti keputusan, memohon keridhoan pada sebaik-baik pemberi jawaban.

created by: @ninitatabon

Friday, 27 June 2014

Tentang yang Ku Butuh.

Aku hanya wanita biasa,
bukan srikandi yang kuat fisiknya,
bukan pula diktator yang keras hatinya.

Aku hanya wanita biasa,
yang mudah luluh perasaannya,
tapi tak suka dinilai lemah begitu saja.

Aku hanya wanita biasa,
Maka..

aku butuh dilindungi, bukan berarti aku harus dijeruji.
aku butuh dinasihati, bukan berarti aku harus dihakimi.
aku butuh digenggam, bukan berarti aku harus dicengkram.

aku butuh didengar, bukan berarti harus dipaksa bicara.
aku butuh ditemani, bukan berarti aku dianggap selalu sendiri.
aku butuh diarahkan, bukan berarti aku tersesat.

Dan, karena dienku hanya separuh, maka aku butuh kamu untuk membuatnya utuh.

created by: @ninitatabon

Sunday, 8 June 2014

Untuk Kuatmu

Dalam dingin malam ini, ada sebuah hati yang benar-benar tertunduk larut tenggelam dalam hening, hati yang kelelahan setelah melewati perdebatan, perdebatan demi menemukan sebuah kesepakatan, sebuah keputusan tentang akan kemana dua buah hati akan diarahkan. Perdebatan yang selalu terjadi tepat dipersimpangan jalan.

Perdebatan itu sungguh bukan yang pertama kalinya dilakukan. Adu argumen, saling menyiapkan kalimat-kalimat pamungkas bagai amunisi yang jika ditembakan berharap tepat mengenai sasaran, debat kusir yang berlangsung alot karena kedua kubu mempertahankan pemikirannya masing-masing. Berdua saja, dua orang yang sama, memperdebatkan hal yang sama , tapi masih saja rumit untuk bisa diselesaikannya.


"Bisa kan kita selesaikan semua bukan hanya dengan diam?". dia mengawali pembicaraan.

Yang diajaknya bicara hanya diam mengacuhkan.

"Hey.. ", dia menegur. Yang ditegur tetap bergeming.


"Keras kepala! kenapa kamu terus diamkan aku?", nada bicaranya mulai meninggi karena sudah merasa terlalu lama didiamkan.


"Aku hanya ikuti yang biasa kamu lakukan, mendiamkanku ketika ada yang ingin ku diskusikan", yang sedari tadi diam mulai bersuara.


"Ayo kita selesaikan, aku tak lagi diam, aku ingin kita bicara", katanya. Tapi, yang diajaknya bicara kembali diam.


"aku tahu akar masalahnya, kamupun juga. tapi, kenapa aku masih juga kamu diamkan?", dia berbicara mencoba tenang.


"Karena kita sudah sama-sama tahu". yang diberi pertanyaan hanya menjawab datar.


"Akan sampai kapan kita begini?", dia terlihat kesal.


"Menjadi sekedar teman bicara saja kita selalu susah payah melakukannya, apalagi menjadi teman hidup", Aku si tokoh yang dari awal malas berdialog itu meluncurkan kalimat tembakan pertama.


"Kamu yang belum menyanggupinya! Aku tidak!". dia mulai kesal. Aku hanya diam saja, dan terus diam.


"Akan sampai kapan kamu memperlakukanku seperti ini? akan sampai kapan kita terus ada dalam keadaan ini? kenapa kamu masih saja begini?", dia mencoba setenang mungkin menuturkan kalimatnya.


"Karena tidak ada lagi yang aku tahu apa yang harus aku ucap", aku menatap lurus kedepan, 
tak peduli pada dia yang ada disampingku.

"Lalu, akan begini sajakah? bagaimana ini akan selesai jika kamu enggan ku ajak untuk membereskannya?. nadanya keheranan.


"Memang semua soal kita tidak pernah beres, bukan?", aku kembali menembakkan kalimat yang kuharap tepat mengenai hatinya.


Aku teringat semua hal tentang aku dan dia yang memang tidak pernah selesai walau coba untuk diselesaikan seteliti mungkin, walau setenang apapun kami menyelesaikannya tapi tetap saja tidak selesai, menggantung tak terputuskan.


"Kenapa sulit sekali untukmu menghargai sedikit saja usahaku? sekecil apa aku dimatamu hingga kamu tak bisa melihat aku?", dia mulai mengarah pada pokok permasalahan.


"Seperti yang kamu katakan, bahwa caraku memperlakukanmu terlalu basi. Dan memang semua yang sudah basi tidak baik untuk dinikmati", aku mencoba mengingatkannya. Mengingatkan apa yang dia pikirkan sebelum semua ini menjadi se-berantakan ini. 


Basi, Kadaluarsa, Tak Layak lagi. Begitulah dia menilai caraku mendiamkannya, memperlakukannya, dan menilainya. Karena kami adalah dua orang yang pernah menjalin kasih, dua orang yang sempat bersama lalu kemudian terpisah karena salah satu dari kami mencintai orang lain. dia pergi dan aku ditinggalinya sendiri. Hingga kemudian kami menjadi Basi. Tapi, kini dia kembali, berusaha untuk memperbaiki apa yang sudah dihancurkannya sendiri, dia kembali dengan berniat mengobati sakit yang sudah dia buat padaku. Dan menurutku itu Basi.

"Kamu memang tak pernah bisa menghargai perasaanku", katanya ketus.


"Kamupun tak pernah bisa menghargai rasa sakitku", jawabku.


"Kamu tak bisa menghargai usahaku", dia mengembalikan.


"Kamupun tak bisa menghargai pemahamanku", kataku tegas.


"Pemahaman yang mana lagi yang harus aku pahami? belum cukupkah yang selama ini aku lakukan? Sekecil apa aku dimatamu hingga tak bisa kamu pandang? Tak jugakah kamu lihat bagaimana perjuanganku yang harus berdarah-darah demi mendapatkan lagi rasa percayamu?", dia terus menuturkan yang ada dihatinya, mengeluarkan satu persatu yang ada dipikirannya, menceritakan jejak-jejak perjuangannya, dia seperti awan gelap mendung yang tak lagi mampu menahan beratnya air hujan hingga akhirnya air itu menjebol pertahanannya dan deras menyentuh tanah, dia membawaku melihat rasa sakitnya.


"Semua yang terpaksa memang tidak pernah menghasilkan sesuatu yang bagus", aku yang kaget mendengar apa yang baru saja dijelaskannya hanya mampu katakan itu.


"Masih juga kamu anggap semua yang aku lakukan sejauh ini adalah terpaksa? Terserah! Kamu memang tidak pernah salah, lagipula apalah untungnya untukmu perjuanganku ini". dia tidak bisa menutupi raut marahnya.


"Maaf, kita tidak satu pemikiran", hanya itu yang bisa kujawab.


"Memang dari dulu, toh? Jadi, sekarang kamu ingin menyerah untuk mencoba percaya padaku lagi?"


"Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, kan?", aku men-skak mat.


dia menunduk, mencoba meredam kekesalannya, menyembunyikan kesakitannya atas kalimat yang ku katakan.


"Aku memang tidak pantas mendapatkan wanita sesempurna kamu", katanya lirih.


"Aku hanya tidak ingin kamu menghabiskan waktu disini, untuk wanita yang sudah terlanjur beku karenamu, aku tak ingin menghambat jalan bahagiamu ", aku mencoba sedikit menenangkan walau sebenarnya pasti tetap menyakitkan.


"Perjuanganku memang tak ada apa-apanya, masih banyak yang bisa melakukan sesuatu yang lebih dari apa yang kulakukan, begitukan maksudmu?", tersirat kelelahan pada sorot matanya.


"Semua yang dipaksakan tidak akan berkahir dengan baik, jika tetap kamu lanjutkan perjuanganmu aku khawatir semua tidak akan lebih baik dari saat ini. Sungguh, benar apa yang kamu katakan bahwa kita memang terlanjur basi. Didaur ulang dengan cara sehebat apapun, makanan basi tetaplah makanan basi, sesuatu yang tetap tidak bisa lagi dinikmati. Kita memang sudah tidak lagi punya arti. Kamu harus berhenti". Aku berkata tanpa menoleh padanya sama sekali.


"Kamu benar-benar hebat, kamu mencoba menjatuhkanku", ada senyum kecut dibibirnya.

"Aku sudah berjuang sejauh ini, aku sudah pertaruhkan semuanya, jalan kita hampir selesai kita lewati, tapi apa yang kamu lakukan?", dia mencoba meyakinkanku.

"hampir itu untuk kamu, bukan untukku, bukan untuk hatiku", aku mengucapkannya dengan memberi penekanan pada kata "hampir", karena menurutku, bagaimanapun ini tetap rumit.


"Jadi, apa yang aku lakukan sejauh ini sia-sia? tak berguna?", terdengar kecewa sekali nada bicaranya.


"Aku tidak pernah ragu pada fisikmu, entah itu perjuanganmu, keberanianmu, kesungguhanmu. Tidak.. aku sama sekali tidak ragu. Tapi, hatimu? aku terlalu takut untuk bernaung didalamnya, aku takut berlindung pada hati yang pernah menghancurkanku", kini aku yang menunduk.


Ada hening yang panjang antara kami, aku terdiam, dia tak ucap satu patah katapun. Aku dan dia membatin pada perasaan kami masing-masing, kami berada pada sebuah persimpangan, aku sudah jelas memilih arahku sendiri, aku sudah memintanya untuk menuju persimpangan lain, tapi dia tetap menahanku berdiri dipersimpangan ini.


"Aku sudah sejauh ini memperjuangkanmu", dia memecah keheningan. 
"Aku tidak ingin berhenti, kamu boleh menghentikan langkahku, tapi tidak untuk saat ini, tidak untuk saat aku masih ingin memperjuangkanmu". dia terdiam sesaat.

"Kamu boleh menolakku. Tapi, nanti.. didepan keluargaku", aku tercekat mendengar kalimatnya, sungguh itu kalimat amunisi paling ampuh tepat mengenai sasaran perasaanku. Aku mati kutu.

"Apa sesungguhnya yang kamu pertahankan? bukankah tidak ada lagi yang bisa kamu harapkan dari wanita sepertiku?", aku menatap lekat matanya.

"Banyak. Sungguh banyak yang kuharapkan darimu. Karena setelah ibuku, hanya kamu yang memahami bagaimana aku. Karena pada kamu aku menemukan potongan-potongan untuk menyempurnakan hidupku, dan hanya kamu yang mampu menjadikanku utuh. Jika aku main-main maka aku tidak akan bertahan sekuat ini". dia mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan begitu yakin.

"Tapi kamu tak harus begitu, ", aku kembali menunduk.

"Harus, Aku harus tetap begini. Demi sakitmu yang harus kuobati, demi kepercayaanmu yang harus kubangun lagi, dan demi Agamaku yang harus kusempurnakan ini". jawabnya tegas. aku tak menyangka.

"Kenapa kamu masih terus bertahan walau sudah coba aku jatuhkan?", aku menatapnya penuh yakin bahwa aku sudah benar-benar mencoba menjatuhkannya, sudah berusaha menghentikan perjuangannya.

"Karena wanita sepertimu pantas untuk aku perjuangkan", jawabnya tegas. aku terdiam menunduk luluh, entah keras kepala atau egois kah orang yang berdebat denganku ini, tapi aku memang tak seharusnya ragu pada kekuatan bertahannya.

"Jadi, sudah sejauh ini tolong jangan halangi jalanku untuk tetap maju. Dan aku harap apa yang aku perjuangkan tidaklah sia-sia". Ucapnya mengakhiri perdebatan kita. Lisanku kelu untuk menimpali apa yang diucapkannya.

Akhirnya aku sadar, bahwa aku tak punya hak untuk menghentikan perjuangannya, bahwa dia tidak menuntut apapun dariku selain aku harus menunggu, dan akupun tahu bahwa aku dan dia bukan manusia yang mampu melihat masa depan, maka tugasku hanyalah harus merapihkan segala yang masih berantakan dihatiku tanpa harus mengganggu perjuangannya dan sisanya harus ku kembalikan pada Yang di Atas Sana, yang sedari tadi memperhatikan bagaimana kami berdialog. Yang Maha Memutuskan lagi Maha Berkehendak. Semoga Allah berkenan memberi petunjuk padaku hingga akhirnya aku memberi jawaban terbaik atas perjuangannya.

"Dan, pahamilah.. jika semua yang kamu lakukan demi Ridho Allah sungguh tidak akan ada yang sia-sia, sekalipun takdirmu bukan aku..", lirihku dalam hati, menunduk dalam hening malam ini.

"Apa saja yang tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah Azza wa Jalla maka akan sia-sia" (Rabi'i bin Khutsaim Ats Tsauri rahimahullah)

Terimakasih untuk Kuatmu yang walau sudah berusaha aku hancurkan tapi kamu memilih untuk tetap bertahan. Semoga Allah Ridho.

Created by: @ninitatabon